Sabtu, 26 November 2011

Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 5

Menulis Sejarah Sendiri
Beberapa Problem Historiografi Indonesia

Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas sebuah jurnal berjudul “Problems of Indonesians Historiography” yang ditulis D.G.E. Hall. Jurnal ini berisikan mengenai beberapa masalah yang dihadapi sejarawan Indonesia dalam membangun corak tulisan sejarah mereka. Di mana wacana demi wacana telah lama didiskusikan untuk meletakkan orang Indonesia sendiri sebagai aktor utama dalam sejarah bangsa, bukan sebagai kepanjangan dari sejarah bangsa lain, atau hanya menjadi figuran dalam setiap penulisan sejarah Indonesia.

Sebagaimana telah diketahui bahwa kepustakaan sejarah yang pada saat itu lebih banyak menekankan peranan orang Eropa, dan melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Hal tersebut terjadi, karena memang data-data yang mereka punyai untuk menggambarkan kita sangat banyak sekali. Sehingga wajar, bila sejarah Indonesia, banyak ditulis berdasarkan perspektif mereka. Lantas pertanyaannya adalah, apakah kita tidak mempunyai data-data yang dapat menggambarkan masa lalu bangsa kita sendiri. Tentu inilah yang menjadi pertanyaan dalam tulisan Hall. Dia melihat bahwa wacana Indonesiacentrisme seharusnya didukung pula dengan persiapan data dan sumber-sumber yang dapat dijadikan media dalam eksplanasi sejarah bangsa. Maka dari itu, Hall merasa apresiasi sekali terhadap pemikir, penulis, dan sejarawan yang mencoba untuk menerobos kekurangan ini sebagaimana yang telah dicoba oleh Hoesein Djajadiningrat yang secara kritis mengkaji tradisi penulisan babad dalam khasanah sastra. Tulisan itu memang sedikit dipengaruhi oleh penulis luar yang lebih dahulu membahas secara kritis menganai babad, yakni H.J. de Graf dan C.C. Berg. Namun karena Hosein Djajadiningrat orang Indonesia pertama yang mencoba membahas babad secara kritis maka apresiasi terhadapnya cukup besar. Selain itu, Soedjatmoko turut juga memanaskan wacana Historiografi Indonesiacentrisme, dia mampu memuat berbagai keterangan mengenai sumber sejarah dan sumbangan berbagai disiplin untuk penulisan sejarah, ini menjadi landasan intelekstual yang penting.

Permasalahan lain yang turut dipersoalkan Hall adalah siapa yang akan meneruskan penelitian ini setelah orang-orang tersebut, apakah ada ruh baru yang akan melanjutkan wacana historiografi Indonesiacentrisme. Sehubungan dengan itu, Koentowijoyo berharap sekali bahwa sejarawan akademisilah yang paling ada peluang untuk “mengompori” persoalan itu.

Sumber:
Hall, D.G.E.
Pacific Affairs. Vol. 38, No. ¾, (Autumn 1965 – Winter, 1965-66), pp 353-359.

Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 4

Leur dan Verhoeven
Dalam Pandangannya Menjelaskan Sejarah Kompeni

“Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia” adalah kumpulan dua artikel terjemahan yang isinya berkaitan dan membahas tema yang sama, yaitu sejarah maritim. Di mana masing-masing penulis artikel saling adu argumentasi dan kritik sesuai kerangka berpikir yang mereka punya.

Judul artikel pertama dalam buku ini adalah “Mahan op den Indischen Lessenaar” (Mahan di meja baca Hindia) yang dibuat J.C van Leur, artikel ini adalah artikel sanggahan terhadap tulisan sebelumnya yang dibuat F.R.J. Verhoeven, “De Compagnie als instrument van den oorlog ter zee 1602-1641” (Kompeni sebagai alat perang di laut). Awalnya Leur merasa tidak puas dengan pemaparan Verhoeven yang tidak melihat teori Mahan dalam menjelaskan hubungan sejarah Kompeni Belanda di kepulauan Indonesia. Karena merasa diserang dan dikritik habis-habisan oleh Leur, akhirnya Verhoeven pun menjawab dengan memberi kritik balasan melalui tulisannya “In de ban van Mahan” (Terpesona oleh Mahan). Verhoeven beberapa kali secara “vulgar” mengecam Leur yang dianggapnya terlalu berani dan tidak sopan melempar pandangannya.

Memang sangat menarik membahas dua artikel yang saling bertentangan, dan adu pandangan terhadap suatu tema yang sama. Karena dari sanalah sebenarnya kita bisa melihat, bagaimana para penulis itu menyusun kerangka berpikirnya untuk menjelaskan suatu pokok permasalahan. Leur, dengan modal teori Mahan, ia ingin menunjukkan peranan Kumpeni Belanda sebagai kekuatan maritim yang besar. Ia kemudian melihat gagasan dan teori-teori tentang kekuatan laut (Sea Power) yang dibuat oleh Mahan, di mana dalam gagasan itu terdapat enam unsur yang menentukan dapat tidaknya sebuah negara berkembang menjadi sebuah negara bahari, yaitu: kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahannya. Leur menggunakan salah satu teori dari Mahan untuk menyelidiki sejarah kumpeni di Indonesia yaitu teori kedudukan geografis. Dalam rangka memperluas daerah kekuasaan atau eksistensinya dalam menerapkan kolonialisme di Indonesia, Belanda perlu memperhatikan kondisi geografis dari Indonesia. Sebagaimana pada saat itu, Indonesia dikenal sebagai “negara” yang sangat luas wilayahnya terutama lautnya dan juga terdiri dari beribu-ribu pulau di dalamnya (archipelago). Sehingga apabila Belanda ingin menguasai Indonesia dan tetap menjadi kolonial yang paling kuat, tanpa ada negara lain yang menyainginya, maka kekuatan di lautan dan wawasan maritim Belanda harus terampil dan solid. Selain dari penguasaan terhadap wilayah laut, Belanda juga harus menguasai jalur perniagaan atau perdagangan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki banyak pelabuhan-pelabuhan penting yang strategis misalnya pelabuhan Sunda Kelapa yang letaknya berada di perairan utara pulau Jawa yang merupakan jalur pelayaran dari daratan India menuju China. Banyak kapal-kapal dagang saat itu, baik China, Arab, India yang singgah dan melakukan kegiatan perdagangan. Sehingga seharusnya Verhoeven juga menjelaskan peranan pedagang-pedagang itu. Apalagi sebelum memasuki abad ke-18, kompeni masih belum dianggap mempunyai peranan penting di Indonesia. Oleh karena itulah,  Leur mengungkapkan untuk menjelaskan sejarah Kompeni Belanda seharusnya terlebih dahulu melihat peta dari daerah yang menjadi tempat penetrasinya, sehubungan dengan itu, teori Mahan cocok digunakan sebagai media penggambaran.

Berbeda dengan pandangan Leur, Verhoeven mencoba sedikit “melunak”, walau terkadang ada beberapa kalimat secara “vulgar” mengecam, ia memang mengakui secara tidak tegas menerapkan teori Mahan pada tulisannya yang pertama. Akan tetapi, itu berdasarkan pertimbangan yang sudah sangat diperhitungkan. Ia melihat bahwa ada beberapa segi dari teori Mahan yang tidak cocok untuk diterapkan pada tulisannya seperti permasalahan waktu yang tidak relevan untuk menjelaskan peristiwa sejarah yang sudah lama. Ia berasumsi kondisi laut dulu berbeda dengan kondisi laut ketika teori Mahan muncul. Sehingga ia kurang antusias terhadap teori itu. Di akhir artikel, ia kemudian memunculkan nama-nama orang yang mengkritik teori Mahan.

Dari beberapa penggambaran di atas, penulis hanya bisa menyimpulkan bahwa baik Leur dan Verhoeven, sama-sama memiliki cara sendiri dalam menerapkan kerangka berpikirnya. Konsep dan teori yang mereka pakai, juga sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Memang di dalam tulisan ilmiah konsep dan teori sangat menentukan nilai tulisan itu baik atau tidak. Namun, kita hanya bisa berupaya, teori mana yang paling dekat dan benar untuk menjabarkan inti persoalan. Hemat kata, penulis sangat apresiatif sekali dengan kedua tokoh ini, mereka mengajarkan bagaimana berbuat kritis dalam melihat sesuatu.   

