Jumat, 21 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Mario Adi Putra 4

Teori Mahan dan Pengaruhnya Bagi Negara Kepulauan
J.C. Van Leur dan F.R.J. Verhoeven

Sejarawan pada umumnya masih belum memahami potensi laut, mereka biasanya mengabaikan perhatian di sektor kelautan, hal itu terjadi karena mereka secara mayoritas tidak memiliki pengetahuan yang baik tentang laut, padahal laut sebenarnya memiliki potensi yang besar dalam realitas sejarah dunia. Kata-kata tersebut telah dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan (1840-1914) dalam bukunya “The Influence of Sea Power upon History” yang diterbitkan tahun 1890. Mengenai potensi laut maka setidaknya ada 6 unsur yang dapat menentukan perkembangan suatu negara, yaitu kondisi geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahannya. Pentingnya unsur-unsur itu dapat dilihat pada pendayagunaan potensi laut oleh Inggris, seperti yang kita ketahui bahwa Inggris merupakan negara kepulauan, dimana Inggris telah mengandalkan potensi laut dibandingkan dengan potensi darat, hal ini jelaslah jika Inggris mendayagunakan potensi laut karena Inggris bukanlah negara kontinental (seperti Perancis dan Spanyol).

Penjelasan dari Alfred Mahan rupanya sangat menarik perhatian dan dalam beberapa waktu ke depan maka telah berkembang menjadi teori Mahan, teori Mahan dalam realitanya telah dianalisis oleh tokoh-tokoh penting di AS seperti Theodore Roosevelt (presiden AS tahun 1901-1909) dan Henry Cabot Lodge, politik ekspansi telah mulai dilakukan oleh AS untuk meningkatkan strategi pertahanan dan penguasaan laut yang ada di 2 samudera (samudera Pasifik dan samudera Atlantik), oleh karena itu maka tidak dapat disangkal bahwa pembangunan jaringan angkatan laut AS adalah berdasarkan pengaruh dari tulisan Mahan.

Penyebaran pengaruh teori Mahan rupanya tidak terbatas pada AS saja tetapi juga terdapat di wilayah lainnya, dalam beberapa waktu kemudian teori itu telah diterjemahkan dalam beberapa bahasa (Jerman, Jepang, Perancis, Italia, Rusia, dan Spanyol), dalam hal ini maka Jerman dan Jepang telah mendapat inspirasi untuk membangun sebuah kekuatan angkatan laut yang modern. Akan tetapi seiring dengan pesatnya pengadopsian dari teori Mahan maka telah menjadi suatu bencana yang besar, yaitu terjadi perang dunia 1 dan perang dunia 2, yang akibatnya dari 2 perang itu telah membawa kehancuran bagi umat manusia.

Kritik keras yang dikemukakan oleh van Leur merupakan suatu refleksi atas ketidakpuasan dalam pandangan Verhoeven yang membahas tentang teori Mahan, van Leur mengemukakan bahwa sebuah ikhtisar yang harus dibaca adalah karya Meyer dan Rostovzeff, dalam arti untuk memahami sebuah Sea Power dalam sejarah Eropa modern. Naval Power sebenarnya adalah tidak hanya untuk inventarisasi suatu negara yang menyediakan kapal perang untuk melawan musuh, tetapi juga berhubungan dengan tujuan yang akan dicapai dalam hal organisasi politik kemaritiman, dimana organisasi politik kemaritiman memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur sosial ekonomi pada zaman itu. Untuk melakukan tujuan perang maka Naval Power pada tahun 1660-1783 dimaknai yaitu :
1.      Sebagai organisasi negara Eropa yang modern.
2.      Sebagai organisasi angkatan laut yang berdiri sendiri.
3.      Sebagai perkembangan kapitalisme awal yang bersumber pada perniagaan dunia atas potensi alam daerah jajahan.

Komponen dari Naval Power dilukiskan sebagai bentuk-bentuk yang kolot dan bersifat ekonomis-militer, dalam hal ini jelas bahwa peranan itu telah menampakkan suatu transformasi (perubahan bentuk). Perniagaan merupakan suatu kegiatan pelayaran yang bersifat pembajakan, perniagaan biasa hanya menjadi sebuah implisit dari niaga rampasan, kritik atas perniagaan tersebut merupakan sebuah pandangan van Leur yang mengkritik terhadap tokoh Coen yang menjadi tokoh penting dalam kepemimpinan VOC.

Genoa dan Venetia memiliki armada perang yang berdiri sendiri, demikian pula dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Indonesia dan di Asia Tenggara yang memiliki armada tersendiri. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pelayaran Belanda di seberang lautan itu juga memiliki armada perang ?, pertanyaan itulah yang belum dapat dijawab oleh Verhoeveen !. Disamping itu juga masih ada hipotesis Logemann yang belum terselesaikan, yaitu mengenai hukum tatanegara apakah yang digunakan dan diterapkan oleh VOC  ?.

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil suatu kesimpulan, yaitu pentingnya aspek kelautan merupakan sebuah potensi yang harus dikembangkan dan didayagunakan oleh negara kepulauan (seperti Inggris, Jepang, Filipina, dan Indonesia). Berbagai komoditas laut juga menjadi peranan penting atas sumber kekayaan alam bagi negara kepulauan, seiring dengan adanya teori Mahan maka sudah seharusnya Indonesia sebagai negara kepulauan harus mendayagunakan potensi laut dan menciptakan kekuatan baru untuk mengamankan laut yang ada di wilayahnya. Potensi laut rupanya telah terabaikan dalam paradigma yang ada selama ini di Indonesia, oleh karena itu perlu diciptakan suatu pemahaman baru tentang kesadaran manusia terhadap potensi kelautan.

Berbagai perkembangan kekuatan udara dan kemajuan di bidang teknik (teknik penjelajahan antariksa dan teknik nuklir), dalam realitanya telah mengurangi arti dan fungsi dari potensi laut, hal itu telah terasa dari peralihan era modern ke post modern, dengan adanya perkembangan teknik yang dianggap sebagai tahap mutakhir maka perlahan-lahan telah mulai menggeser fungsi pentingnya sektor kelautan, dimana potensi laut suatu negara kepulauan telah mulai tergeser oleh adanya beberapa teknologi yang baru.

Teori Mahan pada awalnya digunakan untuk sesuatu yang positif dalam mendayagunakan potensi laut bagi suatu negara, namun seiring dengan adanya politik kekuasaan di dunia maka teori tersebut telah disalahgunakan hingga memunculkan perang dunia yang membahayakan kehidupan umat manusia. Kritik saya dalam hal ini adalah sebuah teori (seperti halnya teori Mahan) sudah selayaknya untuk diterapkan dalam hal-hal yang positif, bukan seperti penyalahgunaan teori Mahan yang akhirnya menjadi dampak negatif  bagi umat manusia. Dengan demikian maka perlulah adanya kesadaran pribadi bagi manusia agar dapat menciptakan perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih berkembang, disertai dengan upaya untuk dapat mewujudkan kehidupan umat manusia yang bersifat dinamis dan kompetitif dengan cara yang sehat dan professional.

Tugas Review Historiografi Yuli Astriani 4

ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI
DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA?
Oleh J.C. Van Leur (Buku Volume 21)

Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1940 ini Van Leur mengkritik apa yang sebelumnya pernah ditulis oleh Prof. Goode Molsbergen tentang Sejarah Hindia Belanda. Van Leur tidak setuju dengan kronologi yang ditetapkan oleh Prof. Goode, karena digambarkan bahwa sejarah kompeni di abad ke-18 adalah bayangan cermin dari sejarah tanah air (belanda), dan sejarah Eropa di zaman itu dan juga sejarah Nusantara (Hindia Belanda). Jadi Sejarah Hindia Belanda pada abad ke-18 digolongkan kedalam sejarah kebudayaan oleh Goode dan ditempatkan dalam paradigma sejarah kompeni. Hal ini yang pada akhirnya membuat Van Leur mengajukan beberapa pertanyaan untuk hal ini yaitu: benarkan demikian? Dapatkan abad ke-18 bisa disebut awal historiografi bagi sejarah Hindia? Dan Mungkinkah menulis sejarah Hindia dalam abad-ke18 sebagai sejarah kompeni? Seperti itulah kira-kira pertanyaan yang diajukan Van Leur untuk mengkritisi apa yang ditulis oleh Goode.

Menurut Van Leur yang merupakan lulusan Universitas Leiden, sejarah abad ke-17 dari Hindia Belanda (sejarah Indonesia) tentu tidak dapat disamakan dengan sejarah kompeni (sejarah Belanda). Van Leur berpendapat bahwa tidak tepat jika awal dari penulisan sejarah Indonesia dimulai pada saat para pelaut-pelaut, saudagar-saudagar, dan bajak-bajak laut dari Eropa barat daya datang untuk pertama kalinya ke Nusantara (Indonesia). Van Leur sangat mengkritik keras apa yang sudah dilakukan oleh sejarawan Belanda sebelumnya melalui tulisannya ini. Pada abad ke-18 historiografi kolonial Belanda yang ditulis selalu “menulis sejarah dari geladak kapal kompeni.” Sedangkan Van Leur sebaliknya, ia berfikir bahwa ketika menulis sejarah Hindia Belanda harus dimulai dengan turun dari geladak kapal kompeni dan mulai menulis dari “geladak kapal orang-orang pribumi.” Pengetahuan Van Leur dalam hal itu tidak hanya terbatas pada sejarah Hindia Belanda, dia juga mengkritisi penulisan sejarah di Asia antaralain: Iran, Cina, Indo-Cina, India, Hindia Belakang dan Jepang. Van Leur mempertanyakan mengenai penulisan sejarah di Asia abad-17 dan 18 apakah juga tetap mengikuti pola barat yang Eropa sentris? Dalam hal ini terkait pada sejarah tiga Negara kolonial terbesar di Eropa yaitu Belanda, Inggris, dan Perancis.

