Sabtu, 31 Desember 2011

Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 7

Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan?


Masa lalu itu banyak ragamnya sehingga mereka tidak dapat mengatakan bahwa prosedur penelitiannya dapat diulang. Tafsir-tafsir yang berbeda atas bahan yang sama dapat melahirkan tafsir-tafsir tandingan. Akan tetapi, ini tidak mengakibatkan ada tafsir yang didiskualifikasi atau tidak memenuhi syarat.”[1]

Wilhelm Dilthey adalah salah satu tokoh filsafat dan sejarah yang sebenarnya sudah mencoba untuk memisahkan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusian. Maksuda dia memisahkan kedua ilmu itu bukan berarti untuk menunjukkan bahwa ilmu-ilmu kemanusian tidak bisa mencapai derajat sains, tetapi memang antara ilmu-ilmu kemanusian dan ilmu-ilmu kealaman mempunyai jalan dan penyelesaian masing-masing.
Menurut Dilthey, ilmu-ilmu kemanusian objek penelitiannya adalah manusia. Sebagaimana kita ketahui, manusia itu bersifat nonrepetitive (berubah-ubah, tidak mengalami pengulangan). Banyak hal yang ada di dalam batin manusia yang tidak bisa diterangkan oleh nalar ilmu pasti seperti; semangat, hasrat, sedih-senang dll. Lain halnya dengan alam yang bersifat repetitive (tetap), yang kejadiannya berulang-ulang secara terus menerus dan memungkinkan diterangkan dengan nalar ilmu pasti. Oleh karena itu, kita perlu membedakan metodologi antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu kealaman. Di mana paradigma ilmu-ilmu kealaman adalah menjelaskan (Erklaren), sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan paradigmanya bersumber dari pemahaman (Verstehen).[2]
            Sejarah yang juga masuk dalam rumpun ilmu-ilmu kemanusian (sosial-humanoira) sampai saat ini masih dianggap bukan bagian dari ilmu pengetahuan. Sejarah tidak mempunyai teori baku (spekulatif), tidak bersifat universal (bisa dimanfaatkan dalam segala situasi), dan hasil penelitiannya pun selalu multitafsir bukan general. Oleh karena itu akhirnya pada abad ke-19, Lepold von Ranke mencoba untuk membuat sejarah menjadi ilmiah. Ia menggagas sebuah metodologi sejarah yang akan menuntun sejarawan lebih objektif saat melakukan penelitian. Tapi akhirnya keinginan Ranke itu tetap tidak bisa membuat perubahan bahwa sejarah, bagaimana pun caranya, melekat pada subjektivitas.
            Satu hal yang perlu diketahui―dan ini tidak dimiliki oleh pengetahuan mana pun ―bahwa sejarah itu bersifat unik, hanya terjadi satu kali dan tidak bisa diulang. Oleh karena itu, orang yang ingin memahami suatu peristiwa masa lampau hanya bisa melirik ke belakang melalui teropong waktu. Persoalannya jenis teropong apa yang akan kita pakai untuk melihat masa lalu itu. Semakin bagus teropong yang kita pakai maka hasil penglihatan terhadap masa lalu itu pun akan semakin baik dan jelas. Sehingga terlihat sudah sejarah itu identik dengan perangkat yang akan kita pakai dalam memahami masa lalu, bukan memaksakannya pada kaidah seperti sains umumnya.
           


[1] Heather Sutherland, Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah, dalam Perspektif Baru Dalam Penulisan Sejarah, editor Henk Schulte dkk, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm 52
[2] Lihat Patrick Gardiner, Theories of History, (New York: The Free Press, 1959), hlm. 221-225

Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 6

Periodisasi Sejarah Dunia: Manfaat dan Kegunaan


Bila berbicara mengenai sejarah dunia, kita tidak akan lepas dari periodisasi sejarah. Periodisasi sejarah mempunyai kegunaan untuk memudahkan pemahaman suatu peristiwa sejarah dalam periode tertentu serta banyak hal lainnya.