Sumber:
Van Leur, J.C dan F.R.J. Verhoeven. 1974. Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia, terjemahan Kartini Abubakar tim. Jakarta: Bhratara

Sabtu, 12 November 2011

Tugas Review Historiografi Ahmad Al Marisi 5

Permasalahan Historiografi Indonesia

Tulisan ini ditulis oleh D.G.E Hall, seorang sejarawan dari inggris (atau amerika serikat). Tulisan ini merupakan hasil reviewnya terhadap tulisan-tulisan yang telah lebih dahulu terbit yang bertema tentang historiografi Indonesia. Hall dalam tulisannya berusaha untuk membandingkan tulisan-tulisan para ahli tersebut untuk melihat masalah dan metode mereka dalam meneliti. Setelah membaca tulisan ini, menurut saya, Hall menggunakan penelitian kepustakaan dan sesekali mewawancara sang penulis buku yang dipakainya untuk tulisan ini.
Hall membatasi  penelitiannya hanya kepada sejarah awal atau tradisional di Indonesia. Untuk bisa memahami ini, menurut saya Hall perlu membahas karya-karya klasik jawa seperti babat tanah jawi dan sebagainya untuk memahami sejarah awal tanah jawa. Untuk sumatera, ia perlu mempelajari tentang sejarah melayu (hikayat). Begitu juga untuk pulau-pulau utama lain di Indonesia.
Saya tertari pada bahasan Hall tentang tulisan C.C Berg mengenai penulisan sejarah jawa yang didalamnya dibahas tentang kerajaan singasari, majapahit, dan mataram. berdasarkan dari tulisan Berg tersebut, hall mengatakan bahwa “Dia” (Berg) telah melihat secara langsung kekuatan spiritual dari pemuka agama dan penguasa. Bagaimana Hall bisa menyimpulkan begitu, saya belum begitu paham. Kemudian, Hall mengatakan bahwa Berg telah melontarkan tantangan yang harus dianggap serius oleh akademisi. Apa maksud dibalik tantangan berg ini tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Hall. Berg dinilai terlalu teoritis dan terlalu sistematis. Dalam pengertian saya, Hall ingin menunjukkan bahwa Berg terlalu kaku dan kolot. Zoutmulder mengatakan bahwa tantangan Berg dapat diatasi bila peneliti dapat menguasai bahasa dan tulisan klasik yang berhubungan dengan kebudayaan yang di teliti yangd alam hal ini kebudayaan jawa.
Kemudian Hall seperti membandingkan tulisan historiografi jawa versi Graaf dengan versi Berg. Perselisihan tulisan tersebut dimulai dari siapa pendiri mataram. berg menganggap sultan agung sebagai sang pendiri sementara graaf menganggap panembahan senapati lah yang mendirikan mataram. saya heran, mengapa Berg tidak mengambil sumber yang ditulis budayawan jawa khususnya yang orang Indonesia atau meneliti sendiri “Babat”? karena babat adalah sumber tunggal yang sangat penting untuk mengetahui sejarah jawa.
Hall lalu membahas tentang sejarah melayu yang ditulis oleh Bottoms. Dia mengatakan berdasarkan tulisan bottoms bahwa sejarah melayu identik dengan unsure teologi etnis melayu pada saat itu yang dikombinasikan dengan legenda. Tidak jelaskan lebih lanjut tulisan melayu apakan yang dimaksud. Sebagai pengeritik harusnya Hall memasukkan potongan tulisan tersebut. Model yang sama juga di ulangi Hall dalam membahas sejarah Bugis, Sulawesi dan makasar. Dia menyebutkan berdasarkan tulisan Noorduyn bahwa sejarah bugis dan sebagainya itu dipenuhi cerita mitos dan legenda. Tapi cerita apa yang dimaksud, tidak jelas.
Dan diakhir tulisannya Hall mempunyai dua masalah utama dalam meneliti historiografi indonesisa. Pertama ,dia sangat kesulitan dengan tulisan asli historiografi Indonesia. Menurutnya tulisan yang dimaksud tidak dalam satu volume saja dan juga tidak dalam bahasa inggris. Kesulitan seperti ini menurut saya adalah hal yang wajar dan tidak perlu dituliskan. Karena sudah banyak tulisan-tulisan yang lebih dahulu meneliti tentang sumber “asli” yang dimaksud. Kedua, dia mengakui bahwa masih bayak sumber yang belum diteliti dan masih banyak kemungkinan sumber yang belum diketahui. Menurut saya, hal itu memang benar adanya dan saya berharap agar Hall menyempurnakan tulisannya ini dengan melakukan penelitian lebih dalam dengan menggunakan sumber-sumber yang diakuinya belum diteliti.

Tugas Review Historiografi Ahmad Al Marisi 4

ABAD 18 SEBAGAI KATEGORI DALAM
PENULISAN SEJARAH INDONESIA

Dr. Van Leur, adalah sejarawan belanda yang cukup terkenal dalam proses penulisan sejarah dari sudut pandang Indonesia. Van leur mengemukakan teori yang pada saat itu dinilai bertentangan dengan teori sejarah kolonial yang berkembang pada saat itu. Beliau menulis sejarah bukan dari sudut pandang kolonial melainkan dari sudut pandang daerah jajahan (Indonesia). Dalam pengantar singkat yang ditulis oleh Richard, mengemukakan bahwa menurut van leur, VOC tidak mempengaruhi perkembangan sejarah di asia dan bahkan VOC harus mengikuti pola-pola yang diterapkan oleh penduduk asli Asia ketika itu.
Van leur sekalipun seorang sejarawan, kajian sejarah yang didalaminya adalah kajian ekonomi. Wajar saja karena VOC adalah kongsi dagang yang tujuannya memang mencari untung. Saya melihat bahwa tulisan Van leur dalam buku ini didedikasikannya untuk VOC. Tapi secara tidak sadar, tulisannya juga bermanfaat bagi Indonesia saat ini. Dia dianggap sebagai pelopor historiografi Indonesia. Dia dianggap istimewa oleh sejarahwan Indonesia karena sekalipun dia orang belanda tapi tulisannya mengambil sudut pandang jajahan belanda.
Dalam tulisannya yang berjudul “abad 18 sebagai kategori dalampenulisan sejarah Indonesia”, dia mengatakan bahwa tulisan yang ada unsure kronologis adalah tulisan De Bois yang menerangkan tentang pergantian jabatan gubernur jendral di hindia belanda pada saat itu. Dia juga menjelaskan secara kronologis system pemerintahan yang ada di Indonesia. Kemudian dia menjelaskan tentang peran penulisan di eropa dalam mempengaruhi perkembangan budaya kolonial. Dia memaparkannya dengan singkat dan cukup jelas.
Lebih dalam lagi, Van Leur menjelaskan tentang perkembangan perdagangan di asia pada saat itu. Dia membahas pengaru mongol terhadap dinasti di china, bangsa Persia dan india dan lainnya. Dalam paparannya tentang perdagangan di asia, van leur tidak lupa untuk menjelaskan pengaruh bangsa eropa dalam proses perdagangan di asia tersebut. Dia menggambarkan tentang benteng-benteng dan kemegahan lainnya yang dimiliki oleh kebudayaan asia pada saat itu. Dan sekali lagi, dia menjelaskannya secara ringkas tetapi cukup jelas. Ketika membahas perdagangan lebih dalam, van leur tidak segan menggunakan angka-angka seperti halnya tulisan yang berhubungan dengan statistic. Dia menggunakan angka dengan cukup jelas dan di mengerti pembacanya.
Saya melihat dalam tulisan van leur ini bahwa penggunaan catatan kaki tidak hanya berhubungan dengan kutipan yang diambil dari sumber lain, melainkan terdapat juga penjelasan yang lebih mendalam tentang kata-kata penting yang terdapat pada kalimat utama. Saya melihat antara judul tulisan dengan isi tulisan, sari situ saya mendapatkan bahwa isi tulisan kurang sesuai dengan judul. Indonesia sangat minim dibahas dalam tulisan. Maka itu saya berkesimpulan bahwa kata “Indonesia” dalam judul tulisan bukanlah bangsa Indonesia yang merupakan penduduk asli Indonesia melainkan orang kolonial yang menetap di Indonesia yang tentu saja menguras kekayaan Indonesia.

Tugas Review Historiografi Suharto 5

Problems of Indonesian Historiografi

Reinhold  Niebhur menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20 di Indonesi atau beberapa kepulauan Asia Tenggara menyatakan ada sekitar 22 orang yang mencoba menulis tentang Kepualauan Nusantara. Pernyataan ini diungkapkan oleh artikel D. G. E. Hall yang semua orang mengerti bahwa ia dianggap salah satu pakar Asia Tenggara. Berbagai ulasan yang ada pada dirinya yang jelas ia salah satu orang yang mencoba memaparkan berbagai peperangan yang ada di Asia Tenggara sebagai pakar Asia Tenggara. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan merupakan perdebatan yang luar biasa. Uraiannya yang sangat bagus berkaitan dengan kejatuhan Kamboja kuno serta hilanganya kedaulatan Champa (Vietnam Selatan) merupakan karya D. G. E. Hall yang sangat mumpuni. Banyak karya-karyanya yang akhirnya mendapat kritikan karena ia lebih banyak menyajikan sejarah sebagai tulisan yang berkaitan dengan para raja, peperangan serta berbagai kasus pada masa-masa Asia Tenggara awal sampai pergerakan Indonesia modern.