Van Leur berpendapat bahwa pengaruh Belanda di Asia Tenggara pada umumnya menunjukan kemunduran. Di Indonesia, pengaruh itu tumbuh di Pulau Jawa. Namun apabila ditinjau secara keseluruhan, dalam abad ke-18 tidak ada satu pun tempat di Asia yang dikuasai oleh bangsa Eropa hanya dalam jumlah yang sangat terbatas, terdapat beberapa tempat dimana kekuasaan Eropa berhasil memperkokoh kedudukannya. Dalam hal inilah perlu ditekankan bahwa kerajaan-kerajaan timur pada umumnya dibidang militer, ekonomi dan politik, sebagai kesatuan-kesatuan yang kokoh dan kuat, tetap merupakan faktor yang aktif dalam jalannya peristiwa (lihat hal. 17). Hal ini hanya salah satu contoh yang diungkapkan oleh Van Leur sebagai kritik atas karya-karya Historiografi Belanda yang Eropa sentries. Karya Van Leur sendiri sangat bertentangan dengan teori yang sebelumnya dikenal dalam sejarah kolonial. Dalam Tesisnya yang berjudul “Eenige beschouwingen bebecreffende den ouden Aziatischen handel (1934”), ia berhasil mengkisahkan kegiatan perdagangan orang-orang Indonesia dan kota-kota perdagangan di Indonesia dengan menggunakan sumber-sumber dari sejarah VOC yang telah diterbitkan (R.Z. Leirissa). Hal ini menarik karena walaupun sumber yang digunakan Van Leur berasal dari sumber sejarah VOC tetapi ia dapat menceritakan mengenai keadaan dan kegiatan sehari-hari mengenai orang-orang di Hindia Belanda pada saat itu yang memiliki sejarah perkembangannya sendiri tanpa pengaruh VOC.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah kritik Van Leur terhadap Historiografi kolonial yang terlalu eropa sentries, di Indonesia 26 tahun kemudian dimulailah era baru dalam kategori penulisan sejarah Indonesia yang ditandai dengan munculnya karya-karya historiografi yang bersifat Indonesia Sentris oleh Sartono Kartodirdjo (1966), kemudian disusul Taufik Abdullah (1970) dan Soedjatmoko (1965) yang pada tahun-tahun berikutnya mulai memperkenalkan mengenai historiografi Indonesia. Contoh lain dari penulisan sejarah Indonesia dari sudut pandang Indonesia sentries adalah buku yang ditulis oleh Sri Margana berjudul Keraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, yang meneliti mengenai sejarah Sosial Ekonomi Jawa melalui sumber-sumber non babad yang sumbernya berasal dari koleksi-koleksi manuskrip Jawa. Historiografi Jawa yang bertema politik biasanya didasarkan pada sumber-sumber babad sedangkan Historiografi Jawa yang bertema sosial ekonomi biasanya didasarkan pada sumber-sumber Belanda. Tetapi karya ini berbeda karena menghadirkan Historiografi Jawa bertema sejarah sosial dan ekonomi dengan menggunakan sumber non babad sehingga menghadirkan alternative baru dalam penulisan sejarah Indonesia.

Tugas Review Historiografi Panis DHBI Salam 4

ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI
DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA?
(J.C. VAN LEUR)

Buku yang ditulis oleh Van Leur ini mencoba meninjau sebuah buku jilid IV karangan dari Dr. Godee Molsbergen yang dieditori oleh Dr. F.W. Stapel. Dalam buku tersebut, dikemukan oleh Molsbergen bahwa sejarah kumpeni di abad ke- 18 merupakan sebuah refleksi dari sejarah tanah air dan juga dari sejarah Eropa di jaman itu. Dengan kata lain, bahwa sejarah Hindia Belanda pada abad tersebut, menurut Van Leur tidak lebih dari sejarah kompeni itu sendiri. Hal inilah yang kemudian dalam buku Van Leur tersebut dibantah dengan menunjukkan berbagai bukti-bukti sejarah jika hal tersebut tidaklah tepat.

Untuk menyatakan pendapatnya dalam menyanggah pendapat dari Molsbergen tersebut, Van Leur menunjukkan bagaimana sebenarnya perkembangan sejarah Asia dan Hindia Belanda ditinjau dari berbagai aspek. Menurutnya, kekuatan-kekuatan Asia masih sangat menentukan dan Eropa sendiri dari abad ke-17 hingga abad ke- 19 belum menyentuh begitu berarti aspek-aspek kehidupan Asia dan juga Hindia Belanda. Kenyataan bahwa kemudian terjadi titik balik dimana Eropa menjadi sebuah kekuatan yang dominan di Asia, menurutnya terjadi setelah berlangsungnya Revolusi Industri dimana terjadi arus pemasaran barang-barang produksi dan pencarian bahan baku ke wilayah Asia. Perkembangan ini kemudian semakin berhasil karena juga ditopang oleh perkembangan teknologi modern yang memungkinkan penguasaan Eropa atas wilayah Asia dalam berbagai segi kehidupan.

Dalam bukunya tersebut, paling tidak ada tiga aspek yang disoroti oleh Van Leur dalam meninjau karya Molsbergen di atas. Van Leur memberikan penekanan yang lebih kepada aspek ekonomi dan politik disamping ia juga berbicara mengenai aspek budaya meskipun dalam porsi yang lebih sedikit. Secara politik, menurutnya seperti negeri-negeri Cina, Jepang, Iran, Hindia Belanda dan juga India belum dapat terhegemoni sama sekali. Dalam abad ke-18, mereka tetap masih merupakan kekuatan yang utuh dan kokoh. Negeri Cina dalam periode tersebut pada masa kekaisaran Mansyu malah berada dalam puncak kejayaan baik politik maupun kebudayaan, dimana pengaruh militernya dapat merambah hingga Turkestan Barat, Tibet sampai dengan negara di seberang pegunungan Himalaya seperti Birma dan Annam. Dengan begitu lugas Van Leur menyatakan bahwa belum pernah ada kekuatan di Cina yang mampu mengembangkan hegemoninya hingga sebegitu luas dan terjamin. Demikian juga di Jepang pada masa itu, juga masih merupakan kekuatan yang kokoh di bawah pemerintahan kaum Shogun yang tak tergoyahkan sedikitpun. Kalaupun ada perluasan kekuasaan yang dilakukan oleh Eropa yang dalam hal ini Rusia yang merembes ke Siberia hingga sampai ke laut Okhostsk masih merupakan kekuatan yang dipandang sebelah mata jika harus berhadapan dengan Cina ataupun Jepang.

Memang pada tahun 1757, Inggris telah menguasai suatu daerah India. Akan tetapi, ini hanyalah sebuah awal penguasaan dan hanya mampu menguasai sebuah daerah yaitu daerah yang di bawah kekuasaan Nawab Bengal melalui petempuran yang berlangsung di Plassey. Sedangkan perluasan atas daerah Bihar dan Orissa (1765) yang dilakukan melalui sistem “Mogol-dwiwani” (hak eksplotasi pajak tanah fiskal menurut gaya Mogol) dalam prakteknya sarat akan kuatnya pengaruh birokrasi India-Persia yang jauh lebih unggul daripada pemerintahan kolonial Inggris. Demikian juga peperangan-peperangan yang dilakukan di India di bawah pemerintahan Hastings belum dapat menegakkan supremasi Inggris di negeri itu dan hal itu baru terlaksana pada abad ke-19.

Negeri-negeri Eropa yang lainnya seperti Spanyol, Portugis, Rusia dan juga Belanda pada abad ke-18 juga belum mempunyai kekuatan politik yang berarti di kawasan Asia. Misalnya, Spanyol yang saat itu kapal induknya berada di Amerika hanya menggunakan Filipina terutama untuk perdagangan dengan Tiongkok dan hampir tidak mempunyai tujuan politis untuk menguasai Asia Tenggara. Demikian juga Portugis yang saat itu hanya mempertahankan pangkalan-pangkalan yang bertebaran di pantai Afrika, India, dan Tiongkok tanpa melaksanakan kekuasaan militer ataupun ekonomi. Sedangkan jika kita berbicara mengenai Rusia, menurut Van Leur ia belum memulai ekspedisinya untuk menaklukkan daerah-daerah di Asia Tengah. Sementara pangkalan-pangkalan Inggris di India juga masih merupakan tempat-tempat yang terpinggirkan.