Tujuan utama mempelajari masa lalu adalah untuk mencari pola-pola tingkah laku dan mengambil kesimpulan mengenai hubungan sebab-akibat yang muncul kembali pada waktu-waktu yang berlainan dan di tempat-tempat yang berbeda. Menurut penulis, terkadang sejarah itu dipengaruhi oleh zamannya. Dalam artian kata, zaman bisa menentukan sejarah yang seperti apa yang akan terjadi. Terkait dengan masalah ini, penulis mencoba bagaimana identifikasi dari periode-periode sejarah dunia sebagaimana dijelaskan dalam artikel Jerry H. Bentley “Cross-Cultural Interaction and Periodizatition in World History”.[1]
            Jerry H. Bentley adalah seorang profesor sejarah dunia di Universitas Hawaii, AS. Ia bisa disebut pakar dalam sejarah dunia. salah satu buah pemikirannya adalah mengklasifikasikan periode-periode sejarah. Ia melihat, sejarah harus punya perode-periode untuk memudahkan kegiatan pemahaman dalam menganalisis suatu peristiwa. Walaupun sebenarnya penulis melihat buah pemikiran ini hanyalah pengembangan dari pemikir-pemikir sejarah sebelumnya. Namun hanya karena lebih aplikatif, pemikiran ini dianggap penemuan yang luar biasa dalam perkembangan sejarah.
            Di dalam artikelnya, Jerry H. Bentley membagi periodisasi sejarah ke dalam enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis batas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: (1).masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), (2).masa peradaban kuno (2000-500SM), (3).masa peradaban klasik (500 SM-500M), (4).masa post klasik (500-1000M), (5).masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan (6).masa modern (1500 M sampai kini).
            Keenam era tersebut terus bergerak ke arah yang lebih kompleks atau rumit. Peristiwa-peristiwa sejarah yang semakin menyeluruh dan saling mempengaruhi antar peristiwa-peristiwa lainnya. Keterlibatan manusia yang banyak juga bisa terilihat ketika tumbuh dan berkembangnya suatu pemerintahan atau peradaban pada periode-periode tertentu. sedangkan alat-alat atau bukti-bukti untuk mengungkapkannya suatu peristiwa sejarah, semakin ke atas periodenya maka semakin banyak alternative bukti. Sehingga terlihat pula sejarah berkembang dari masa ke masa.
            Dari bebarapa penjelasan yang terdapat dalam artikel tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa, periodisasi mempunyai banyak manfaat antara lain, memudahkan pemahaman dan pengertian tentang peristiwa tertentu yang terjadi dalam periode tertentu, melakukan penyederhanaan, klasifikasi dalam ilmu sejarah, dan melihat jenis produk historiografi.
            Selain itu, penulis melihat sepertinya Jerry. H. Bentley mencoba untuk menerangkan pula bahwa periodisasi mempunyai kriteria-kriteria yang penulis tangkap seperti adanya  geografis (kewilayahan), urutan zaman, waktu atas dasar dinasti, waktu atas dasar perkembangan ekonomi, dan sebagainya.



[1] Jerry H. Bentley,” Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History The American History Review, Volume 101, no.3 (June1996): 749-770