Tulisannya tentang Indonesia klasik sebenarnya kurang menggigit karena kalau melihat tentang beberapa karyanya kurang mampu membuat visualisasi yang lebih baik, tetapi karyanya tetap salah satu karya perang-perang lokal yang ada di Asia Tenggara yang paling akurat. Didalam artikel ini yang sebenarnya artikel yang sudah cukup lama karena ditulis pada tahun 1965. Berkaitan dengan apa yang ia sebut Pacific Affairs memahami tentang problematika penulisan sejarah yang ada di Indonesia sangat menarik. Sebelumnya Indonesia hanya dipahami sebagai salah satu entitas yang banyak melahirkan berbagai kultur pra-industri, pada tahun-tahun ini Indonesia di bawah Sukarno banyak membuat berita karena berbagai ulah yang sangat menarik. Gemuruh politik yang dibawa Sukarno menjelang keruntuhannya banyak mendapat kajian yang luar biasa. Ketika Nielbur memaparkan siapa-siapa yang menulis tentang Indonesia pada masa  itu, kemudian muncul berbagai kajian yang lain. Pada awal tahun 1990-an Hermawan Sulistyo murid dari William Frederick yang menulis Surabaya, Hermawan mencoba membuat kalkulasi yang cukup menarik. Pemaparannya yang berkaitan dengan siapa saja para pakar yang menulis tentang Indonesia dari sudut pandang pilitik dan sejarah, ia membuat rangking yang Indah.
Ia menyandarkan bahwa pada tahun 1990-an sebanyak hampir 300-an Indonesianis yang mencoba membuat uraian. Tentu perkembangan yang luar biasa bila dibanding penulis pada masa-masa ketika Hall menulis Asia Tenggara. Para sejarawan Belanda sebenarnya sudah banyak yang menulis tentang Indonesia. Karya monumental Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jawa merupakan salah satu karya sejarah Jawa yang paling lengkap pada masanya. Sebelum beberapa sarjana Belanda banyak menulis kajian sejarah di Indonesia sebenarnya banyak orang Belanda yang menjadi penerjemah karya-karya klasik Indonesia. Pada masa kolonial para ilmuwan Belanda baik arkeologi, sejarawan maupun filologi yang mencoba membuat berbagai kasus klasik Indonesia. J. H. Kern, J. L. A. Brandes, N. J. Krom, W. F. Sutterheim menjadi pioneer sejarah klasik. Mereka memberi penjelasan tentang beberapa peninggalan Hindu dan Budha yang ada di Asia Tenggara, sering menyebut masa peradaban Angkor. Tetapi keterangan ini mendapat tentangan yang luar biasa pada tahun-tahun berikutnya. Usaha lebih tua mana Angkor dan Borobudur akhirnya mendapat keterangan yang lebih baik karena pada awal-awal abad Borobudur dinyatakan lebih tua dari bangunan Angkor di Kamboja yang skala bangunannya selalu lebih luas. Para pakar ini lebih menyoroti berbagai karya klasik yang lebih bersifat monument.

Perkembangan penulisan sejarah menjadi sangat menarik karena munculnya beberapa orang ahli Indonesia yang menulis R. Ng. Poerbatjaraka secara pendidikan lebih beruntung dari Djajadiningrat. Kepakaran Poerbatjaraka dalam bahasa ibu (Jawa) sangat membantu ketika ia berada di Belanda. Banyak buku-buku kuno yang kemudian di sadur oleh dirinya sehingga lebih memudahkan ilmuwan selanjutnya. Djajadiningrat terkenal karena ia banyak berkelana di pelosok Pulau Jawa. Sebagai orang berpangkat tinggi ia banyak mendapat kesempatan untuk mengungkapkan apa yang menurutnya semata yang menarik. De Casparis dan Damais yang memang pakar epigraf banyak menyoroti tentang adanya revitalitas antara dinasti Hindu Sanjaya serta dinasti Budha Syailendra.

Berbagai monument besar yang ada di Jawa yang bercorak Hindu dan Budha sangat menarik bagi orang-orang ini. Ia menjelaskan tentang perang yang ada pada dataran tinggi, Candi Ratu Boko sebagai istana masa lalu. Penjelasannya mengenai Candi Sewu mengungkapkan bahwa Jawa pernah mengalami zaman keemasan. Bangunan-bangunan raksasa merupakan wujud dari keangkuhan dua dinasti yang memerintah Jawa Tengah pada abad-abad yang lebih awal tentang kerajaan Jawa. Bagaimana reruntuhan besar Candi Borobudur sebagai peninggalan pada masa ini. C.C. Berg yang banyak membangun teori kontroversi merupakan wacana lain dari perkembangan penulisan sejarah Indonesia awal. Pemaparannya yang berkaitan dengan Singasari, Majapahit serta Mataram menimbulkan perdebatan hebat, ia menyatakan Ken Arok, Panembahan Senopati merupakan tokoh dalam karya sastra yang kebenaran sejarahnya diragukan. Demikian juga dari berbagai judul buku tersebut menurut uraian buku tersebut sebagai mitologi belaka sehingga puja sastra yang berkaitan dengan sikap supranatural. Cerita terbangun sangat berlainan. H. J. de Graaf yang banyak menulis tentang Jawa, utamanya pada masa-masa perkembangan mataram Islam memiliki langkah tersendiri. Ia banyak menggunakan sumber dari kronik Jawa klasik yang disebut babad. Babad Tanah Jawi, Babad Momana, Serat Kandha menjadi berbagai acuan dari beberapa karyanya. Kepakarannya dalam serat klasik membawa beberapa penulisannya tentang Jawa pada abad pertangan tidak diragukan.

Sebagai seorang sejarawan yang merekontruksi Mataram dari babad serta berita Belanda merupakan karya yang sangat bagus. Buku-buku ini sampai sekarang masih menjadi berbagai rujukan berkaitan dengan kasus sejarah Jawa yang memang unik. Perbandingan sangat menarik ketika Berg menganggap karya-karya Jawa seperti Arjunavivaha, Pararaton, Nagara Kertagama dan Babad Tanah Jawi merupakan masterpiece karya besar pujangga Jawa dari beberapa abad yang terjadi. Sebenarnya permasalahan bermunculan pada masa ini karena pada dasarnya para sejarawan banyak menyatakan tentang disiplin ilmu sejarah bagaimana dituliskan. Ini terjadi karena perdebatan hebat apakah karya-karya klasik yang notabene karya sastra layak menjadi data serta fakta yang baik untuk merekontruksi sejarah. Berbagai ide bermunculan karena ini karya klasik ketika menjadi rujukan tentu harus mendapat perimbangan dari karya-karya yang lebih modern.kenyataannya data yang melimpah dari keterangan di negeri kepulauan merupakan belantara laini dari karya tulisan yang sebenarnya tidak mudah untuk membuat klasifikasi.

Orang-orang Asia Tenggara maupun Kepulauan Nusantara yang terbiasa menulis bukan sebagai data dan fakta sebagai faktor penting tentu berbeda dengan berbagai laporan. VOC atau zaman kolonial Belanda membuat pernyataan serta kalkulasi politik yang ada. Memerlukan berbagai keahlian klasik untuk memahami berbagai tulisan sastra pada zaman ini lebih menyoroti beberapa karya klasik yang memberi pemahaman sebagai mana karya sejarah harus ditulis. De Graaf membuat berbagai pernyataan sebagaimana beranggapan bahwa Babad Tanah Jawi merupakan kronik yang resmi dari sebuh pemerintahan, sedangkan Berg beranggapan bahwa dibuatnya babad memang merupakan karya untuk memuja salah satu tokoh malahan yaitu Sultan Agung sebagai raja besar pada masa-masa tersebut. Sebagai seorang raja yang terlegitimasi bisa saja ia meminta para pujangga Jawa memahami bagaimana ia berkuasa sebagai seorang raja yang harus diceritakan seperti pada Babad Tanah Jawi. Djajadiningrat banyak menyoroti tentang upacara, pernyataan tradisi local, adat tradisi, kejayaan personal, berdirinya kerajaan, catatan yang masih miskin atau terisolasi. J. C. Bottom mencoba membuat berbagai gambaran yang ada pada sejarah Malaya. Ia menemukan bagaimana orang Melayu memahami otobiografi, kode-kode hokum, surat-surat pribadi, deskripsi tentang syair (puisi) dan sebagainya. Berbagai seremonial raja, upacara kebesaran maupun keagungan sang raja banyak disebut pada hikayat-hikayat tanah Sumatera atau Semenanjung Malaya.

Berbagai legenda Melayu berbagai fantasi serta gossip para bangsawan banyak tertulis. Memilih persamaan dengan negeri kepulauan yang lain Melayu memiliki genre tersendiri dalam menulis karya kuno mereka. Raja-raja Melayu banyak menulis ketika Melayu bersinggungan dengan Islam sebagai sebuah entitas yang mewakili mereka sebagai sebuah bangsa. Kehebatan, kejayaan raja serta berbagai kaidah Melayu merupakan bahan kronik Melayu yang memang popular. Banyak karya Melayu membuat banyak paradoksal atau ironi. Cerita tentang orang gunung melawan orang laut dan berbagai hal yang lain menunjukkan seperti itu dunia Melayu ditulis. Bahasa serta ritme Melayu yang memang mendayu penuh keindahan bahasa sangat dihargai. Berbagai karya sastra yang hebat tetapi bukan sebagai hasil kajian sejarah. Semua yang mereka miliki meragukan sebagai suatu karya sejarah. Suasana kontras terjadi ketika mencoba melihat tentang Makassar dan Bugis karya-karya klasik mereka yang besar berkaitan dengan legenda, mitos, dan berbagai adat yang ada banyak mendapat sorotan tersendiri. Di antara bangsa Asia Tenggara mungkin orang Bugis dan Makassar dalam menulis sejarahnya relatif baik. Banyak catatan-catatan istana, atau para pejabat tinggi kerajaan menjabarkan bagaimana karya bangsa pelaut ini lumayan bagus sebagai data sejarah. Catatan harian, pengetahuan perbintangan tentang ekspedisi perang, kasus-kasus negara, keluarga kerajaan, maupun fenomena alam yang mereka catat sangat faktual. Bahkan beberapa kejadian dicatat dengan sangat teliti dan apa adanya. Sehingga tulisan-tulisan yang ditinggalkan kedua bangsa ini terasa relatif bersejarah dibanding karya-karya negeri kepulauan yang lain.