Pada pertengahan abad ke-18, jika dibandingkan uraian-uraian di atas, kekuasaan Belanda sudah mulai terasa di Jawa, yaitu ketika mampu mengintervensi kerajaan Mataram, sehingga terjadinya pembagian kekuasaan kerajaan menjadi tiga bagian yaitu: Sunan, Sultan dan Mangkunegaran. Akan tetapi, jika dilihat dari penguasaan wilayah yang lebih besar, kekuasaan Belanda juga belum berarti dalam kancah Asia. Hal ini oleh Van Leur ditunjukkan oleh beberapa hal, misalnya ditinggalkannya kantor-kantor dagang Belanda di India, Arab dan Hindia Belanda karena tidak mempunyai arti teritorial; tertutupnya perdagangan dengan Cina setelah kumpeni kehilangan Formosa; loji di Deshima yang cukup menguntungkan seluruhnya masih dalam kendali pemerintah pusat dan Nagasaki tanpa suatu kekuasaan Belanda sendiri; di Indonesia pelabuhan-pelabuhan di Sumatra dan Kalimantan semakin tidak berarti bagi kompeni sekalipun kepulauan rempah-rempah saat itu tetap dipertahankan dan Batavia juga telah dijadikan pusat jaringan niaga, tapi menurutnya jaring-jaring niaga tersebut begitu rapuh. Ada dugaan juga jika saat itu kantor-kantor dagang di luar Jawa dan Madura tidak lagi memainkan peran yang penting bagi kompeni, meskipun hal tersebut bukan berarti bahwa daerah-daerah tersebut telah mengalami kemunduran.

Ketika berbicara aspek politik secara lebih jauh mengenai kekuatan-kekuatan negeri-negeri yang ada di kepulauan Nusantara, Van Leur meragukan jika kekuatan-kekuatan mereka pada abad ke-18 telah menurun atau tidak berarti lagi. Dia meragukan jika kekuatan-kekuatan militer dan politik seperti Aceh, Tuban, Banten, Bali, Mataram, Madura, Sumbawa, Lampung, Palembang, Pontianak ataupun juga Mindanau yang dalam abad ke-17 begitu mempesona telah menurun begitu saja dalam abad ke-18. Hal ini dapat diperbandingkan dalam pergantian setiap abadnya sebab eksistensi mereka sampai abad kesembilan belaspun masih begitu diperhitungkan oleh Raffles ketika mengajak beberapa dari mereka untuk menghidupkan kembali semangat Majapahit dalam rangka menggerogoti kekuasaan Belanda dan Perancis. Menurut Van Leur, tentu Raffles telah mempertimbangkan dengan matang-matang kekuatan dari mereka sebelumnya.

Dalam menjelaskan eksistensi dalam bidang budaya, Van Leur mengambil contoh jaman keemasan kerajaan Mataram di Kartasura antara tahun 1680-1745. Ia berpendapat bahwa periode ini adalah puncak kesempurnaan dan kehalusan tatacara dan bahasa keraton Jawa Baru. Meskipun menurutnya dalam periode ini mulai terhentinya perkembangan kebudayaan, tetapi kebudayaan yang kaku tersebut mampu menghasilkan ciptaan kesusasteraan Jawa Baru dan “sebagai cetusan mulia yang terakhir dari daya seni Jawa asli” yaitu suatu aliran warna membatik Daerah Kerajaaan Jawa Tengah yang dilahirkan di zaman Kartasura.

Dalam bidang budaya, Van Leur juga mengkounter pendapat Rouffer yang menyatakan bahwa kebudayaan Jawa yang begitu luar biasa pada jaman Majapahit telah mengalami kemunduran sejak tahun 1500 karena dipotong oleh agama Islam dan pengertian-pengertian dogmatis yang bersangkutan dengan agama tersebut. Dengan berdasarkan pada pendapat Prof. Hasen, ia menyatakan bahwa kebudayaan ini baru mengalami kemunduran setelah tiga abad berikutnya yaitu dengan ditandainya hasil karya pujangga keraton Ranggawarsito (1803-1873) sebagai penutup yang cemerlang dari kegiatan kesusasteraan Jawa di jaman pertengahan.

Dalam bidang ekonomi dan perdagangan, Van Leur juga menyoroti bagaimana perkembangan perekonomian Asia pada umumnya dan juga Hindia Belanda (Nusantara) pada khususnya yang kemudian dia perbandingkan dengan seberapa jauh kekuatan ekonomi kompeni pada abad ke-18 di negeri-negeri jajahannya. Salah satu hal yang paling menarik terkait dengan hal ini adalah jaringan perdagangan antara India-Nusantara-Cina masih begitu dominan jika dibandingkan dengan kegiatan perdagangan yang dilakukan kompeni. Gambaran perdagangan Asia pada abad ke-18 masih tetap ada gambaran dari suatu dunia dengan masyarakat desa asli yang tertutup sebagai dasar sosial ekonominya: dilengkapi dengan barang-barang impor yang diperoleh melalui perdagangan antar Asia (dari India: kain tenun; dari Tiongkok: barang-barang tembikar, alat-alat baja dan besi), meskipun pemasarannya bukan merupakan pemasaran besar-besaran bagi kebutuhan sehari-hari.

Perdagangan Asia ke arah Barat selalu berupa pergerakan barang-barang sepihak, dalam arti bahwa barang-barang yang tinggi nilainya itu ditukarkan dengan mata uang dan beberapa jenis logam mulia dalam bentuk batangan. Perusahaan-perusahaan kerajinan di daerah timur Asia tidak pernah memberikan tempat penting bagi pemasaran kerajinan Eropa sebelum kemudian terjadinya Revolusi Industri dan Teknologi yang akhirnya terjadi titik balik bagi kegiatan ekonomi Eropa. Kenyataan bahwa dua di antara cabang-cabang besar dari perdagangan antar Asia yaitu: perdagangan India yang menuju ke arah Timur dan perdagangan Cina yang menuju ke arah Selatan dalam abad ke-18 yang berjalan terus-menerus tanpa hentinya, menurut Van Leur bahwa jaringan perdagangan tersebut cukup membuktikan jika kegiatan perdagangan Asia masih eksist dan tidak mengalami kemunduran.

Van Leur juga mengemukakan, apabila diukur keadaan perekonomian di daerah-daerah Indonesia dengan perdagangan kompeni yaitu dengan pelaksanakan hak-hak monopolinya dan juga dengan penerapan peraturan embargo, maka gambaran tentang lalu lintas perdagangan Indonesia yang mati masuk akal juga. Akan tetapi, gambaran yang demikian ini menurutnya tidak lengkap sebab dalam sejarah abad ke-18 orang juga harus memperhitungkan gejala penyelundupan secara besar-besaran yang terjadi saat itu. Keluhan yang tak henti-hentinya tentang pegawai-pegawai kompeni yang korup, perdagangan gelap, adanya perusahaan sendiri, saham-saham perusahaan dagang dan pelayaran yang dipalsukan, semua itu dapat diterangkan dari nafsu untuk menambah penghasilan karena tidak cukupnya gaji yang dibayarkan kompeni. Namun, di balik gambaran ini terdapat kenyataan bahwa pasaran di Indonesia bersedia dan sanggup menerima lebih banyak barang (impor) dan mengirim lebih banyak barang (ekspor). Demikianlah sebenarnya pengangkutan barang menjadi meningkat, sedangkan kompeni mengira telah dapat menekannya. Disamping penyelundupan, Van Leur juga mengemukakan bahwa telah terjadi pelanggaran besar-besaran dalam wilayah monopoli Belanda yang dilakukan oleh oleh Inggris dan juga Amerika. Apabila ditaksir secara statistik, kegiatan perdagangan Belanda sebenarnya telah kalah dengan Inggris yang juga menguasai perdagangan di Bombay, Benggala dan negeri Cina. Dimana hal ini dapat diartikan bahwa sebenarnya Belanda telah banyak kehilangan sektor-sektor yang paling menguntungkan dari perdagangan antar Asia. Dengan kata lain, kenaikan kegiatan perdagangan tersebut telah diserap oleh Asia dan Indonesia dimana kompeni hanya sedikit mengambil bagian di dalamnya.

KOMENTAR
Dalam buku Van Leur yang berjudul, “Abad ke-18 Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia?” ini selain bertujuan meninjau atau mengkritisi pendapat Dr. Godee Molsbergen sebenarnya secara tidak langsung dia juga menghantam stigma negatif atau pandangan-pandangan negatif penulis-penulis Barat yang selalu memandang rendah terhadap peradaban Timur. Secara bagus dalam bukunya tersebut meskipun stressingnya lebih pada aspek politik dan ekonomi ia mampu menunjukkan bahwa peradaban timur adalah suatu eksistensisi yang berdinamika dan terus bergerak sekalipun dihadapkan pada kebudayaan Barat yang sudah hadir sejak abad ke-16 di Nusantara. Sesekali waktu ia menuliskan jika Timur dan Barat secara teknis adalah entitas yang sama saja dalam perkembangannya sebelum munculnya Revolusi Industri dan Teknologi di Eropa. Bahkan ia juga menunjukkan jika kekuatan Asia masih begitu besar, kokoh dan menguasai sektor-sektor penting dalam kehidupan bernegara sampai dengan abad ke-19, yang artinya kekuasaan kompeni saat itu belum begitu berarti di negara-negara jajahan – berbeda dengan seperti yang selama ini telah didakwakan oleh beberapa penulis Barat sebagai entitas yang terhegemoni, inferior, satgnant, tidak beradab dan sebagainya, sehingga perlu diberadabkan.