Tugas Review Historiografi Mario 7

Pemahaman Sejarah : Tinjauan Mengenai Kebenaran dan Penulisan

            Definisi sejarah setidaknya dapat diketahui dari penjelasan yang ada di Concise Oxford Dictionary (1964), yaitu suatu catatan yang sistematis dalam menjelaskan kejadian yang ada di masyarakat, selain itu juga tentang dinamika negara yang berkaitan dengan keberadaan manusia dan benda-benda yang digunakan. Dalam pengertian yang lain juga disebutkan bahwa sejarah adalah rangkaian kejadian yang berkaitan dengan bangsa, dalam hal ini maka sejarah adalah totalitas dari seluruh kejadian, sedangkan penjelasan dari Oxford Dictionary adalah menekankan tentang narasi kronologis yang dapat disusun, dimana elemen dari masa lalu yang penting merupakan sebuah penjelasan tentang dunia yang kita alami.
            Sejak munculnya definisi dari Oxford Dictionary maka telah banyak berpengaruh bagi sejarawan, para sejarawan dipaksa untuk bertanya mengapa mereka menetapkan pilihannya. Sejarah Profesional Modern (SPM) telah mencerminkan hubungan yang erat antara ilmu yang baru dengan negara modern, sejarah nyata adalah sebuah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi, hal ini biasanya Inggris dan Perancis memegang peranan penting karena kedua negara itu terdapat kekuasaan yang dipegang oleh kelompok elit. Heather Sutherland merupakan sejarawan yang terkenal dalam pembahasan sejarah mengenai “Elit Birokrasi”, hal ini telah menjadi suatu cirri khas dari spesialisasi yang dimilikinya. Ada sedikit pertentangan dari penjelasan Sutherland yang dirasa kurang efisien, dimana ia mempertentangkan antara istilah “Islam dan Cina” dengan istilah “Barat” (yang dikutip dari Huntington), hal ini jelas menjadi suatu kontradiktif yang tidak sepadan. Istilah pertentangan seharusnya dibandingkan dengan yang sepadan, seperti Islam vs Kristen, Islam vs Yahudi, Barat vs Timur, Cina vs Inggris, dan Asia vs Eropa. Dengan begitu maka dapat lebih detail dalam hal pertentangan dan perbandingan yang sejenis.
            Fukuyama menyatakan bahwa keruntuhan Uni Sovyet adalah sebagai pertanda tentang akhir sejarah, hal ini telah menjadi sesuatu yang implisit dan pesimisme, dimana ada klaim tentang berakhirlah semua sejarah yang ada di dunia. Saya tidak setuju dengan ide itu dengan alasan bahwa sejarah sebenarnya akan terus hidup hingga akhir zaman, jika tolok ukur tentang keruntuhan pada istilah peradaban maka saya setuju (seperti teori A. Toynbee), namun jika hal itu ditujukan pada realitas sejarah maka saya tidak setuju, asumsi saya adalah sejarah memiliki sifat yang kekal (abadi) hingga akhir zaman, meskipun orang yang bersangkutan telah mati namun bagi orang yang hidup dan mengetahui kehidupan tokoh itu maka akan menjadi sebuah memory yang tersendiri.
            Beberapa penulis mengatakan bahwa sejarah adalah lebih dekat dengan sastra dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, hal ini telah dipelopori oleh Hayden White (bapak sejarah postmodern), dimana ia telah menerbitkan karya “Metahistory : The Historical Imagination in Nineteenth Century in Europe”. Banyak perbedaan yang menghiasi pemikiran para sejarawan, yaitu dari sejarawan tradisional, sejarawan modern, hingga sejarawan postmodern. Berbagai pertentangan it uterus terjadi perselisihan dan muncul sikap penolakan antar pemikiran masing-masing kelompok sejarawan. Sutherland mencoba untuk memfokuskan pada masalah teoritis dan praktis, maslah filosofis juga tidak dapat dihindarkan yaitu tentang istilah “kebenaran”, otoritas dalam sebuah sejarah juga memiliki fungsi yang penting, dimana hal itu menjadi sebuah tantangan dalam metodologi.
            Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan itu dengan kebenaran. Kebenaran pada dasarnya tidak bersifat tunggal dan masing-masing manusia memiliki perspektif kebenaran yang berbeda, hal ini juga menjadi penekanan saya bahwa kebenaran adalah bersifat ganda, lalu dalam proses selanjutnya akan menciptakan suatu otoritas yang digunakan oleh masing-masing manusia. Dalam penjelasan tentang istilah “kebenaran” ini maka tidak hanya berhubungan dengan aspek metodologis dalam sejarah, tetapi juga berkaitan dengan “kebenaran” dalam logika pemikiran ilmiah (seperti yang banyak dijelaskan oleh Karl Popper dalam studi filsafat).
            Perkembangan zaman yang ditempuh oleh sejarah Eropa adalah meninjau tentang proses mencapai modernisasi (dari era klasik, era pertengahan, hingga era modern), sedangkan dinamika yang muncul dalam sejarah Indonesia adalah berupa pergantian kekuasaan (rezim), yaitu dengan cara konfrontasi untuk mengambil alih power dalam negara. Kondisi politik selalu membentuk konstruksi sejarah, adakalanya dalam suatu pergolakan telah muncul istilah “radikalisme”. Eric Hiariej menjelaskan bahwa sikap radikal juga diperlukan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, dimana sikap radikal dapat mendukung untuk membangun negara dengan pemikiran kreatif, namun Eric tidak setuju jika radikalisme itu disalahgunakan, dimana penyalahgunaan itu akan mengarah pada kekerasan (violence) dan akhirnya menjadi terorisme. Budiawan juga menyatakan bahwa sejarawan merupakan seseorang yang ditakuti oleh pemerintahan Rusia (era kekuasaan Vladmir Puttin), dimana seorang sejarawan memiliki potensi yang berbahaya yaitu dapat membongkar tentang keburukan para elit pemegang kekuasaan negara.
            Teori adalah sebuah instrumen yang berguna untuk mengidentifikasikan hubungan yang memiliki sifat potensial, jika dihadapkan dengan variabel yang banyak maka penerapan teori secara spesifik juga sulit untuk diterapkan, oleh karena itu maka mayoritas sejarawan cenderung menggunakan teori yang tidak terlalu ketat. C.A. Bayly telah menerbitkan sebuah karya besar sejarah pada tahun 2004, yaitu “The Birth of the Modern World 1780-1914”, dalam karya itu Bayly menentang sikap keistimewaan dunia Barat, namun dalam prakteknya ia juga menentang cara pandang yang relativisme total, Bayly lebih menekankan pada sejarah global yang terdapat hubungan saling keterkaitan antar aspek (ada proses kausalitas). Di akhir pembahasan maka Sutherland mengatakan bahwa seorang sejarawan sudah sepantasnya untuk berkaca pada masa lalu (dalam melihat masa kini), karena dengan adanya sikap kesadaran diri dan pemikiran kritis (dalam profesi sejarah) maka dapat menggambarkan realitas masa lalu agar lebih bermakna, kemampuan manusia pada dasarnya terus berkembang dari zaman ke zaman, oleh karena itu maka diharapkan agar dapat menciptakan sebuah interpretasi yang lebih realistis dan efisien dalam menggambarkan realitas sejarah yang ada di masa lalu.