Dr. Noordyn yang banyak membahas daerah memberi gambaran yang jelas. Problem penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya bukan perkara mudah. Di Indonesia terlanjur menjadi sesuatu yang indah pengetahuan sejarah bercampur dengan pengetahuan yang lain dan satu kesatuan yang saling merangkai. D. G. E. Hall sebenarnya menyatakan persoalan sejarah Indonesia dengan kemajemukan memerlukan pemahaman yang tidak mudah. Melihat babad dengan kacamata sejarawan modern tentu tidak tepat. Karena penulisan sejarah terkait dengan jiwa zaman serta wacana yang mendukungnya. Demikian juga sejarah di Indonesia dipakai. Apabila sejarawan memahami tidak ada yang sulit atau misteri dari penulisan di Indonesia kecuali para sejarawan menginginkan menjadi cerita kuno yang menyeramkan generasi berikutnya.


Tugas Review Historiografi Yuli Astriyani 5

Problems of Indonesian Historiography (D.G.E. Hall)

Daniel Goerge Edward Hall (1891-1979) adalah seorang sejarawan Inggris, penulis dan akademisi. Gelar Professor dan Guru Besar didapatnya dari Cornell University dan London University. Fokus penelitiannya pada kajian Asia Tenggara. Tulisannya yang terkenal adalah “History of Burma”. Di dalam Artikle “Problems of Indonesian Historiography” yang diterbitkan dalam Pacific Affairs, Vol. 38, No. 3/4 yang ditulis pada musim gugur 1965 sampai musim dingin 1965-1966, halaman 353-359, Hall mencoba membandingkan 22 tulisan dan melakukan penelitian dengan cermat tentang historiografi Indonesia  yang ditulis oleh orang Indonesia dan orang-orang dari Eropa (Belanda, Inggris dan Prancis) yaitu :
1.      Historiographical Problems oleh Muhammed Ali
2.      Pre-Seventeenth-Century History : Sources and Directions oleh L. Ch. Damains
3.      Archaeology and Indonesian History oleh R. Soekmono
4.      Epigraphy and Indonesian Historiography oleh Buchari
5.      Local Traditions and the Study of Indonesian History oleh Hoesein Djajadiningrat
6.      The Javanese Picture of the Past oleh C.C. Berg
7.      Later Javanese Sources and Historiography oleh H.J. de Graaf
8.      Origins of South Celebes Historical Writing oleh J. Noorduyn
9.      Some Malay Historical Sources: a Bibliographical Note oleh J.C. Bottoms
10.  Chinese Historical Sources and Historiography oleh Tjan Tjoe Som
11.  Recent Japanese Sources for Indonesian Historiography oleh Koichi Kishi
12.  Some Portuguese Sources for Indonesian Historiography oleh C.R. Boxer
13.  Dutch Historical Sources oleh Graham Irwin
14.  English Sorces for the Modern Period of Indonesian History oleh John Bastin
15.  Soviet Sources for Indonesian History oleh Ruth T. McVey
16.  Use of Anthropological Methods in Indonesian Historiography oleh Koentjaraningrat
17.  The Significance of the Study of Culture and Religion for Indonesian Historiography oleh 
P.J. Zoetmulder
18.  The Sociological Approach oleh W.F. Wertheim
19.  The Significance of the History of International Law in Indonesia oleh G.J. Resink
20.  The Significance of the Comparative Approach in Asian Historiography oleh J.M. Romein
21.   Aspects of Indonesian Economic Historiography oleh F.J.E. Tan
22.  The Indonesian Historian and his Time oleh Soedjatmoko.

Hall membatasi fokus penelitiannya pada sejarah awal Indonesia (kira-kira abad ke-17), terhadap sumber-sumber tradisional yang dipakai dalam 22 tulisan tersebut dan melakukan penelitian secara cermat dengan melihat sejauh mana kepentingan dan ketertarikan penulis tersebut didalam hasil karya mereka. Hall mengingatkan akan pentingnya sumber-sumber arkeologi dan epigrafi sebagai sumber sejarah Indonesia awal dalam hal ini dia melihat apa yang di lakukan oleh Soekmono dan Buchari. Menurut Hall permasalahan Historiografi di Indonesia yang paling banyak dihadapi oleh para sejarawan Indonesia adalah persoalan mengenai penguasaan bahasa sumber, kemampuan analisis sumber dan interpretasi sumber-sumber tradisional. Menurutnya, hal ini dikarenakan apa yang sudah ditulis oleh para sejarawan pendahulu, sebagian besar karyanya diterbitkan dalam bahasa Belanda. Oleh karena itu dia menekankan akan pentingnya memguasai bahas sumber. Hall juga menyatakan bahwa studi tentang kawasan pasifik ternyata banyak menarik minat orang-orang Eropa khususnya Belanda. Belanda banyak menyediakan beasiswa bagi orang-orang Indonesia untuk menulis sejarah awal peradaban dan kebudayaan Indonesia dimasing-masing tampat asalnya. Oleh karena itu bagi para sejarawan yang tertarik untuk menulis sejarah dengan menggunakan sumber-sumber tradisional wajib menguasai bahasa sumber seperti apa yang dilakukan oleh Pastor Zoetmulder yang telah mengabdikan seumur hidupnya untuk mempelajari bahasa Jawa Kuno dan sastra Jawa. Hal ini telah banyak dilakukan oleh sejarawan Eropa dalam meneliti sumber-sumber di Asia Tenggara khususnya di Indonesia terhadap sumber-sumber tradisional. Apa yang dilakukan Pastor Zoetmulder berbeda dengan yang dilakukan Berg, yang hanya melihat sumber-sumber tradisional menggunakan logika lalu menggunakan teori tanpa melakukan studi linguistik dan melakukan pendekatan budaya. Sehingga hanya melihat sumber-sumber tradisional seperti babad sebagai sesuatu yang ahistoris dan mitos.

Pastor Zoetmulder berpendapat bahwa Berg memiliki kesulitan dalam memahami makna tulisan-tulisan tertentu yang dihasilkan oleh suatu budaya masa lalu, Zoetmulder berpendapat untuk memahami makna-makna tulisan kuno harus menggunakan tulisan-tulisan yang sama sebagai kunci untuk memahami budaya itu. Ternyata ahli-ahli dari Eropa pun memiliki kesulitan yang sama seperti para sejarawan Indonesia ketika menggunakan sumber (misalnya bahasa Belanda). Namum semangat untuk menguasai bahasa sumber patut ditiru oleh para sejarawan kita. Melalui hal ini kita dapat memahami dan menemukan makna yang terdapat dalam sumber sejarah dari kebudayaan manusia di masa lalu. Dalam hal ini kontribusi Berg adalah Dia berpendapat bahwa pentingnya mempelajari sejarah budaya dan sejarah agama untuk mempelajari historiografi Indonesia.
Dr. H.J. de Graaf menggambarkan karya sastra babad sebagai suatu hal yang sakral, menurutnya naskah kuno sastra digunakan sebagai senjata politik untuk melegitimasi kekuasaan raja-raja pada saat itu. Menurutnya Informasi yang terkandung dalam sastra babad sangat berharga namun harus dilakukan pengecekan juga dengan sumber yang lain. J.C. Bottoms menunjukan dalam pembahasannya mengenai sejarah sastra Melayu banyak menulis tentang karya otobiografi, puisi, kode hukum, buku harian, surat-surat pribadi dan memorandum. Dalam bukunya “Some Malay Ideas of History” dia mengatakan bahwa langkah pertama yang dilakukan untuk memahami teks-teks melayu adalah dengan bertanya untuk apa tujuan mereka menulis dan untuk siapa mereka ditulis. Baginya sejarah merupakan cabang dari teologi, sehingga bagian sejarah dan teologis suatu karya sering disandingkan. Dalam hal ini sumber tradisional belum diperlakukan sebagai sumber sejarah untuk menggambarkan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat karena hanya dipandang dari sisi teologis atau sudut pandang agama saja.
Berbeda dengan Melayu dan Jawa,  Kronik Bugis dan Makasar yang ditulis oleh Dr. Noorduyn, bahwa dia menunjukan sikap skeptis terhadap mitologi dan legenda. Istilah mereka tentang kronik berarti hal-hal tentang orang-orang zaman dulu. Padahal Kronik Bugis dan Makasar berisi tentang kejadian di keluarga kerajaan, urusan negara, ekspedisi, menggambarkan kegiatan masyarakat yang suka berperang, perjanjian dengan negara-negara lain, serta fenomena alam seperti gerhana, gempa bumi dan komet. Apabila dilakukan kritik yang tepat akan didapat banyak fakta sejarah didalamnya yang dapat menggambarkan kondisi masyarakat Bugis pada kurun waktu tertentu. Mereka juga mencatat data berharga tentang senjata, cara memancing, membuat rumah, kapal, dan aturan hukum adat. Mereka menggunakan kalender matahari dari peninggalan Portugis dan menulis dalam skrip bahasa Indonesia yang berasal dari India. Catatan yang ditemukan beberapa kerajaan kecil di Selawesi Selatan menunjukan perjuangan mereka dalam mempertahankan hegemoni. Walaupun tradisi lokal dan gambaran peristiwa di Sulawesi berbeda dengan gambaran peristiwa dalam sastra Jawa. Dalam sastra Jawa penanggalan disamarkan dengan kata-kata namun hal ini tidak ditemukan dalam tulisan-tulisan di Sulawesi Selatan.
Hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa penelitian mengenai abad ke-17 masih mempunyai banyak ruang bagi para peneliti lokal, sehingga para sejarawan Indonesia harus meneliti kembali mengenai sumber-sumber tradisional yang masih belum dimanfaatkan dan diperlakukan sebagai sumber untuk penulisan sejarah secara tepat dan proporsional. Permasalahan lain di Indonesia adalah kurangnya perhatian negara terhadap penelitian sejarah. Penelitian mengenai studi sejarah Asia Tenggara khususnya Indonesia malah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti dari Eropa dan Amerika. Karena terbatasnya kemampuan financial para peneliti Indonesia untuk meneliti sejarah nya sendiri karena tidak ada peran dan ketertarikan pemerintah untuk hal ini.