Menariknya lagi dari pandangan Van Leur ini, yaitu jika ia sebenarnya ingin menempatkan bangsa Asia dan Indonesia berada dalam suatu tempat dalam sejarah sebagaimana sebuah realitas itu sebenarnya terjadi. Kekuatan-kekuatan kokoh Asia adalah hal-hal yang mengisi sejarah dari peradaban Asia tersebut bukan mengekor dari sejarah peradaban kompeni ataupun Asia adalah cerminan dari sejarah kompeni dan Eropa itu sendiri. Berulangkali Van Leur menggunakan kata-kata “tidak tepat” untuk mengkounter dari pendapat Dr. Godee Molsbergen yang dapat dianggap sebagai representasi penulis-penulis Barat pada umumnya dalam memandang bangsa Indonesia. Dalam tulisannya tersebut, Van Leur juga mematahkan anggapan-anggapan orang-orang Barat yang memandang dunia Timur terutama dalam abad ke-18 sebagai negara yang miskin, lemah yang ekonominya dirongrong dan yang politis adalah anggapan yang dilabelkan sebagai negeri-negeri kelas dua. Dengan melihat berbagai fakta yang dituliskan oleh Van Leur, dalam banyak hal saya melihat anggapan tersebut kurang berdasar.

Tugas Review Historiografi Aisya Habib 4

TEORI MAHAN DAN SEJARAH KEPULAUAN INDONESIA
(J.C. Van Leur dan F.R.J. Verhoeven)

Pengantar
Karya ini menggambarkan tentang bagimana pentingnya kekuatan laut dalam menentukan jalannya sejarah. Seperti halnya yang dikemukakan oleh Alfred Thayer Mahan (1840-1914) dalam teorinya yang dituangkan dalam artikel ini yang sangat berpengaruh dan menarik perhatian bagi tokoh-tokoh penting yang ada, baik di Eropa seperti Amerika,Inggris,Prancis dan Belanda serta di luar Eropa seperti Indonesia yang dituangkan dalam berbagai hasil karya A.B Lapian yang menyajikan tentang sejarah maritim yang ada di Indonesia yang tidak terlepas dari Teori Mahan.

Karya J.C. Van Leur dan F.R.J. Verhoeven dalam artikel ini menyajikan tentang pentingnya kekuatan laut, maka tentu saja menarik ketika kita memperhatikan sebuah pernyataan perihatin yang pernah dilontarkan oleh Alfred Thayer Mahan. Ilmuan berkebangsaan Belanda ini, mengatakan bahwa: “para sejarawan pada umumnya tidak mengenal keadaan laut, karena mereka tidak menaruh perhatian khusus terhadapnya. Selain itu mereka juga tidak mempunyai pengetahuan khusus tentang laut, dan mereka tidak mengindahkan pengaruh kekuatan ini yang sangat menentukan jalannya peristiwa besar dunia”.

Pernyataan Mahan tersebut, dapat dimaknai sebagai wujud keperihatinan sekaligus tantangan bagi tanggung jawab dan kewajiban ilmiah para sejarawan. Bahkan seolah ia hendak mengajak kita untuk memberi porsi yang pantas bagi laut dalam kajian sejarah, dengan merujuk pada asumsi bahwa sederet peristiwa besar dunia tidak luput dari peran vital dunia maritim (laut).  Berdasarkan perspektif teori Mahan, ada 6 unsur yang menentukan dapat tidaknya suatu negara berkembang dengan kekuatan laut, yaitu: kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahnya termasuk lembaga-lembaga nasional. Aspek geografis dalam pandangan Mahan sangat penting sekali, dengan menjadikan Inggris, Belanda, dan Prancis sebagai perbandingan. Sebagai negara kepulauan, Inggris menurut beliau tidak mempunyai pembatasan darat sehingga dalam sejarahnya tidak perlu memikirkan ekspansi dan pertahanan darat. Berbeda dengan Prancis dan Belanda yang harus memperkuat pertahanan daratnya. Mengenai keadaan tanah, Mahan berpendapat bahwa Inggris dan Belanda tidak bisa menggantungkan hidup seluruhnya kepada tanahnya (berbeda dengan Prancis dan Amerika Serikat yang dikaruniai tanah yang subur), terpaksa harus mencari nafkah di laut. Demikian pentingnya letak geografis suatu wilayah, mendorong sejarawan memulai uraiannya dengan menampilkan kondisi lingkungan fisik suatu daerah.

Uraian Mahan ini lebih menunjukkan untuk pengembangan kekuatan laut Amerika, karena keenam hal itu ada pada Amerika. Namun pemikiran Mahan ini tidak mendapatkan tempat, sebab Pemerintah Amerika lebih mengembangkan pelayar untuk membuka akses perdagangan ke pedalaman.

Presiden Theodore Roosevelt (1901-1909) dan Henry Cabot Lodge (senat). Amerika mulai menganut politik ekspansi ke seberang lautan dengan menggunakan teori Mahan mereka menarik dukungan rakyat. Sejak tu Amerika lahir sebagai salah satu kekuatan dunia yang berpengaruh di dunia. Tak salah bila B. Downs (books that changed the world) memasukan buku karangan Mahan tadi menjadi buku yang merubah wajah dunia.

Nampaknya hal yang sama terjadi pada Belanda dengan berdirinya VOC yang tak lepas dari pengaruh teori Mahan. VOC tak hanya jadi persekutuan dagang tapi juga sebagai armada perang maritim yang besar. Ketika menghadapi perang pasifik, Van Leur menyadari bahwa pertahanan kepulauan Hindia Belanda membutuhkan angkatan laut yang kuat. Teori Mahan mengkaitkan dengan pembentukan daerah jajahan sebagai hal mutlak untuk perkembangan kekuatan laut, tidaklah sesuai dengan post-kolonial sekarang. Sebab proses dekolonialisasi setelah PD II melahirkan permasalahan bagi negara yang menjajah dan di jajah. Tak bisa di pungkiri, bahwa perkembangan maritim  baik dari segi kekuatan armada perang laut, perdagangan, memberikan sentuhan sejarah dunia.

Komentar
Dua karangan yang diterbitkan dalam terjemahan bahasa Indonesia ini tidak bebas pula dari pengaruh teori Mahan. Penguasaan suatu wilayah kepulauan seperti Indonesia sudah barang tentu mementingkan kekuatan maritim. Maka seorang sejarawan Belanda, Dr. J.C. Van Leur, telah membawa teori mahan kedalam uraiannya tentang sejarah kepulauan Indonesia: Mahan op den Indischen Lessenaar, XXX (1914) 576-586. Dalam hal ini Van Leur menunjukan kepada peranan Kompeni persatuan Hindia-Timur (VOC atau juga dikenal sebagai Kompeni Belanda) sebagai kekuatan maritim yang besar.

Karangan Van Leur merupakan sanggahan terhadap karangan Dr. F.R.J. Verhoeven. De Compagnie als instrument Van den oorlog ter zee 1602-1641. (kompeni sebagai alat perang di laut). Dalam tulisan Verhoeven ia menuraikan dalam karangannya yakni tentang peranan kompeni pada masa permulaannya sebagai alat perang yang bergerak dilaut dan yang berhasil mengalahkan musuh republik Belanda, khususnya Spanyol dan Portugis, serta mematakan persaingan dari pihak Inggris di perairan Indonesia.

Saya melihat dari kedua karangan ini yang walaupun saling bertolak belakang seperti halnya  Van Leur lebih menekan pada teori Mahan yang mengatakan bahwa kompeni didirikan hanya untuk kepentingan perdagangan menurut Verhoeven itu tidak tepat karna ternyata barang dagangan yang dibawah itu hanya sebagain kecil saja, bila dibandingkan dengan amunisi yang diangkutnya. Jadi menurut Verhoeven kompeni telah tumbuh menjadi alat perang di laut menjadi suatu kekuatan maritim yang besar di Asia. Namun pada intinya menurut saya kedua tulisan ini teropsesi dari teori Mahan itu sendiri. Mangapa karna dari tulisan kedua tokoh ini, enam unsur yang disampaikan oleh Mahan menggambarkan tentang situasi  dan kondisi yang terjadi semasa pemerintahan VOC di perairan Indonesia.
Jadi dari berbagai paparan tadi apabila saya kaitkan dengan Indonesia maka secara singkat bisa dikatakan bahwa sejarah maritim dalam kenyataannya merupakan bagian integral yang tak terpisahkan dengan penulisan sejarah Indonesia atau historiografi Indonesia baik terkait dengan ekonomi, politik, pertumbuhan dan perkembangan kota, masuk dan berkembangnya Islam di Nusantara, pertumbuhan dan perkembangan kerajaan, migrasi atau mobilitas penduduk, dan sebagainya. 

Tugas Review Historiografi Muhammad Syairin 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy
and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Wheatherbee Terhadap “History Of Java” Karya Raffles

Pada dasarnya dalam artikel ini, Donald membandingkan antara karya Raffles dan Mackenzie dalam penggunaan sumber-sumber historiografi tradisional Jawa. Baik Rafless maupun Mackenzie memiliki metode yang hampir sama dalam mengumpulkan data, keduanya dibantu oleh penguasa-penguasa pribumi serta para penerjemah. Bahkan keduanya juga terkadang menggunakan informan yang sama. Raffles mengklaim bahwa ia menggunakan sumber-sumber asli yang diberikan kepadanya, antara lain oleh Panembahan Sumenep, Sekretaris Pangeran Adipati Surakarta, Kyai Adipati Demak terakhir (Sura Adimenggala). Selain itu, ia dibantu J.A van Middelkoop untuk menerjemahkan teks-teks Belanda. Hal yang sama juga dilakukan oleh Mackenzie. Dalam mengumpulkan data, ia dibantu oleh banyak penguasa pribumi yang beberapa diantaranya juga merupakan informan bagi Raffles, seperti Sura Adimenggala dan Panembahan Sumenep. Selain itu, Mackenzie dibantu F von Winckelmann untuk mengumpulkan naskah dan J.G Vincent untuk menerjemahkan teks-teks bahasa Jawa.