Tugas Review Historiografi Mario 6

Interaksi Silang Budaya dan Periodesasi Sejarah Dunia

            Periodesasi merupakan sebuah aspek penting dalam studi sejarah, identifikasi tentang periode sejarah terasa lebih banyak jika dibandingkan dengan penemuan dari fakta sejarah yang ada di masa lalu, kajian sejarah adalah meninjau tentang proses yang terjadi di masa lalu dan memiliki nilai penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia, kriteria itu telah diakui oleh para sejarawan yaitu dengan menunjukkan perubahan yang terjadi secara berkelanjutan. Dengan kerangka seperti itu tampaknya akan menjadikan sebuah komunitas yang tunggal. Joan Kelly mencoba untuk mengemukakan perspektif baru dalam perubahan secara konvensional, ia menyatakan bahwa “Apakah wanita juga mengalami Renaissance ?”, hal itu rupanya masih menjadi perdebatan hingga masa kini.
            Para sejarawan dalam realitasnya telah membagi sejarah menjadi 3 periode (zaman klasik, zaman pertengahan, dan zaman modern), hal ini telah menjadi asumsi dasar bagi para sejarawan Eropa. Interaksi silang budaya adalah sebuah pengalaman dari setiap kehidupan manusia, interaksi itu merupakan sebuah fenomena yang akan menjadi periodesasi global sejarah dunia. Kemudian ada pendapat yang menyatakan bahwa periodesasi global tidaklah merepresentasikan kesejarahan, dimana struktur sosial dan tradisi kebudayaan pada dasarnya telah memiliki pengalaman dan berkembang secara alamiah. Bagaimanapun juga periodesasi global merupakan studi sejarah yang sifatnya kontemporer, dimana para sejarawan telah menginterpretasikan masa lalu secara komparatif berdasarkan sumber yang ada, identifikasi periode sejarah biasanya berdasarkan perkembangan unsur geografi dan konteks budaya.
            Mengenai perkembangan sejarah pra modern maka dapat kita ketahui pada periode waktu sebelum tahun 1492, perspektif ekonomi dari kehidupan pra modern adalah memandang komoditas barang mewah sebagai hal yang berharga dan memiliki nilai tinggi. Pada zaman pra modern di Cina telah memperlihatkan bahwa barang mewah merupakan komoditas yang penting, kelompok elit telah menjadi symbol kekuatan, selain itu juga memiliki status yang tinggi dan memegang otoritas publik. Zaman pra modern setidaknya telah menggambarkan beberapa kehidupan manusia, seperti penggunaan teknologi sederhana, melanjutkan tradisi metalurgi dari zaman klasik, menggunakan tenaga hewan, dan melakukan proses difusi secara alamiah.
            Interaksi silang budaya telah ada pada kehidupan manusia sejak zaman purba, para ahli menyatakan bahwa interaksi itu muncul sejak periode 30.000 SM yaitu pada zaman kehidupan manusia purba, lalu sejak periode 15.000 SM manusia telah memiliki habitat yang tersendiri dari masing-masing lingkungannya, setidaknya mereka telah memiliki bahasa keluarga dalam berkomunikasi dan ada karakteristik material kehidupan yang digunakannya. Sejak tahun 5000 SM maka ditemukan teknologi penggunaan roda dan perhitungan waktu yaitu pada peradaban Sumeria, lalu berlanjut ke peradaban lainnya seperti Mesir (4000 SM), Asyiria (3500 SM), Akadia (3000 SM), Babylonia (2500 SM), dan India (2000 SM). Teknik bercocok tanam telah dikembangkan pada masing-masing peradaban itu dan terus menyebar hingga ke berbagai wilayah di dunia, dalam perkembangannya juga mengalami peningkatan pada teknologi yang digunakan di periode selanjutnya.
            Demografi kesejarahan telah memperkirakan jumlah manusia yang ada di dunia, era 3000 SM terdapat 14 juta manusia, era 2000 SM terdapat 27 juta manusia, era 1000 SM terdapat 50 juta manusia, dan era 500 SM terdapat 100 juta manusia. Pada zaman peradaban klasik (500 SM - 500 M) telah muncul pemikiran filsafat di Yunani, di Cina juga telah memunculkan tradisi yang tersendiri seperti berkembangnya konfusianisme dan taoisme, kemudian peradaban Romawi telah mulai mendominasi di area Mediterania (Laut Tengah) yaitu ketika peradaban Yunani telah mengalami keruntuhan. Peradaban Cina setidaknya telah menggambarkan karakteristik yang tersendiri, dimana kebudayaan Cina yang terkenal adalah produksi kain sutra, sedangkan sumber kekayaan yang berupa logam mulia banyak terdapat di wilayah Syberia dan India.