Tugas Review Historiografi Mario Adi Putra 5

Masalah dalam Historiografi Indonesia

Emansipasi sejarah merupakan sebuah persoalan yang telah menjadi indikasi atas inspirasi D.G.E. Hall sebagai penulis, beberapa tokoh seperti Mohammad Ali, Resink, dan Kahin, telah memikirkan dan mengkaji tentang emansipasi sejarah. Tidak hanya penulisan sejarah Indonesia saja tetapi juga sumber-sumber yang memungkinkan dalam studi sejarah, disamping itu beberapa juga mencakup beberapa ilmu yang ada hubungannya dengan sejarah. Mohammad Ali sebagai contohnya telah membahas tentang masalah historiografi, Damais membahas sejarah sebelum abad 17 M, Buchari membahas epigrafi (paleografi) dan historiografi Indonesia, Soekmono membahas arkeologi dan sejarah Indonesia, Berg membahas gambaran kebudayaan Jawa pada masa lalu, de Graaf membahas tentang sumber kebudayaan terbaru dan historiografi, Koentjaraningrat membahas metode antropologi dalam historiografi Indonesia, Zoetmulder membahas studi budaya dan religi dalam historiografi Indonesia, Jan Romein membahas tentang pendekatan komparatif dalam historiografi Asia, dan masih banyak tokoh-tokoh  lainnya yang membahas tentang kajian sejarah di Indonesia.

D.G.E. Hall mengusulkan adanya batas-batas (ketentuan) dalam memperhatikan sejarah Indonesia, dengan menggunakan suatu sumber yang asli maka hal itu dapat terasa penting dalam penekanan sumber yang diperlukan. Pengaruh Belanda terhadap Indonesia setidaknya terdapat suatu bentuk sejarah dan peradaban, dimana sektor linguistik juga memiliki peranan penting dalam hubungan komunikasi antara Belanda dan Indonesia. Hubungan Belanda-Indonesia telah menciptakan ingatan (memory), seni yang baru, dan interpretasi atas literatur yang ada di Indonesia. Dalam melihat pentingnya arkeologi dan epigrafi (paleografi) maka hal itu telah dibahas oleh Soekmono dan Buchari, dalam hal ini maka setidaknya telah ada gagasan tentang struktur dan religi dari zaman Sailendra. Masih banyak misteri masa lalu yang berupa epigrafi (paleografi) pada zaman Sailendra, dimana Sanjaya dan Sailendra adalah 2 dinasti yang saling bersaing dan terlibat perang di Ratubaka pada tahun 856 M.

C.C. Berg mengemukakan suatu teori dan teori itu rupanya masih menjadi kontroversi bagi para sejarawan, dalam teorinya itu Berg menganggap bahwa nilai kesejarahan Jawa pada periode madya (pertengahan) telah terjebak dalam sebuah partikularistik, dimana periode itu mencakup tentang kerajaan Singhasari, Majapahit, dan Mataram. Berg telah menjauhkan unsure dogmatis dalam pandangan kesejarahan, yaitu sejak ia mengemukakan teori dalam “Het Rijk van der Vijvoudig Buddha” (1962). Keraguan Berg telah menjadi tantangan dan memunculkan pertanyaan, Damais menganggap bahwa pandangan Berg itu terlalu teoritis dan sistematis, dimana sistematikanya membuat suatu kontradiksi dan tidak komprehensif.

Teori Berg menekankan tentang hasil dari studi yang komprehensif tentang semua sumber yang memungkinkan, selain itu juga mencoba untuk membuat pemahaman yang tidak heterogen dan kontradiksi. Penafsiran secara generalisasi oleh Berg telah menunjukkan pentingnya sejarah kebudayaan dan sejarah religi dalam historiografi Indonesia, tanpa adanya suatu disiplin maka itu tidak memungkinkan untuk muncul sebagai sesuatu yang penting. Kemudian dalam beberapa waktu mendatang maka H.J. de Graaf telah melihat Babad  Tanah Jawi dengan perspektif yang berbeda dengan Berg, jika Berg menyatakan Babad adalah sebagai legitimasi atas asumsi kekuatan raja, hal itu berbeda dengan asumsi de Graaf yang menyatakan bahwa Senapati dan Krapyak adalah sebagai sejarah kehidupan manusia.

H.J. de Graaf mendeskripsikan bahwa Babad merupakan sebuah literatur yang sakral dan didalamnya membicarakan tentang politik kerajaan, Djajadiningrat juga mendiskusikan tentang tradisi lokal yang ada pada waktu itu, dimana tradisi kesejarahan yang berupa penulisan Babad banyak terdapat di kerajaan besar yang ada di Indonesia. Dalam tradisi kesejarahan itu setidaknya terdapat 3 aspek yang penting, yaitu konten mitologis, kejayaan penguasa yang bersifat monarkhi, dan dasar-dasar (berdirinya dan peraturan) suatu kerajaan.

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa dalam mengkaji suatu historiografi tentunya telah menimbulkan banyak permasalahan dan sering memunculkan pertanyaan. Beberapa pandangan telah muncul dari pemahaman para tokoh dalam meneliti suatu historiografi, Berg sebagai contohnya telah menyatakan bahwa sumber asli dapat dipercaya jika didalamnya berbicara tentang realitas yang ada di zamannya, namun dalam historiografi seperti Babad biasanya berisi tentang mitos-mitos yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Hal ini terasa berbeda dengan pandangan de Graaf yang mengasumsikan bahwa historiografi adalah sebuah cerita tentang legitimasi masa lalu, dimana cerita yang disajikan adalah untuk menguatkan legitimasi suatu kerajaan, namun pengungkapannya dalam historiografi itu bersifat idiomatik dan penuh simbolik.

Oleh karena itu maka dalam menganalisis suatu historiografi maka diperlukan pemahaman yang baik atas bahasa simbolik yang ada didalamnya, hal itu bertujuan agar tidak salah paham dalam menginterpretasikan apa yang terkandung dalam historiografi itu. Historiografi Indonesia bagi saya merupakan sumber sejarah yang tradisional, dimana didalamnya masih banyak terdapat kata-kata yang simbolik dan idiomatik, dengan demikian maka perlulah adanya sikap hati-hati dalam memahami dan menginterpretasi tentang isi yang ada didalamnya.

Tugas Review Historiografi Yudhi Andoni 5

Ke Arah Penulisan Sejarah Indonesia

Bacaan dan Pemahaman

Bila saja dalam sejarah dimungkinkan dialektika “andai-andai”, barangkali, akan lebih mudah mempertemukan antara Van Leur dengan Moh. Yamin sehubungan penulisan sejarah Indonesia kontemporer. Yang pertama, terkenal sebagai peletak dasar pandangan Indonesia sentris dalam kajian historiografi. Sedangkan yang kedua, pengokoh ultranasionalis-sentris dari historiografi Indonesia. Namun, perbedaan keduanya begitu tajam ketika menetapkan batasan spasial konsepsi sentrisme mereka. Dan inilah mungkin, dalam metodologi sejarah, eksplanasi andai-andai tak saja diharamkan, tetapi juga, satu “dosa” historiografi.

Artikel Justus M. van der Kroef, “On the Writing of Indonesian History”, dalam, Pacific Affairs, Vol. 31, No. 4. (Dec., 1958), pp. 352-371, yang penulis baca dan pamahami—tentu saja nan menarik penulis—ini mendudukan posisi metodologis antara Van Leur dan Moh. Yamin.

Artikel ini dibuka dengan premis, bahwa setiap revolusi negara bangsa di belahan dunia ketiga—spasialisasi yang ditentang Van Leur—senantiasa diikuti pencarian orisinalitas dan warisan budaya “kita”. Credonya adalah kita mesti menulis kembali sejarah kekitaan. Tetapi jelaslah, bukan “orang kita” yang memulai menulis sejarah Indonesia itu, tapi seorang pegawai muda kolonial, Van Leur.

Entah bagaimana perasaan Moh. Yamin ketika mengetahui ini. Tak pernah kita menemukan catatan pandangan itu. Bahwa asumsi Yamin menarik jauh ke Majapahit sebagai awal persatuan keindonesiaan dalam historiografinya, mungkin saja, bagian resistensi terhadap peran dan pemikiran Van Leur yang orang kolonial itu.

Reinterpretasi sejarah Indonesia di tangan kaum nasionalis, tentu saja, bagian fenomena umum negara-negara baru pasca PD II, jelas van der Kroef. Tarikan waktu atau simbolisasi masa lampau, yang mungkin saja tak ada hubungannya, akan begitu bermakna dengan kekinian, ketika dikaitkan dengan kebutuhan ideologi yang merekat bangsa itu. Jadi, meski Van Leur telah memulai kerja menulis sejarah Indonesia yang benar sesuai konteks kekiniannya sebagaimana dikredokan Croce. Ia menjadi kontra-produktif dengan semangat menggebu-gebu kaum nasionalis muda itu. Penafiannya sederhana saja, ia, Van Leur, adalah warisan kolonial yang mesti dihilangkan dan 180 derajat dibalikan interpretasinya demi sejarah Indonesia yang benar.