Donald juga membandingkan data yang disampaikan oleh Raffles dalam History of Java dengan tulisan Middelkoop dan Engelhard. Donald banyak memberikan contoh-contoh perbedaan data yang disampaikan dalam karya tersebut. Meskipun karya Raffles juga menggunakan data Middelkoop dan Engelhard, namun Rafless tidak menggunakan data mereka secara utuh. Ada beberapa bagian yang dihilangkan oleh Raffles, sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi oleh Raffles mengenai data yang disampaikan oleh Middelkoop dan Engelhard. Baik karya Raffles, Mackenzie, Middelkoop dan Engelhard semuanya memiliki kelemahan dan kekurangan. Kelemahan karya-karya mereka antara lain, mereka tidak menguasai bahasa sumber (bahasa Jawa) dengan baik, bahkan beberapa diantaranya hanya mengandalkan bantuan penerjemah yang terkadang juga tidak menguasai bahasa Jawa dengan baik (hal 66), sehingga ada kemungkinan terjadi kesalahan interpretasi terhadap data. Kelemahan lainnya adalah mereka menggunakan data tanpa melalui proses kritik yang baik dan juga waktu penelitian yang relatif singkat (hal 65)

Terlepas dari perbedaan-perbedaan data yang disampaikan dalam karya tersebut, secara tersirat Donald menyampaikan bahwa karya Raffles, Mackenzie, Middelkoop dan Engelhard tentang Jawa, menunjukan bahwa ada perkembangan signifikan dalam studi tentang Jawa pada akhir ke-18 dan awal abad ke-19. Mereka telah meletakan dasar bagi kajian ilmiah tentang Jawa. History of Java meskipun banyak dikritisi, namun banyak dijadikan sebagai acuan dalam menuliskan sejarah Jawa. History of Java dianggap lebih maju dan lebih lengkap daripada karya-karya lain. Karya Raffles ini memberi pengaruh yang cukup besar bagi ilmuwan-ilmuwan sesudahnya, khususnya yang mengkaji tentang Jawa. Metode komparasi yang digunakan oleh Donald E. Weatherbee dalam menganalisis karya Raffles, bukan hanya semata-mata melihat kelemahan dari karya tersebut, tetapi juga lebih menekankan kepada perlunya sikap kritis seorang ilmuwan dalam menggunakan sumber dan menginterpretasi data.

Tugas Review Historiografi Muhammad Syairin 2

NATURAL HISTORIES: NEW WAYS OF KNOWING
Dalam Karya “Textual Empires” by Mary Cathrine Quilty

Penulis buku, Mary Catherina Quilty mengamati hasil karya lima orang berkebangsaan Inggris yang menulis tentang Asia Tenggara pada akhir abad 18 dan awal abad 19. Lima orang penulis bangsa Inggris tersebut adalah: Wiliam Marsden dengan karyanya History of Sumatra (1783), Michael Symes dengan karya  Journal of an Embassy to the Kingdom of Ava (1795), Thomas Stamford Raffles dengan karya History of Java (1817), John Crawfurd  dengan karya History of the Indian Archipelago (1820) dan John Anderson dengan karya Mission to the East Coast of Sumatra (1826). Menurut Mary, hasil karya mereka merupakan perpaduan antara keperluan administrasi kolonial Inggris dengan ambisi untuk penelitian ilmiah tentang Asia. Lima tulisan tersebut dapat dikategorikan sebagai  karya tentang Antropologi, Sejarah, Bahasa, Geografi, Ilmu Botani dan Biologi (hal ii). Mereka menghasilkan karya yang memuat semacam ensiklopedi tentang Asia Tenggara.

Marsden dianggap sebagai peletak dasar wacana keilmuan baru di Inggris tentang kajian Asia Tenggara. Sebelumnya, kajian dan tulisan tentang Asia Tenggara masih bersifat fantasi (hal 1). Metode yang digunakan Marsden dalam penelitian dianggap telah mengikuti prosedur ilmiah pada masanya. Hal ini juga diikuti oleh empat penulis lainnya, yakni Symes, Raffles, Crawfurd dan Anderson. Selain itu, kelima orang penulis tersebut (Marsden, Symes, Raffles, Crawfurd dan Anderson) melakukan penelitian tidak semata-mata hanya bertujuan untuk kepentingan kolonial, tetapi lebih untuk menambah pengetahuan masyarakat, khususnya pemahaman tentang orang Timur dalam kacamata Barat. Mereka selalu menyampaikan tujuan pedagogis pada setiap bagian awal dari karya mereka (hal 1-3). Mereka tidak hanya sekedar menambahkan nama Asia Tenggara dalam Kamus Inggris. Crawfurd menyebutnya sebagai penemuan kembali pengetahuan tentang Asia Tenggara, sehingga dapat disamakan dengan tulisan-tulisan ilmiah baru tentang Amerika (hal 3).

Metode yang mereka gunakan dalam karyanya juga beraneka ragam. Marsden menggunakan tiga tahapan dalam penelitiannya, (1) penggunaan observasi langsung, (2) melakukan seleksi dan penyajian data-data penting dan (3) data disusun secara ilmiah (hal 10). Dalam hubungannya dengan Sejarah Alam, Marsden menggunakan Metode Linneaus (ahli botani swedia) dalam deskripsi tentang orang Sumatra. Marsden menggunakan Taksonomi Linneaus untuk mengklasifikasikan tanaman dan hewan Sumatra (hal 27). Untuk Crawfurd, sejarah alam dan sosial dibedakan. Ketika Crawfurd kuliah antara tahun 1779 dan 1781, sekolah medis disibukkan dengan hubungan antara pembangunan sosial dengan pengaruh lingkungan (28)

Lima karya tentang Asia Tenggara oleh penulis Inggris tersebut, telah meletakan dasar bagi kajian ilmiah tentang Asia Tenggara. Penyusunannya karya-karya tersebut merupakan bagian dari kegiatan ilmiah pada masanya. Kajian Asia Tenggara sebelum mereka umumnya ditulis dengan menggunakan perspektif kolonial (Eropacentris) yang mempunyai ciri-ciri antara lain, sejarah menjadi milik penguasa dan ditulis dari kejauhan, terkadang penulisnya tidak turun langsung ke lapangan (daerah yang ditulisnya), bahkan hanya berdasarkan informasi dari penguasa lokal pribumi ataupun Barat. Meskipun demikian, setelah munculnya tulisan Marsden secara kasuistik masih banyak ditemukan kajian yang bersifat eropacentris tentang koloni di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia.
Marsden, Symes, Raffles, Crawfurd dan Anderson mungkin tidak pernah menyadari bahwa hasil karya mereka telah menjadi landasan bagi pemerintah kolonial dalam mengambil kebijakan terhadap koloninya. Misalnya, Marsden telah menyampaikan potensi-potensi ekonomi Sumatra, serta Raffles yang menyampaikan tentang simbol-simbol budaya dalam masyarakat Jawa (Islam Pesisir dan Islam Pedalaman, dll). Hal ini dapat dijadikan dasar bagi pemerintah kolonial untuk menentukan kebijakan di daerah tersebut. Selain itu, karya mereka juga mengilhami penulis dan ilmuwan Eropa lainnya yang mengkaji tentang Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Misalnya, tulisan-tulisan Albert Cristiaan Kruyt tentang Sulawesi Tengah. Tulisan A. C Kruyt yang berjudul “De West Toradja’s van Midden Celebes” dijadikan sebagai dasar oleh pemerintah Belanda dalam pembagian administrasi Sulawesi Tengah.

Tugas Review Historiografi Jhon Purba 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy
and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Wheatherbee Terhadap “History Of Java” Karya Raffles

Ada empat hal yang menarik dari tulisan Donald ini, yakni posisi Raffles dalam penulisan sejarah Jawa, metode mendapatkan sumber, hubungan Raffles dengan Mackenzie, dan perbandingan koleksi Middelkoop dengan tulisan Raffles. Raffles yang lahir pada 6 Juli 1781 ini memiliki pengalaman sebagai juru tulis di Perusahaan India Timur. Kecerdasannya telah mengantarkannya pada posisi Gubernur Jawa dari September 1811 sampai dengan bulan Maret 1816. Pada periode inilah Raffles banyak mengkaji sejarah Jawa.

Kemampuan Raffles berdiplomasi dengan pihak kerajaan Jawa, sikapnya yang terlihat humanis, serta didukung kemampuan finansial, telah memuluskan niatnya untuk mengumpulkan sumber-sumber sejarah. Sehingga dia bisa menggerakkan timnya maupun pihak kerajaan untuk mengumpulkan sumber. Seperti yang diklaim Raffles bahwa sumber-sumbernya berasal dari tulisan asli yang diberikan oleh Panembahan Sumenep, Sekretaris Pangeran Adipati dari Surakarta, dan terakhir Kyai Adipati Demak. Meskipun demikian, Raffles banyak menggunakan refrensi dari koleksi Mackenzie.