            Byzantium merupakan sebuah kekuasaan di Eropa Timur yang hanya melanjutkan tradisi peradaban Romawi, Byzantium tidak menghasilkan suatu kreasi imperial yang baru tetapi realitas dari kekuasaan Romawi tetap ia pertahankan. Selama 5 abad (600-1100 M) telah terjadi persaingan 2 kekuatan yang besar, yaitu antara kekuatan Byzantium di Eropa Timur dengan kekuatan Islam di Asia Barat, keduanya terus berperang untuk mendapatkan kekuasaan yang penuh di Mediterania. Prediksi kondisi demografi pada era menjelang modern juga terdapat perbedaan, penduduk Cina pada periode 1200 M - 1400 M diperkirakan mengalami penurunan yaitu dari 115 juta manusia menjadi 75 juta manusia, sedangkan penduduk di Eropa  pada periode 1300 M - 1400 M juga diperkirakan mengalami penurunan yaitu dari 79 juta manusia menjadi 69 juta manusia.
            Berdasarkan penjelasan diatas maka saya dapat memberikan suatu kesimpulan, bahwa perkembangan kehidupan manusia pada dasarnya  terdapat sebuah proses yang berjalan dari waktu ke waktu, proses peristiwa merupakan sebuah tinjauan yang sangat penting dalam kajian sejarah, dimana sifat unik dan diakronis merupakan hal yang ada dalam peristiwa sejarah. Selain itu kajian sejarah lebih memfokuskan pada proses kejadian, hal ini jelas berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang lebih memfokuskan pada esensi dari peristiwa. Periodesasi merupakan sebuah kajian yang banyak terdapat dalam studi sejarah, hal ini merupakan kerangka dasar yang menjadi sebuah karakteristik utama dari sifat kesejarahan, dimana periodesasi telah menjadi suatu generalisasi yang membagi era-era perkembangan berdasarkan karakteristik yang berbeda (dari waktu ke waktu).
            Berbagai penjelasan yang dikemukakan oleh Jerry H. Bentley rasanya cukup menarik dalam membahas periodesasi, namun mengenai bentuk-bentuk periodesasi yang dijelaskan masih terdapat artikulasi ataupun pemaknaan yang membingungkan, para pembaca sebenarnya juga memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah, akan tetapi ketika dihadapkan dengan penjelasan Bentley maka akan menimbulkan ketimpangan baru dan berbagai pertanyaan ?. Penjelasan dari Bentley ini saya rasa kurang bersifat kronologis, dimana ada penjelasan kronologis yang berloncat-loncat (dari masa lalu ke masa selanjutnya, lalu kembali lagi ke masa lalu) dan terasa cukup membingungkan.
            Bentley mengatakan bahwa peradaban Eropa klasik terdapat pada periode 500 SM - 500 M, akan tetapi dalam realitas sumber-sumber sejarah tidaklah demikian, banyak para sejarawan Eropa (termasuk Arnold Toynbee) mengatakan bahwa peradaban Eropa klasik sudah ada sejak 1200 SM (adanya kisah perang Troya), kemudian era pemikiran para filsuf Yunani (Thales, Parmenides, dan Heracleitos) telah dimulai sejak abad 8 SM. Substansi dari pemikiran Bentley tampaknya berdasarkan komparasi yang kurang valid, dimana ada beberapa statement yang terasa bertolak belakang dari logika dan realitas sejarah yang ada. Karya Arnold Toynbee yang berjudul “Sejarah Umat Manusia” (terjemahan) menurut saya lebih bersifat realistis dalam menggambarkan proses sejarah secara detail dan kronologis, disamping itu karya Rochiati Wiriaatmadja yang berjudul “Sejarah Peradaban Cina” juga terasa lebih jelas dan detail dalam menggambarkan proses sejarah tentang berbagai dinasti yang ada di Cina secara kronologis (dari zaman purba hingga zaman modern).