Sejarah Indonesia menurut Van Leur mesti dirombak total. Orientasi baru mesti dibangun dengan membuang bias-bias kolonial yang hegemonik. Dalam satu esainya, "Some Notes on the Study of the History of the Indies" (1937), ia bahkan tegas menyerukan bahwa Sejarah Indonesia adalah sejarah Internasional!

Penuh gairah Van Leur membangun anti tesis-anti tesis di atas kerja historiografi pendahulunya. Ia menggugat credo historis bahwa Barat datang memperadabkan orang Timur. Kenyataannya, jelas Van Leur, justru sebaliknya. Tidak ada supremasi Barat atas Timur pada awal abad-abad persinggungannya.

Begitu juga bias orientalisme sejarawan kolonial, yang meminggirkan peran Islam di Indonesia. Ia menolak bahwa para Bramana dan pedagang Hindu dari Gujaratlah yang menjadi agen-agen pembentuk budaya Indonesia. Ia mengenalkan adanya akulturasi budaya antara Hindu, Budha, dan Islam yang membangun satu advances culture (budaya perekat). Berbeda dengan sejarawan kolonial lain, Van Leur justru mempertimbangkan kehadiran Islam sebagai perekat penting dari kehadiran Indonesia sebagai kesatuan.

Indonesia-sentris = Jawa sentris ?
Adalah menarik, Van Leur dalam kapasitasnya sebagai sejarawan kolonial, “musuh” kaum nasionalis, muncul sebagai pembela keberadaan sejarah Indonesia yang benar—menghargai keunikan pluralitas sosial dan ragam budaya masyarakat. Sementara di pojok lain, Moh. Yamin, seorang nasionalis sekaligus sejarawan, justru membawa secara ekstrem sejarah Indonesia pada posisi sentrisme Jawa. Sentrisme yang justru diabaikan sejarawan kolonial lain, Berg, yang mengenalkan konsep baru dari cara pandang sejarah Jawa.

Secara tak langsung, historiografi Indonesia di awal kemunculannya yang penuh semangat dan gairah, membawa benih disintegrasi dan konflik sosial. Penulisan sejarah (historiografi) Indonesia di  awal republik muda itu akhirnya memang mengalami krisis dan degradasi tematik. Kelahiran corak penulisan sejarah yang telah dimulai di akhir tahun 1950 itu, gagal merekam realitas kesejarahan masyarakat Indonesia secara utuh. Tradisi penulisan sejarah yang Indonesiasentris dalam historiografi selama 50 tahun belakangan—mulai 1957—ternyata tak jauh berbeda secara metodologis dibandingkan dengan historiografi kolonial—penguasa sebagai titik sentral. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah tradisi ini telah meminggirkan peran rakyat di luar Jawa dalam peristiwa sejarah yang terjadi.

Tugas Review Historiografi Mufidha Brilian Irianti 5


 Problems of Indonesian Historiography


Review artikel yang dilakukan oleh D.G.E Hall ini berbicara mengenai historiografi Indonesia yang dipandang melalui beberapa pendapat para penulis. Terutama kaitannya dengan sejarah tradisional, dia menunjukkan beberapa perbedaan pandangan antar sejarawan satu dengan yang lain. Dalam berbicara mengenai teori Berg yang berkaitan dengan sumber-sumber tradisional, pada dasarnya Hall tidak sependapat dengan Berg, sehingga dia menyuguhkan pendapat-pendapat penulis lain yang mengkritik teori Berg tersebut. Sedangkan ketika Hall melihat tulisan de Graaf, dia mengambil suatu kesimpulan bahwa pada akhirnya de Graaf menerima Babad sebagai sumber informasi yang bisa digunakan. Selain itu dalam tulisan ini, dia juga menyuguhkan tentang banyaknya sumber-sumber penulisan sejarah Indonesia yang masih tersimpan rapat di beberapa tempat di dunia. Pada intinya Hall ingin menunjukkan pada kita bahwa masih banyak sumber-sumber yang bisa kita gunakan untuk memperkaya khazanah penulisan sejarah tradisional Indonesia. Sangat disayangkan jika para peneliti tidak mau menggunakan sumber-sumber yang tersebar di berbagai tempat di beberapa negara tersebut padahal sangat mungkin untuk dilakukan.

Menanggapi apa yang menjadi perhatian Hall, hal yang menarik adalah bahwa selama ini arus penulisan sejarah Indonesia selalu mengarah pada sejarah politik. Berbondong-bondong sejarawan menulis tentang sejarah politik dan sedikit sekali yang mau menyinggung tentang sejarah tradisional. Beberapa di antaranya bahkan berpendapat bahwa menuliskan sejarah tradisional hanya akan menemukan jalan buntu karena tidak ada sumber-sumber yang relevan mengenai hal tersebut. Namun, melalui tulisan Hall ini, tidak semestinnya ada pendapat yang ‘meminggirkan’ penulisan sejarah tradisional semacam itu lagi. Cakrawala baru yang sedang berkembang ini, bagaimana caranya harus bisa dimanfaatkan oleh para sejarawan nasional untuk bergerak sebelum lagi-lagi didahului oleh sejarawan asing yang menulis tentang sejarah tradisional kita.

Seperti ungkapan Prof. Sartono Kartodirdjo bahwa “Sejarah Indonesia sebagai cerita dari perjalanan bangsa Indonesia dan sebagai tradisi bersama, sanggup memberikan inspirasi kita dalam menghadapi tugas membangun bangsa dan Negara.”[1] Melalui ungkapan ini saya kemudian bertanya bahwa bukankah tidak hanya sejarah politik saja yang merupakan bagian penting dari perjalanan bangsa ini? Bukankah sejarah tradisional juga adalah bagian penting dan merupakan sumber inspirasi untuk membangun bangsa demi kepentingan masa depan? Sehingga, penelitian dan penggalian sumber-sumbernya juga merupakan sesuatu yang penting?

Referensi:
D.G.E. Hall (1965). Problems of Indonesian Historiography: Review Aricle. Pasific Affair, 38, 353-359.



[1] Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia  (Jakarta, 1982). hlm.224

Tugas Review Historiografi Martina Safitry 3

Penggunaan Sumber Tradisional dalam History of Java

Dalam pembahasan tugas historiografi kali ini saya ingin mengemukakan terlebih dulu biodata singkat penulisnya. Donald E. Weatherbee atau yang juga dikenal sebagai Donal S. Russell adalah seorang professor emeritus dari University of South Carolina. Ia menyelesaikan pendidikan akademis di Bates College dan Hopkins School of Advanced International Studies dengan spesialisasi politik dan relasi internasional Asia Tenggara. Sebagai seorang akademisi yang fokus pada kajian Asia Tenggara, Donald pernah mengajar di beberapa universitas ternama di Asia Tenggara antara lain; Universitas Gajah Mada, Universitas Chulalongkorn Thailand, dan Universitas Kebangsaan di Malaysia.
Artikel ini membahas mengenai sumber-sumber Raffles dalam History of Java yang menggunakan historiografi tradisional Jawa dan koleksi dari Mackenzie. Banyak hal menarik yang bisa diangkat dalam tulisan ini. Saya menggarisbawahi tentang bagaimana Raffles memperoleh sumber-sumber tradisional Jawa dan bagaimana ia memperlakukan sumber yang ada.
Raffles mengklaim bahwa penulisannya didasarkan pada tulisan asli penduduk lokal. Ia tidak banyak menyebutkan sumber yang ditulis dan dikumpulkan oleh orang non-lokal. Koleksi Mackenzie digunakan Raffles karena memuat banyak historiografi lokal dan juga naskah Middelkoop yang dikutip Raffles pada bab 10 buku History of Java. Raffles memanfaatkan kedudukannya sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk mengumpulkan sumber tradisional dengan mengerahkan seluruh aparatur pemerintahan baik orang Eropa maupun kaum Pribuminya. Mackenzie memperoleh banyak naskah penting tradisional karena kedudukannya sebagai kepala ekspedisi Inggris di Jawa. Dalam penelusurannya, Mackenzie dibantu oleh F. von Wickelman dan J.G. Vincent untuk mencari dan menerjemahkan sumber lokal tersebut. Baik Wickelman dan Vincent sama-sama melakukan kesalahpahaman dalam menerjemahkan sumber. Misalnya dalam penafsiran tanggal atau waktu Jawa yang juga beberapa istilah Jawa yang tidak mereka pahami dengan baik. Bagi peneliti asing pada waktu itu, mereka sulit mengerti naskah-naskah tradisional karena penulisannya masih bercampur dengan unsur mitos dan spiritual. Akhirnya Mackenzie dibantu oleh Sura Adimenggala[1] untuk menerjemahkan sumber-sumber lokalnya.
Pada dasarnya Raffles banyak melancarkan kritik terhadap Belanda karena tidak mempelajari langsung daerah koloninya padahal Belanda sudah bercokol hampir satu abad di Hindia Belanda. Berkontradiksi dengan kritik dan sentimennya terhadap Belanda, Raffles sendiri menggunakan sumber yang dikumpulkan oleh orang Belanda yaitu Jacob Albert van Middelkoop dan Nicolaas Engelhard. Bisa disimpulkan di sini bahwa Raffles dan Mackenzie menggunakan sumber yang hampir sama.
Menarik untuk dikemukakan bahwa baik Raffles, Mackenzie dan Middelkoop menyadari bahwa sesuatu yang mereka buat dikemudian hari akan sangat berguna bagi penulisan sejarah. Hal ini sejalan dengan pendapat C.C. Berg bahwa naskah Jawa yang pada saat pemunculannya digunakan untuk tujuan pengucapan mantra gaib, dikemudian hari bisa menjadi gambaran mengenai masa lalu (gambaran Jawa pada masa lalu) (1995:71).[2] Sejarawan Indonesia selayaknya bisa memanfaatkan sumber-sumber lokal yang ada. Pemahaman bahasa dan budaya adalah kelebihan yang dimiliki oleh sejarawan lokal dibandingkan dengan penulis asing.
Berkaitan dengan penulis asing, apabila tulisan Donald ini ditelaah lebih lanjut, terlihat bahwa Donald sangat menguasai literasi dan narasi sejarah Jawa. Hal tersebut bisa terlihat dari pemilihan narasi sejarah Jawa dengan memperbandingkan ketiga tulisan Raffles, Mackenzie dan Middelkoop. Donald dengan baik dapat menghubungkan dan mencari kelebihan dan kelemahan dari naskah-naskah tersebut. Barangkali bisa dianggap wajar oleh karena memang Donald adalah seorang yang concern kepada kajian politik dan sosial di Asia Tenggara dan pernah tinggal beberapa waktu di Jawa.