Mackenzie yang hanya menetap di Jawa dari Juli 1811 hingga Juli 1813 memang bisa dikatakan kurang atau terbatas dalam melakukan penyelidikan sejarah di Jawa. Meskipun demikian, dia berhasil menyalin beberapa naskah Jawa yang berasal dari perpustakaan Keraton Yogyakarta. Menariknya, metode penyelidikan Mackenzie melibatkan bupati, memiliki agen (perantara) yakni F.von Wickelmann untuk mencari arsip dan menerjemahkannya di J.G. Vincent. Vincent yang sudah ada di Jawa sejak 1772 ini membantu menerjemahkan dari bahasa Jawa.

Sebelum Mackenzie pulang ke India, pada Juni 1812 dia menemani Raffles pada ekspedisi Jawa Tengah. Dari sini bisa dilihat bahwa komunikasi mereka berhubungan dengan pengumpulan sumber-sumber sejarah Jawa. Hingga tahun 1813 berada di Jawa, Mackenzie tetap menerima naskah-naskah dalam salinan asli, bahkan ketika ia pun berada di India. Naskah-naskah inilah yang dialihkan kepada Perusahaan India Timur ketika Mackenzie meninggal pada 1822. Naskah ini disebut sebagai Koleksi 1822.

Di sisi lain disebutkan bahwa data-data sejarah Jawa diperoleh Mackenzie dari koleksi Middelkoop (orang Belanda yang sudah berada di Jawa sejak 1793), yang sudah delapan tahun duluan berada di Jawa.  Hal ini disebutkan karena koleksi Mackenzie menggunakan bahasa Belanda asli yang dianggap telah menjiplak koleksi Middelkoop. Selain itu, pada 1812 disebutkan bahwa Middelkoop memberikan data-data Sejarah Jawa kepada Raffles.

Selanjutnya tulisan Donald ini membandingkan antara tulisan Raffles dengan Middelkoop yang dianggap memiliki kemiripan. Perbandingan itu lebih condong menyoroti bahwa tulisan-tulisan Raffles itu merupakan reproduksi dari tulisan Middelkoop. Memang Middelkoop lebih dulu tinggal di Jawa dan bahkan lebih lama tinggal di Jawa dibandingkan dengan Raffles sehingga memungkinkannya lebih dulu mendapat sumber-sumber sejarah Jawa.

Meskipun demikian, waktu Raffles yang hanya empat setengah tahun di Jawa bisa mendapatkan sumber yang banyak karena dalam penyelidikannya menggerakkan banyak pihak dalam menulis sejarah Jawa. Sementara pihak Belanda yang sudah ada di Jawa sekitar dua abad, belum mengkaji sejarah Jawa secara. Keberhasilan Raffles dalam menulis sejarah Jawa ini bisa jadi menimbulkan kecemburuan dari peneliti Belanda.          

Tugas Review Historiografi Jhon Purba 2

NATURAL HISTORIES: NEW WAYS OF KNOWING
Dalam Karya “Textual Empires” by Mary Cathrine Quilty

Tulisan Mary Catherine Quality dalam buku yang berjudul “Textual Empires”, sangat menarik. Pada bagian pertama, dia menulis “Sejarah Alam: Cara Baru Untuk Mengetahui” yang menjelaskan dua hal pokok. Pertama, menjelaskan latar belakang dan motivasi penulis-penulis Barat (Marsden, Symes, Raffles, Crawfurd, dan Anderson) menulis daerah yang dilaluinya, dalam hal ini wilayah Asia Tenggara. Kedua, menjelaskan metode penulisan yang dilakukan oleh kelima penulis tersebut.

Dari pengakuan kelima penulis tersebut, mereka bertujuan untuk mendidik umum melalui buku-buku yang mereka terbitkan. Mereka menulis bukan untuk tujuan administrasi kolonial. Meskipun demikian, tulisan-tulisan mereka tersebut pada praktiknya bisa dipakai dalam melanggengkan kolonialisme. Tapi kita tidak bisa memungkiri, tulisan-tulisan mereka telah menjadi acuan di masa kini untuk menulis sejarah Asia Tenggara. Tulisan mereka memberikan banyak gambaran kehidupan pada masa dimana tulisan dibuat.

Bila dikaitkan dengan historiografi, kelima penulis tersebut lebih memfokuskan dari pengamatan dan analisis berdasarkan indera yang dimiliki. Hal ini bisa dipahami karena mereka bisa dikatakan sebagai perintis dan belum memiliki data-data tertulis sebelumnya. Sehingga tulisan dimulai dari sejarah alam itu sendiri kemudian dilanjutkan dengan sejarah sosial dan budaya.

Pada umumnya sejarah alam itu meliputi nama dan lokasi pulau/wilayah, letak geografis, geologi, botani, zoologi, pegunungan dan gunung berapi, danau, sungai, lautan, musim, tanah, mineral, dan sebagainya. Sementara sejarah sosial budaya meliputi bahasa, demografi, antroplogi, dan pemerintahan. Ini merupakan catatan yang luar biasa di zaman tersebut.

Meskipun demikian, saya masih meragukan motivasi mereka yang dikatakan hanya murni untuk tujuan ilmu pengetahuan. Pertanyaannya, mengapa mereka lebih fokus mengkaji alam? Apakah ini berkaitan dengan tujuan Barat untuk menguasai sumber-sumber alam di kawasan Timur (Asia Tenggara)? Pertanyaan itu tidak dibahas dalam tulisan Mary Catherine Quality ini. 

Tugas Review Historiografi Jhon Purba 1

Balinese Texts and Historiography
Dalam Karya Andrian Vickers

Tulisan Andrian Vickers yang berjudul “Balinese Texts and Historiography” cukup menarik bila dilihat dari kaca mata historiografi Indonesia dan penulisan sejarah Bali khususnya. Bali memiliki tradisi sastra yang sering digunakan dalam ritual-ritual. Pertanyaannya adalah bagaimana menggunaan teks-teks Bali seperti babad sebagai sumber sejarah dalam penulisan sejarah?

Historiografi model Barat tentu melihat teks-teks Bali ini hanyalah sebagai karya sastra dan mitos. Sementara historigrafi Indonesia mencoba lepas dari “Eropa-sentris”, meskipun dalam beberapa hal tetap mereproduksi pemikiran Barat. Dengan demikian ada perbedaan antara penulisan sejarah dari masyarakat adat Bali dengan  penulisan sejarah dari sumber-sumber Eropa.

Di satu sisi, Andrian mengkritisi kelemahan historiografi Indonesia dalam hal persepsi dan kebenaran waktu. Baginya penulisan sejarah Bali tidak jelas membedakan antara metodologi sejarah, studi sastra, atau antropologi. Tetapi di sisi lain, juga mengkritisi pandangan Barat yang berusaha menggeneralisasi tentang Bali dari satu studi tertentu. Bahkan baginya orang Barat ingin melihat Bali berbeda dari apa yang dilihat masyarakat Bali sendiri.   

Memang dalam menulis sejarah dengan menggunakan teks-teks tradisional mengalami banyak kesulitan. Selain teks-teks itu jarang memiliki penanggalan waktu yang jelas, juga akan kesulitan jika melihatnya dari kekinian. Sumber-suber sejarah Barat juga tidak bisa dijadikan sebagai sumber utama dalam penulisan sejarah lokal karena memiliki kelemahan dalam melihat persoalan. Apalagi penulis Barat tersebut belum tentu memahami budaya penduduk lokal.

Di Bali sendiri, ada tiga kosa kata mengenai masa lalu, yakni “uning” (history), “eling” (memory), dan “load” (sites of memory). “Uning” merupakan pengetahuan masa lalu yang resmi/terlembagakan. Otoritas untuk bicara tetang masa lalu dipegang oleh rezim kebenaran tentang masa lalu sehingga terjadi pembungkaman terhadap narasi-narasi yang lain. Sedangkan “eling” (social memory) bisa diwujudkan dalam “pakeling” (ritual memory), yakni pengingatan yang bisa melibatkan semua orang tanpa ada seorang pun yang punya hak otoritas untuk “menarasikan masa lalu” secara eksklusif.

“Pakeling” dapat terlihat melalui “load”, yakni jejak-jejak masa lalu yang membadan (embodied), atau torehan-torehan masa lalu yang mewujud pada tempat, benda, kata, bunyi, dan sebagainya. Torehan-torehan itu diingat, dan ingatan itu turut membentuk cara orang bertutur kata, bertindak dan merespon stimulus-stimulus tertentu. 

Oleh sebab itu, dalam menulis sejarah Bali seharusnya tidak hanya melihat teks-teks yang tersedia. Tetapi juga memperhatikan sumber-sumber sejarah yang lain seperti “uning”, “eling”, dan “load”. Di sinilah sangat dibutuhkan sejarawan yang benar-benar memahami dan mampu melihat Bali dari berbagai sudut pandang. 