Tugas Review Historiografi Mufidha Briliani 7

Periodisasi Sejarah Dunia
Review Artikel “Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History”
oleh Jerry H. Bentley


            Artikel yang ditulis oleh Jerry H. Bentley ini berbicara mengenai periodisasi dalam sejarah dunia. Dia menyatakan perlunya kesadaran bagi para sejarawan tentang kenyataan bahwa tidak selalu periodisasi global bisa diperlakukan sama pada semua wilayah. Masing-masing daerah memiliki latar belakang sejarah yang sulit untuk digeneralisasi. Namun walaupun begitu, Betley juga menyatakan bahwa selama kita mempertimbangkan beberapa kaidah komparatif yang berkaitan dengan interaksi lintas budaya, maka periodisasi global tetap bisa diterapkan dalam sejarah kontemporer.  
Dalam artikel ini selanjutnya Bentley banyak menyinggung mengenai sebab-sebab terjadinya interaksi lintas budaya pada masyarakat dunia. Sebab-sebab tersebut diantaranya adanya migrasi, berdirinya kerajaan-kerajaan, dan perdaganggan yang jangkauannya lintas negara dan benua. Inti dari artikel ini adalah mengenai periodisasi sejarah dunia oleh Bentley. Dia membagi dunia dalam enam masa atau era, yaitu, Masa Masyarakat Kompleks Awal (3500-2000 SM); Masa Peradaban Kuno (2000-500 SM); Masa Peradaban Klasik (500 SM-500 M); Masa Post Klasik (500-1000M); Masa Kerajaan Nomadik Lintas Wilayah (1000-1500 M); dan Masa Modern (1500 M – Sekarang).
Salah satu sifat sejarah adalah diakronik, maka berhubungan erat dengan kronologi atau urutan waktu. Sedangkan periodisasi merupakan bentuk penyederhanaan melalui konseptualisasi untuk menjelaskan urutan waktu yang panjang (kronologis). Hubungannya dengan periodisasi sejarah dunia, dalam hal ini saya beranggapan seperti juga yang dikemukakan Bentley di awal-awal artikelnya bahwa akan sangat sulit menentukan periodisasi sejarah dalam lingkup global karena beberapa wilayah memiliki latar belakang yang terlalu berbeda. Pengeneralisasian dengan model apapun dalam memandang sejarah dunia, menurut saya sampai saat ini masih belum bisa diterima.
Kemudian, ketika menanggapi periodisasi yang dikemukakan Bentley yang mendasarkan pada analisis interaksi lintas budaya, bagi saya pun hal ini masih belum bisa diterima secara utuh. Walaupun apa yang diungkapkanya sudah jauh lebih baik daripada periodisasi sebelum-sebelumnya yang terlalu Eropasentris (misalnya yang membagi zaman ke dalam masa pra-Industri; Industri; dan Post-Industri atau yang membagi zaman ke dalam masa kegelapan; pencerahan; modern; dan lain-lain) tetapi, tetap saja ketika misalnya kita melihat periodisasinya masa Kerajaan Nomadik Lintas Wilayah yang dilakukan Bentley, saya kemudian bertanya bukankah tipe-tipe kerajaan di seluruh dunia berbeda-beda? Dan bukankah dalam catatan sejarah, masa berdirinya Kekaisaran China berbeda dengan masa berdiri dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara? Belum lagi apabila dalam beberapa wilayah, masa berdiri suatu kerajaan tertentu belum bisa dipastikan.
Sehingga, saya berpendapat bahwa  menyederhanakan urutan waktu secara global dalam sejarah dunia masih kurang bisa diterima, kecuali kita mengelompokkannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, Periodisasi Sejarah Eropa, Periodisasi Sejarah Asia Timur, atau mungkin Periodisasi Sejarah Amerika, dan lain sebagainnya.