[1] Sura Adimenggala adalah paman dari Raden Saleh. Ada hubungan timbal balik yang menguntungan antara penguasa lokal dengan pemerintah kolonial karena mereka mendapat kedudukan yang luas dan keturunannya banyak yang diangkat sebagai orang-orang penting di Jawa, contohnya saja keluarga besar Kyai Ngabehi Kertoboso Bustaman. Hasja W. Bachtiar “Raden Saleh; Bangsawan, Pelukis dan Ilmuan” dalam Raden Saleh; Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme. Komunitas Bambu: Jakarta. 2009

[2] Sudjatmoko dkk. Historiografi Indonesia; Sebuah Pengantar. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 1995.

Tugas Review Historiografi Suharto 4

Abad ke 18 sebagai kategori dalam penulisan sejarah Indonesia

Beberapa abad sebelum dikenal sebagai suatu wilayah yang dikuasai Belanda, Indonesia sebenarnya sudah memiliki catatan tersendiri. Nama Nusantara yang banyak disebut-sebut oleh penulis asli negeri kepulauan pada dasarnya merupakan sejarah yang cukup unik dalam balutan mitos yang sarat cerita supranatural atau mitos. Van leur membuat sejarah Belanda pada awal abad sangat mencengangkan. Cara pandang yang sebelumnya sangat Cauvin Belanda utama para penulis sejarah klasik Nederland, menjadi cukup terkejut membaca paparan tulisan Van Leur yang sangat liar dan banyak member porsi pada sejarah Nusantara. Pada tulisan ini Van Leur mengkritik alur sejarah yang ditulis oleh Prof. Godée yang membicarakan abad ke 18. Apabila Prof. Godée membicarakan abad ke 18, abad yang cukup angkuh bagi Belanda, karena dengan datangnya Belanda di Nusantara menurutnya betapa besar kekuasaan Belanda atas negeri jajahan sehingga segala apa yang ada di negeri jajahan tidak lebih hanya angin lalu belaka.
Indonesia lama punya Majapahit, Mataram, Makassar, Aceh seakan-akan lenyap tiada kabar, ternyata oleh Van Leur dianggap tidak benar. Dia membuat kronologi yang cukup retorik dengan member beberapa pertanyaan yang sangat cerdas. Pada abad ini Van Leur membuat deskripsi yang sangat indah tentang negeri-negeri Timur. Paparannya yang luar biasa terhadap betapa luasnya kekaisaran China serta berjuta-juta penduduk India serta betapa megahnya Iran membuat pembicaraan sejarah Belanda berkaitan dengan Indonesia menjadi agak lain.
Tidak mudah untuk membuat perbandingan pada masa yang cukup panjang. Van Leur menyayangkan para penulis sejarawan Belanda yang hanya melihat bahwa Indonesia miskin karena kutukan belaka atau bodoh karena bawaan suatu bangsa. Dia menyoroti bagaimana perimbangan yang ada bahwa dinasti Mogol di India yang membuat bentang sangat kuat, maupun istana China yang sangat megah serta kekaisaran Jepang yang mantap. Tentu berbeda dengan beberapa Keraton Jawa yang memang tidak seagung milik para raja Asia tersebut tetapi Jawa menurut Rouffer merupakan pencapaian tersendiri dalam hal kebudayaan yang memang halus dan eksotis. Cara memandang pihak Asia yang serba minor karena mereka kalah dalam peperangan serta tidak menunjukkan cita rasa menjadi ironi. Dia membuat contoh bagaimana generasi awal pelayaran Belanda yang tidak segan merampok maupun merampas serta membajak menjadi terlupakan. Segala sumpah serapah untuk Pribumi bagi Van Leur sebenarnya tidak tepat, sejarah ditulis dalam bentuk emosi yang berlebihan. Gagasan bahwa sejarah lebih proporsional merupakan cara pandang yang sangat maju. Pencapaian para pemimpin Nusantara seperti Cakraningrat, Mangkubumi serta Raden Mas Said seharusnya member inspirasi tersendiri bagi sejarawan Belanda tentang negeri Jajahan. Kehebatan Speelman, Harting, Hobendorp harus memiliki kesadaran penuh bahwa Arung Palaka, Raja Bugis, juga seorang yang hebat. Pada sisi yang lain, kemiskinan yang parah pada abad ini bagi Pribumi sebenarnya juga karena peranan Belanda yang memonopoli perdagangan pada masa-masa itu. Bagaimanapun Jawa sebagai representasi Nusantara yang lain tidak memiliki beberapa keunggulan yang berbeda dengan Eropa khususnya dengan Belanda.
Menjelang abad 15 sampai 16 Jawa mampu berdagang melintasi berbagai negeri yang mengandalkan beras sebagai bahan ekspor yang membuat raja Jawa cukup kaya dan makmur. Abad 17 Jawa juga memiliki ekspor tentang rempah-rempah yang cukup besar dalam skala pedagang masa itu, sedangkan pada abad 18 Jawa membuat kapal-kapal besar berisi penuh karena kopi dan tebu sebagai ekspor. Jawa berbelanja kain indah dan berkilo-kilo emas telah membuktikan bahwa pada awal-awal sebelum penemuan kapitalisme modern, Jawa tidak miskin seperti bayangan sejarawan kolonial. Belanda ada fase ternyata dalam perdagangan Jawa lebih baik dibanding Belanda klasik. Kemajuan Eropa pada abad-abad yang belakangan sebenarnya tidak bisa digunakan untuk membuat sudut pandang tentang negeri Jawa pada masa yang bersamaan. Penduduk Jawa oleh Belanda sebenarnya merupakan kesusksesan luar biasa dari bangsa Belanda seharusnya memiliki esensi yang berbeda apabila berbicara negeri jajahan atau seberang lautan yang memang dikalahkannya.
Kecerdikan Belanda dalam masalah politik bagaimana mereka bisa masuk pada segala sengketa raja-raja Nusantara tidak lepas dari kepercayaan yang terbina di Nusantara terhadap dominasi asing pada masa itu. Sejarawan Belanda tidak harus mencaci raja Pribumi dengan sebutan raja lalim atau memiliki rakyat budak. Perkembangan yang ada setelah melihat bagaimana dalam angka perdagangan Timur ternyata pada abad ini masih lumayan bagus. Menitik beratkan pada kenyataan bahwa orang Eropa secara nyata tidak memiliki tanah seluas raja-raja dari Timur serta penduduk yang besar member gambaran bahwa Eropa memerlukan pencitraan sebagai bahan imbangan untuk mengungguli raja-raja Asia yang memang lebih hebat dalam beberapa sisi tertentu.
Jawa mampu menyelenggarakan perdagangan sendiri. Kelebihan para pedagang China, Arab, India memberi bukti bahwa tidak setiap lini kehidupan Belanda bisa masuk. Kebudayaan Jawa kraton yang halus serta bercita rasa seni yang tinggi sudah member gambaran bahwa Jawa yang lama mendapat kemajuan karena kesadaran berdagang yang mereka lakukan.
Tulisan ini menjadi istimewa karena ada usaha yang sangat berbeda dari penulisan-penulisan yang ada pada masa sebelumnya. Menulis sejarah yang kritis dari kedua sisi dengan perimbangan memang sangat sulit. Sejarawan di tuntut mampu menulis dengan adil serta tidak bias tanpa pesanan memang sesuatu yang hebat. Keunggulan tulisan Van Leur ada pada muatan sejarah yang memberi ruang dalam bentuk bagaimana mengerti masyarakat jajahan dengan cara yang berimbang. Isi dari tulisan Van Leur yang tidak biasa seperti dan umumnya orang Belanda menulis, membuat banyak pertanyaan yang kritis. Sejarawan Belanda secara akademis yang lebih muda dibanding sejarawan Inggris memang sering mengalami transisi budaya. Belanda yang di Eropa hanya pemain pinggiran bila menengok pernyataan Van Leur terdapat problematika terhadap wilayah Negara koloni. Inggris dan Perancis sebagai entitas yang Alpha tentu berbeda dalam menyikapi kasus-kasus yang ada di negeri jajahan. Tulisan ini imenjadi sangat berbobot karena mampu memunculkan debat terbuka bagaimana sejarah negeri jajahan di rekonstruksi.
Pereview merasa bahwa tulisan yang berbobot ini menjadi sasaran kritik sebenarnya cukup wajar mengingat jaman berkembangnya sejarah sebagai ilmu memang belum begitu lama. Orang menulis masa  lalunya cukup sering tetapi sejarah dikaji sebagai historiografi memerlukan penanganan yang lebih khusus. Secara umum tulisan ini sangat bagus karena mampu memunculkan cita-cita sejarawan untuk menulis sejarah secara baik dan adil. Sebenarnya tulisan menjadi lebih baik apabila Van Leur mampu memaparkan segala pengetahuan sejarahnya tidak hanya narasi tetapi lebih luas dalam data-data yang lebih mikro atau kecil yanj sering tidak tersentuh dalam penulisan sejarah yang berpihak pada manusia dan masyarakat sebagai pelaku dan actor kehidupan yang dianggap bersejarah.