Tugas Review Historiografi Mufidha BI 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy
and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Wheatherbee Terhadap “History Of Java” Karya Raffles

Donald E. Weatherbee dalam “Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and The Mackenzie Collections” berbicara tentang metode penulisan Raffles dalam menghasilkan “History of Java”. Donald banyak menyinggung tentang pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan oleh Raffles termasuk caranya mempekerjakan asisten seperti Mackenzie dalam mengumpulkan data dan laporan-laporan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, disinggung pula tentang bagaimana Raffles mempergunakan sumber tradisional dan juga sumber tulisan-tulisan lain untuk mewujudkan “History of Java”. Dalam kaitannya dengan ini, Donald kemudian membandingkan antara “History of Java”, “Middlelkoop’s manuscript” dan “Engelhard Serat Kanda”.

Dalam menanggapi apa yang dipaparkan oleh Donald, yang menarik adalah bahwa ternyata metode pengumpulan sumber yang dilakukan Raffles menuai berbagai macam tanggapan termasuk kritik. Namun, terlepas dari itu, apa yang dihasilkan oleh Raffles pada masa itu tetaplah bisa dikatakan sebagai tonggak penelitian terhadap sejarah Jawa. Tetapi, dalam membaca dan mengintepretasi tulisan Raffles, tidak bisa dilakukan tanpa kritik. Hal itu disebabkan karena Raffles menulis berdasarkan sudut pandang dia dalam melihat Jawa. Subjektivitasnya sebagai seorang asing sekaligus seorang pejabat kolonial tidak bisa diabaikan. Tidak hanya Raffles, banyak tulisan yang kemudian dihasilkan oleh para sejarawan kolonial yang dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena dari sini kita bisa memperoleh banyak informasi tentang fakta-fakta dan kejadian selama masa kolonial. Tetapi sekali lagi bahwa apa yang dihasilkan oleh para sejarawan kolonial ini tidak terlepas dari kepentingan mereka secara pribadi maupun kepentingan pemerintah kolonial. Sehingga, dalam mempergunakan sumber-sumber ini selain melakukan kritik terhadap materi tulisan, kita juga perlu melihat tujuan dihasilkannya karya tersebut, apa hubungan penulis dengan pemerintah kolonial dan bagaimana cara penulis mengumpulkan sumber.

Satu hal lagi yang menarik hubungannya dengan sejarawan kolonial adalah adanya penggelembungan peranan bangsannya sendiri di dalam karya mereka. Sebagai contoh, bagaimana Raffles mengkerdilkan peranan Belanda dan menonjolkan peranan Inggris di Hindia Belanda. Begitu pula sebaliknya, sejarawan kolonial Belanda sangat menonjolkan peran Belanda dalam penyajian tulisannya. Tetapi, pertanyaan saya kemudian adalah bukankah hal ini juga dilakukan oleh sejarawan Indonesia pasca kemerdekaan? Istilah Indonesiacentris yang sering dikemukakan oleh Prof. Bambang Purwanto mungkin bisa dihubungkan  dengan pertanyaan ini. Apakah memang sudah merupakan sifat alami sejarah nasional sebuah bangsa untuk menggelembungkan peranannya sebagai upaya ‘nasionalisasi’ kepada rakyatnya? Jika memang demikian, maka bukankah sejarah lagi-lagi dijadikan alat politik? Atau adakah alternatif penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda? Bisakah sejarah berdiri dalam posisinya sendiri sebagaimana mestinya?

Weatherbee, E. Donald (1978). Raffles’s Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 26, 63-93.

Tugas Review Historiografi Mufidha BI 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy
and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Wheatherbee Terhadap “History Of Java” Karya Raffles

Donald E. Weatherbee dalam “Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and The Mackenzie Collections” berbicara tentang metode penulisan Raffles dalam menghasilkan “History of Java”. Donald banyak menyinggung tentang pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan oleh Raffles termasuk caranya mempekerjakan asisten seperti Mackenzie dalam mengumpulkan data dan laporan-laporan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, disinggung pula tentang bagaimana Raffles mempergunakan sumber tradisional dan juga sumber tulisan-tulisan lain untuk mewujudkan “History of Java”. Dalam kaitannya dengan ini, Donald kemudian membandingkan antara “History of Java”, “Middlelkoop’s manuscript” dan “Engelhard Serat Kanda”.

Dalam menanggapi apa yang dipaparkan oleh Donald, yang menarik adalah bahwa ternyata metode pengumpulan sumber yang dilakukan Raffles menuai berbagai macam tanggapan termasuk kritik. Namun, terlepas dari itu, apa yang dihasilkan oleh Raffles pada masa itu tetaplah bisa dikatakan sebagai tonggak penelitian terhadap sejarah Jawa. Tetapi, dalam membaca dan mengintepretasi tulisan Raffles, tidak bisa dilakukan tanpa kritik. Hal itu disebabkan karena Raffles menulis berdasarkan sudut pandang dia dalam melihat Jawa. Subjektivitasnya sebagai seorang asing sekaligus seorang pejabat kolonial tidak bisa diabaikan. Tidak hanya Raffles, banyak tulisan yang kemudian dihasilkan oleh para sejarawan kolonial yang dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena dari sini kita bisa memperoleh banyak informasi tentang fakta-fakta dan kejadian selama masa kolonial. Tetapi sekali lagi bahwa apa yang dihasilkan oleh para sejarawan kolonial ini tidak terlepas dari kepentingan mereka secara pribadi maupun kepentingan pemerintah kolonial. Sehingga, dalam mempergunakan sumber-sumber ini selain melakukan kritik terhadap materi tulisan, kita juga perlu melihat tujuan dihasilkannya karya tersebut, apa hubungan penulis dengan pemerintah kolonial dan bagaimana cara penulis mengumpulkan sumber.

Satu hal lagi yang menarik hubungannya dengan sejarawan kolonial adalah adanya penggelembungan peranan bangsannya sendiri di dalam karya mereka. Sebagai contoh, bagaimana Raffles mengkerdilkan peranan Belanda dan menonjolkan peranan Inggris di Hindia Belanda. Begitu pula sebaliknya, sejarawan kolonial Belanda sangat menonjolkan peran Belanda dalam penyajian tulisannya. Tetapi, pertanyaan saya kemudian adalah bukankah hal ini juga dilakukan oleh sejarawan Indonesia pasca kemerdekaan? Istilah Indonesiacentris yang sering dikemukakan oleh Prof. Bambang Purwanto mungkin bisa dihubungkan  dengan pertanyaan ini. Apakah memang sudah merupakan sifat alami sejarah nasional sebuah bangsa untuk menggelembungkan peranannya sebagai upaya ‘nasionalisasi’ kepada rakyatnya? Jika memang demikian, maka bukankah sejarah lagi-lagi dijadikan alat politik? Atau adakah alternatif penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda? Bisakah sejarah berdiri dalam posisinya sendiri sebagaimana mestinya?

Weatherbee, E. Donald (1978). Raffles’s Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 26, 63-93.

Tugas Review Historiografi Suharto 2

SEKS, RAS DAN KONTRAK
Dalam “Textual Empires” by Mary Cathrine Quilty

Pada bab ketiga dari buku ini, beberapa analisis sangat luar biasa. Bagaimana realitanya analisis yang berkaitan dengan Asia Tenggara yang dilakukan oleh Marsden, Crawfud, Rafless, Anderson, dan Syemes memiliki beberapa pemahaman yang seakan-akan kontradiksi. Pembahasan pada buku ini, Mary mencoba memberi berbagai perbandingan bagaimana Asia Tenggara menjadi ajang kompetisi dari 3 (tiga) kekuasaan yang saling memiliki kepentingan: EIC (Kompeni Perdagangan Inggris), sultan dan raja di Asia Tenggara, serta Kerajaan Inggris Raya. Sebagai para penguasa, semua berhak untuk memberi pengakuan pada wilayah ini. Buku ini berusaha menjelaskan bagaimana teori Adam Smith yang berkaitan dengan perekonomian baru yang sangat menjadi populer pada abad 18 dan 19 memberi penjelasan secara rinci bagaimana seharusnya seorang enterpreneur (pedagang) menjadi sangat berhasil memiliki kekayaan yang luar biasa. Idiom serta jargon bahwa berdagang mencari untung yang sebesar-besarnya sangatlah lumrah. Bersikap hemat dan mencari laba yang sebesar-besarnya, bergema serta bergaung pada abad ini.

Asia Tenggara sebagai suatu daerah yang banyak dikuasai oleh para penguasa, oleh para penulis dan pengamat terjadi perubahan yang sangat dinamis. Apabila sebelumnya hampir seluruh kawasan Asia Tenggara merupakan kawasan yang sangat feodal dan dikuasai oleh sistem patriarkarh (dominasi para lelaki), setelah masa ini karena singgungan yang luar biasa dengan barat juga mendapat perubahan dari berbagai sisi. Teori Maltus yang membahas masalah kelahiran dan perkembangan daya hidup suatu bangsa secara nyata dapat disaksikan pada kawasan ini. Kasus Asia Tenggara, Asia Timur, maupun Asia Selatan, pada dasarnya merupakan ledakan penduduk yang tidak beriringan dengan kesanggupan mengelola lingkungan alam. Secara teori, Maltus juga memberi jarak ataupun ruang mencoba mengaplikasikan bagaimana perkembangan penduduk bisa berkembang sangat pesat pada masa-masa ini. Usaha yang sangat bagus dari beberapa pakar Asia Tenggara yang menyoroti masyarakatnya, yaitu adanya perubahan kita dapat mengerti perubahan memang selalu terjadi secara alamiah. Apabila sebelum ditulis oleh para pakar ini masyarakat Asia Tenggara dapat dikatakan masyarakat patrimonial dengan dukungan penguasa feodal yang memiliki jaringan kekuasaan secara klasik pada wilayah ini.