Referensi:
1.      Bentley, H. Jerry (1996). Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History. The American Historical Rivew, 101, 749-770.
2.      P. Swantoro. Dari Buku ke Buku, Jakarta: Gramedia, 2002

Tugas Review Historiografi Partiningsih 7

Meneliti sejarah penulisan sejarah Heather Sutherland

Sejarah menurut konsepnya ada dua. Yang pertama sejarah ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Kedua, sejarah adalah keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya  dari masa lalu itu sendiri. Bagaimana mengatasi kontradiksi yang tidak terelakkan antara narasi terfokus ciptaan kita (sejarah sebagai catatan) dan kekacauan masa lalu (sejarah sebagai kejadian) yang menjadi persoalan utama historiografi.
Historiografi Indonesia pada prinsipnya, tidak dapat dipandang sebagai sekedar suatu penyuntingan ulang terhadap cerita lama. Untuk menjadi disiplin ilmu historiografi harus berkembang dari kehidupan masyarakat yang hidup. Sejarah yang akan ditulis ialah sejarah yang melukiskan perikehidupan bangsa menurut norma-norma kebenaran ilmiah.
Dari hal tersebut di atas kita dapat melihat bahwa pada dasarnya yang harus kita teliti dalam penulisan sejarah adalah siapa yang menulis sejarah itu dan pada masa kekuasaan siapa sejarah itu ditulis. Kita tahu bahwa ketika kekuasaan bergeser, maka terjadi pula pergeseran sejarah yang secara kronik dan genealogi harus disesuaikan. Sebagai contoh misalnya penulisan sejarah pada masa Soeharto berkuasa, buku sejarah tentang mantan tapol tahun 65 pempublikasiannya tidak akan semudah sekarang. Banyak pertimbangan dari akibat yang harus dialami misalnya ditangkap dan dipenjara, meskipun itu mahasiswa yang melakukannya tidak perduli. Akan tetapi kita dapat melihat bahwa setelah Soeharto lengser dan digantikan penguasa lain, maka buku tentang tahun 65 yang pernah menggemparkan Indonesia dengan mudah dapat menyebar ke seluruh pelosok negeri. Bahkan orang-orang yang tadinya bungkam terhadap masalah ini pada akhinya muncul dengan sendirinya tanpa dibebani rasa takut untuk mengungkapkannya.
Dari hal tersebut telah terbukti bahwa memang benar jika politik selalu mempengaruhi bentuk konstruksi sejarah yang kemudian memunculkan dilema yang dihadapi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal itu karena yang pertama demi kepentingan nasional terdapat permasalahan politis, yang kedua terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan mengenai studi tentang sejarah yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.
Kita tahu bahwa historiografi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, sehingga pandangan mengenai sejarah adalah sangat fundamental dalam membedakan modernitas dari tradisi. Untuk itu maka modernitas ditandai oleh kemajuan, sedangkan tradisi oleh pelestarian. Modernitas diasumsikan sebagai historiografi model barat, yang memunculkan historiografi eropasentris. Di sini sejarawan modern merupakan bagian dari kaum elite kota yang terpelajar dan disubsidi oleh pemerintah. Mereka biasanya berperan sebagai pengkritik suatu pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yan dilakukan oleh pemerintah. Di sini akan sangat terlihat mengenai kecenderungannya terhadap sejarah lokal yang kurang menarik simpati mereka.
Untuk itu sebuah tantangan besar yang harus dihadapi oleh sejarawan Indonesia  adalah dalam mengungkapkan kesubyektifan sejarah dalam historiografi. Kecenderungan arah terkadang menjadi tolok ukur sejarawan dalam historiografi, masih cenderung dari sudut pandang eropasentris ataukah memang sudah benar-benar indonesiasentris. Karena kita tahu bahwa historiografi Indonesia pandangan yang bercorak Indonesia dan tersedianya fakta-fakta hasil penyelidikan ilmiah

Tugas Review Historiografi Partiningsih 6

Review Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History
Jerry H. Bentley