Tugas Review Historiografi Suharto 3

Raffles Sources For Traditional Javanese Historiografi and the Mackenzie Collections

Usaha untuk membangun tradisi bertutur pada masyarakat Jawa sudah ada sangat lama. Berbagai kronik, babad, tutur lisan bahkan hikayat (melayu) banyak memberi warna tersendiri bila berhadapan dengan berbagai karya tradisional. Kemampuan menulis dalam bentuk karya sastra pada masyarakat Jawa sebenarnya baru mulai pada tahun-tahun ketika kaleder romawi atau masehi sudah mendekat abad ke IX. Banyak para pakar filologi atau sejarawan seperti halnya Poerbatjaraka menganggap salah satu karya Jawa yang tertua berasal dari dinasti Jawa Timur pada abad IX yaitu serat chandra kirana yang banyak sastrawan menganggap sebagai sebuah karya babon. Buku ini bercerita tentang Panji yang banyak melahirkan karya-karya besar Jawa selanjutnya.
Karya tradisi merupakan awal mula perdebatan yang cukup panjang bagi para pengamat atau sejarawan kekinian. Kasus Jawa sebagai salah satu entitas yang banyak dibicarakan dalam ilmu-ilmu sosial, atau alam memang sangat unik. Masyarakat jawa yang mengalami berbagai konversi dari animisme, dinamisme, Hindu, Budha, Islam bahkan Barat tentu sangat mempesona bagi beberapa ilmuan. Apabila pada abad XVIII – XIX buku karya Thomas Stamford Raffles menjadi karya yang monumental, tentu pada abad XX di penghujung akhir, karya besar Denis Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya membagi buku lebih dekat dengan kajian Antropologi banyak memiliki kesamaan dengan munculnya buku History of Java karya Raffles pada masa lalu.
Donald banyak menyoroti bagaimana dari berbagai sumber klasik yang hampir sama yaitu serat babad ternyata terjadi berbagai anakronisme yang luar biasa baik di Jawa sendiri maupun ketika dalam kejian sejarawan sekarang. Berbagai deskripsi yang tumpang tindih dan sedikit kacau, Donald mencoba membuat berbagai perbandingan yang ada antara karya-karya Raffles, Mackenzie, serat, babad bahkan beberapa karya yang semasa itu dianggap layak menadapat apresiasi.
Berbagai sumber klasik yang cukup rancu mulai generasi Prabu Watu Gunung pada kerajaan paling purba di Jawa yaitu Kerajaan Mendang Kawulan, maupun Giling Wesi, oleh Donald karya-karya ini diperbandingkan. Bagaimana kacaunya nama-nama raja pada periode yang masih dalam rabaan sebelum abad ke X. Berbagai  relasi yang kurang tepat dengan dongengan Jawa banyak terjadi. Baik nama-nama raja, daerah maupun kesalahan lafal atau abjad banyak terjadi.
Tulisan Mackenzie yang sebenarnya bertanya untuk membuat kritikan terhadap karya Raffles juga tidak begitu mengena. Ketidak mampuan para informan maupun penerjemah karya-karya klasik pujangga Jawa semakin jauh dari seharusnya. Karya tersebut seandainya dikaji lagi pada jiwa zaman yang memang berubah. Cakupan serat-serat Jawa baik Babad Momana, Serat Kandha, Babad Tanah Jawa, babad-babad yang lain menjadi bahan kajian yang sangat lebar. Perimbangan yang sulit dicapai ketika beberapa karya Raffles disandingkan dengan Midelkoop. Tradisi yang dalam penulisannya banyak menggunakan kakawin sebagai gaya tulisan tentu berbeda dengan gaya sebagai serat yang lain. Cerita dari generasi awal sebagai Mendang Kawulan, hingga masa Kediri, Singasari, Majapahit, Demak, Panjang, maupun Mataram memiliki aliran yang berbeda. Pada masa Kartasura yang sangat sebentar dimana para raja Mataram masih berkuasa dalam arti yang sebenarnya tentu memiliki implikasi yang sangat berbeda. Berbagai perpecahan Jawa Surakarta di Yogyakarta maupun Mangkunegaran serta Paku Alaman yang notabene lebih dekat dengan Inggris memiliki selera tersendiri dalam membuat karya.
Ditemukan nama serta tempat yang berbeda dari Bali, Cirebon, Banten, Pati, Surabaya, Demak, Madiun dan berbagai daerah Jawa yang lain, dimana semua ingin menceritakan kasus yang sama bukan semata-mata pujangga yang kurang teliti, tetapi memang ada maksud lain. Berbagai daerah membuat cerita yang tidak lepas dari bias dan kepentingan mereka sendiri. Raffles dalam tulisannya yang menganggap Belanda gagal serta dia menyesal mengapa Jawa menjadi Islam merupakan bentuk lain dari tulisan masa itu. Donald membuat analisa yang sangat bagus ketika mencoba mendeskripsikan serat-serat pada masa kejatuhan Majapahit yang kemudian berubah menjadi Muslim. Tulisan dari pesisir yang banyak membicarakan para wali dia analisis sebanding lurus dnegan tulisan para pujanga Mataram yang tentu berpihak pada Sunan Kalijaga sebagai maestro spiritual Jawa yang dalam babad dipuji-puji oleh penulis kerajaan. Tentu sangat berbeda dengan tulisan masa Demak dengan kejatuhan Majapahit. Bagaimana peranan Sunan Kudus sebagai panglima perang kalah wibawa dengan Sunan Kalijaga pada masa Mataram. Baik para pembantu yaitu para pejabat daerah maupun orang yang memberi informasi, Raffles telah membuat Belanda berpikir ulang untuk mengetahui sejarah Jawa yang seharusnya ditulis. Para penulis pada masa kolonial sebenarnya masih menganggap bahwa babad memiliki otoritas tersendiri walaupun kebenaran historisnya banyak mendapat kritikan tetapi pada masanya belum ada yang pernah menandingi babad untuk hal-hal tertentu. Baru ketika arsip dan data Belanda diolah, babad menjadi terhegemoni. Donald menganggap diberbagai versi sejarah Jawa tentu adalah versi mana yang mungkin masih bisa digunakan sebagai sumber. Luasnya spasial serta panjanganya waktu yang dibuat perbandingan oleh Donald bagi peneliti merupakan beban berat.
Tidak mungkin membicarakan sejarah Jawa dari negeri dongeng sampai pada abad dimana teori Leonarld van Ranke menjadi buku suci sejarawan. Mackenzie yang banyak menganggap tulisan Raffles sebagai plagiat sebenarnya juga belum mampu menyelesaikan permasalahan sejarah Jawa yang terlanjur tumpang tindih dengan berbagai kepentingan sampai pada masa modern. Raffles yang menganggap dirinya sebagai orang yang penting banyak athu Jawa tentu punya alasan yang masuk akal. Kronologi sejarah jawa yang sangat bagus ia paparkan membawa bentuk tersendiri. Kekacauan sebenarnya mudah terasa pada babad maupun kronik yang lebih lama. Kebiasaan menulis di Jawa sebagai pujangga sastra tentu sangat berbeda dengan laporan maupun data arsip Belanda yang lebih berperan sebagai laporan apa yang mereka lihat dan ketahui.
Tulisan Donald terasa menggigit karena ia mampu membuat perbandingan dengan karya-karya klasik tersebut baik soal kesamaan maupun perbedaan di sana-sini. Tetapi merupakan karya yang luar biasa disamping minimnya pembicaraan kasus serupa oleh para sejarawan masa kini. Kesulitan bahasa sumber maupun tulisan merupakan warisan klasik. Tulisan ini sangat bernilai bagi siapapun yang tertarik sejarah bila berkaitan dengan sejarah klasik Jawa yang sampai sekarang darimana melihat serta persepsi yang dimaknai. Kehebatan penulis mampu menghadirkan berbagai permasalahan yang memang sudah mendera sejarawan dari awalnya yaitu bagaimana menguasai sejarah Jawa yang eksotis menjadi karya yang lebih membumi dan berarti bagi generasi berikutnya. Untuk itu menghargai karya-karya kolonial salah satu warisan yang Indonesia tidak akan mengerti apabila Negara Kertagama tidak diterjemahkan oleh orang-orang Kolonialis yang banyak menghegemoni Jawa sebagai teman, sahabat, musuh, tulisan tersendiri untuk sejarahnya. Tanpa sejarah sebagai bagian akan gagal memahami dirinya sendiri sebagai sebuah entitas inilah aku atau kami.