Para bangsawan yang menganggap dirinya legitimasi sering menguras atau memperbudak masyarakat yang seharusnya menjadi pendukung perubahan pada kelas menengah, sangat berbeda perkembangan ekonomi di Eropa peranan kaum kelas menengah sangat besar. Symes mencoba menajbarkan bagaimana dominasi orang tua (bapak) pada masyarakat Burma yang secara ekonomi menengah memiliki perkembangan yang menarik. Pada masa sebelumnya secara umum pria dewasa Burma berperanana sebagai ayah yang sangat dominan bahkan otoriter, mulai terbuka terhadap keluarga maupun anak-anaknya. Anderson banyak memberi gambaran yang nyata baik di Sumatra maupun Jawa utamanya daerah pesisir dengan segala dinamikanya. Rafless sebagai pakar sejarah Jawa maupun Sumatra dengan berbagai data yang dimiliki, mempunyai gambaran yang sangat jelas tentang perkembangan sejarah tanah ini. Pernyataannya tentang Pasundan yang berkaitan dengan perdagangan serta perkebunan utamanya kebun kopi, yaitu para pribumi (bumiputera) mampu menghadirkan apa yang disebutnya kultural kopi. Marsden yang memberi gambaran pada masyarakat Sumatra memiliki pemahaman tersendiri pada masyarakat Sumatra yang berkaitan dengan masyarakat Rejang, yaitu suatu kebiasaan bagaimana terjadinya kekerasan baik yang disengaja maupun tidak sering terjadi pada keluarga serta saudara-saudaranya. Perubahan yang sangat signifikan pada masyarakat Asia Tenggara dapat diketahui dari tulisan Crawfud yang sangat terperinci mengingat luasnya Asia Tenggara serta kepulauan yang dimiliki. Perkembangan dan perubahan baik dari masalah realita perekonomian, cara pandang terhadap wanita, dan berbagai persoalan yang menyangkut kontrak sosial, memberi wacana yang sangat kaya. Buku ini memiliki kejelasan serta rincian yang cukup bagus. Mary mencoba memberi analisis serta wawasan pada masyarakat daerah ini secara jelas dari masyarakat pertanian yang memiliki persoalan dengan munculnya perkembangan daerah industri di Eropa yang menjadikan Asia Tenggara sebagai salah satu pasar hasil produksi.

Superioritas kulit putih terhadap kulit berwarna dalam wilayah perekonomian serta keunggulan teknologi dari bangsa pribumi (kulit berwarna) merupakan kajian yang sangat kaya. Perbudakan yang berjalan di Asia Tenggara sebenarnya seumur bangsa Asia Tenggara sendiri dalam perkembangan sejarahnya. Ketimpangan yang sangat tinggi antara orang kulit putih dan kulit berwarna tidak saja di Asia Tenggara tetapi juga di wilayah lain, contohnya Hindustan. Banyak sekali penulis yang membuat perbandingan dalam struktur masyarakat di Asia Tenggara dengan Asia Selatan. Struktur masyarakat India (Hindustan) yang berdasarkan kasta dan sudah sangat mapan sebagai suatu bentuk kontrak sosial sering berhadapan struktur Asia Tenggara yang relatif cair dan longgar, memiliki kemiripan berkaitan dengan feodalisme. Perbandingan masalah realita pelacuran yang ada di Burma, siapa yang mau mendirikan rumah bordir atau menjual anaknya dan merasa tidak bersalah sangat berbeda dengan yang ada di negeri China. Sebagai masyarakat yang penuh kecemburuan tidak mudah pemerintah memberi izin seseorang mendirikan komplek pelacuran. Ada peraturan yang sangat terperinci siapa saja yang boleh masuk ke wilayah tersebut. Symes menyajikan fakta ini dengan sangat menarik. Semangat yang tinggi dari keterampilan orang-orang Arab di wilayah laut juga banyak disinggung oleh para penulis generasi awal pembahasan Asia Tenggara.

Tulisan Rafless pada bab 3 ini mendapat porsi yang luar biasa besar. Rincian yang sangat banyak serta data yang melimpah yang disajikan Rafless memberi inspirasi tersendiri bagi Mary untuk membuat wacana Asia Tenggara yang kaya raya dari berbagai sisi. Kontrak-kontrak yang dianggap menguntungkan baik yang berkaitan dengan seks, ekonomi, serta ras, cukup gamblang terpapar dari data yang disajikan. Rafless mereduksi tentang ledakan penduduk Jawa, kesenian, dan peradaban, merupakan rancangan yang luar biasa dari apa yang disebut metropolis lautan India. Masalah perdagangan, hubungan persaudaraan, institusi politik, intercourses, serta penetrasi, sebenarnya sesuatu yang menimbulkan fantasi tumbuh luar biasa serta memiliki hubungan yang sangat bagus dengan Kekaisaran Jepang dan China serta Asia Tengah menjadi Jawa sebagai magnet tersendiri bagi perkembangan apa yang disebut kekayaan Lautan Hindia. Crawfud melihat Asia Tenggara yang fokus pada Pulau Jawa tentunya sesuatu yang sangat maju membuat perimbangan tersendiri dengan orang-orang Eropa. Para pedagang Eropa yang berlalulalang di seluruh wilayah menunjukkan superioritas serta memberi cap tersendiri yang berkaitan dengan ras. Perkembangan pabrik gula serta perluasan tanah untuk lahan pertanian masih dapat dilaksanakan di wilayah Asia Tenggara. Persoalan yang ada pada masa ini lebih menunjukkan bagaimana triumvirat kekuasaan mampu melaksanakan berbagai kepentingannya dengan bagus. Kendala dari EIC dan Pemerintah Inggris membuat sultan dan raja di Asia Tenggara terlihat sangat jelas di dalam kontrak-kontrak kuno.

Buku ini memiliki pemahaman yang sangat jelas yang memberi ruang lingkup sultan setuju untuk menyepakati kebebasan, serta aturan mereka sebagai kebijaksanaan sultan. Mengubah banyak jumlah perdagangan dan properti dalam berproduksi serta kepemilikan tanah, EIC setuju dikembalikan kepada militer. Sebenarnya kontrak yang ada penguasa Asia Tenggara bukan sebagai sub-ordinat EIC. Teori Adam Smith yang berkaitan dengan tangan yang tak terlihat (invisible hand) juga sangat terasa di Asia Tenggara. Bahasan yang ada pada buku ini memberi kualitas tersendiri bagi masa-masa kejayaan kolonialisme ketika merambah Asia Tenggara, baik Belanda, Inggris, maupun Prancis, memiliki kesamaan untuk membawa Asia Tenggara pada model perdagangan yang relatif baru seperti yang dijabarkan oleh Adam Smith. Banyak pengamat pada masa ini memiliki nostalgia tersendiri untuk melihat sebagai suatu kawasan yang penuh dengan berbagai hal yang rumit maupun sederhana. Topografi Asia Tenggara yang penuh pegunungan serta tropis dan memiliki lautan yang luas sebenarnya menjadi kajian tersendiri bagi para ilmuwan utamanya para sejarawan untuk dikaji lebih dalam. Suku yang berserakan, bahasa yang berbeda-beda serta kepercayaan yang sangat beragam terasa sangat kecil apabila hanya dilihat semasa kolonial saja.

Perkembangan Asia Tenggara yang dilihat sekarang ini apabila kita mengacu pada buku-buku tahun ini seperti yang dijabarkan oleh Mary sebenarnya tidak banyak berubah kasus yang terjadi masalah kemiskinan, pernikahan dini, traficking, pendidikan, serta keterbelakangan, belum dapat dituntaskan sampai hari ini. Sudut pandang para kolonialis selalu mewarnai bahwa Asia Tenggara suatu wilayah sebagai subjek untuk penelitian maupun objek segalah hal yang berkaitan dengan pembaratan. Buku ini sangat baik untuk membantu pemahaman sosiologi sebagai penyangga ilmu sosial berkaitan dengan kesejarahan. Kelebihan pendekatan dari berbagai bentuk serta dimensi ilmu-ilmu sosial ternyata memiliki keunggulan tersendiri dalam memahami berbagai hal permasalahan kesejarahan yang semrawut sebagai layaknya Asia Tenggara sebagai laboratorium ilmu-ilmu sosial. Para pembaca buku ini tidak akan menemukan sesuatu yang berlebih dari suatu kajian apabila sebelumnya tidak dibekali dengan berbagai ilmu-ilmu sosial maupun sejarah dengan baik. Wacana yang luas dari para penulis yang disajikan Mary tentu tidak dapat dicapai dengan baik bagi pembaca yang tidak memiliki latar belakang pengetahuan yang sebanding. Titik lemah buku ini berasal dari para peramu utamanya Mary sebagai seorang sejarawan hanya berusaha menjabarkan serta memberi beberapa analogi yang masih kurang mendasar. Gaya tulisan yang di sana-sini masih terlihat struktural bahasa yang kurang begitu bagus. Ini dapat diketahui dari banyaknya istilah yang sulit untuk dimengerti.