Jerry menyatakan bahwa periodisasi menududuki atas diantara tugas yang lebih sulit dalam pembelajaran sejarah. Sejarawan menyadari bahwa skema periodisasi dapat berasal dari pengalaman orang barat untuk menjelaskan sejarah orang atau bangsa lain. Hal ini karena banyak sejarawan mengambil pendekatan secara global untuk memunculkan periodisasinya. Sehingga muncul pertanyaan, sejauh mana periode pengidentifikasian berguna dan koheren diantara garis batas masyarakat dan area budaya, kriteria atau prinsip apa yang mungkin membantu sejarawan untuk menentukan pola kontinuitas dan perubahan dan untuk membedakan periode tersebut.
Dari waktu yang lampau sampai saat ini, interaksi lintas budaya memiliki percabangan politik, sosial ekonomi dan budaya yang signifikan untuk semua orang yang terlibat, sehingga para ahli semakin mengakui bahwa sejarah adalah produk dari interaksi yang melibatkan orang di dunia. Dalam periodisasi global sering digambarkan sebagai perkembangan historis dalam perkiraan, karena memiliki potensi untuk merefleksikan secara akurat pola lokal dari kontinuitas dan perubahan. Selain itu periodisasi global juga memiliki tempat dalam ilmu sejarah kontemporer.
Dalam tulisan ini di  jabarkan pula mengenai periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama, yaitu masa masyarakat kompleks, masa peradaban kuno, masa peradaban klasik, masa post klasik, masa kerajaan nomadik transregional dan masa modern yang berlangsung hingga kini. Pada masa modern serangkaian inovasi dalam teknologi transportasi memfasilitasi pembentukan hubungan antar masyarakat manusia dan mendukung interaksi lintas budaya.
Dalam berbagai kasus difusi kuda dan teknologi transportasi terkait segera menjadi penting untuk tujuan menetapkan dan mempertahankan Negara dan hierarki sosial pada masyarakat kompleks awal. Interaksi lintas budaya juga memiliki efek pada zone penanaman, sehingga pertanian menyebar luas. Keunggulan teknologi yang menetapkan masyarakat pertanian mengalahkan orang nomaden dan memunculkan Eropa sebagai kekuatan unia.
Begitu juga dalam perdagangan. Dalam  tulisan ini ditunjukkan bahwa keunggulan Afrika Timur dan Barat pada dunia perdagangan besar menunjukkan bahwa periodisasi berdasarkan pada interaksi lintas budaya yang memiliki aplikasi di luar Eropa dan Asia pada masa pra modern. Akan tetapi adanya perdagangan yang regular dan jarak yang jauh juga menjadi penyebab penyebaran penyakit pes yang menyebabkan banyak terjadi kematian, sehingga mengganggu jalannya perekonomian, perdagangan dan komunikasi.
Selain itu pada suatu era yang di labeli masa gelap, interaksi lintas budaya memperkuat pertukaran agama dan budaya yang membentuk sejarah belahan timur dalam masa modern. Pertukaran ini telah banyak bekerja dalam sejarah lama dan mereka memerlukan pengenalan apa yang muncul pada periode global.
Jadi dapat kita simpulkan bahwa interaksi lintas budaya dapat kita gunakan untuk menggambarkan periode sejarah pada masa modern. Sehingga interkasi lintas budaya dapat digunakan oleh sejarawan untuk memandang masa lalu dari perspektif yang lebih luas, komparatif dan global dan mereka akan selalu mengingat interaksi lintas budaya dalam membentuk sejarah umum di dunia.

Tugas Review Historiografi Partiningsih 5

Review  On the Writing of Indonesian History
Karya Justus M. van der Kroef

Menurut van der Kroef interpretasi dari sebuah Negara yang baru merdeka merupakan suatu kebutuhan. Hal ini biasanya ditunjukkan atau dilakukan oleh kaum nasionalis dari Negara tersebut. Seperti indonesia pada waktu baru merdeka, banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional yang mulai memunculkan dirinya, yang mana hal tersebut merupakan bagian dari sebuah protes dari indoktrinasi masyarakat yang menjadi tujuan dari sebuah idiologi suatu Negara.
Sayangnya dalam penulisan historiografi sejarah Indonesia, yang bertujuan mengembalikan Indonesia sesuai dengan kultur budaya Indonesia, masih di bayang-bayangi oleh Belanda. Meskipun sudah berjalan selama tiga dekade penulisan sejarah Indonesia masih terikat dari sudut pandang orang belanda atau kolonial.
Van der Kroef melihat ada tiga tren baru dalam penulisan sejarah, yang mengubah konsepsi dari penulisan sejarah Indonesia. Yang pertama adalah dari Van Leur yang mengemukakan pandangan barunya tentang penulisan sejarah Indonesia. Usaha dalam pencarian sumber penulisan dilakukan dengan melihat kehidupan langsung masyarakat Indonesia yang disusunnya dalam suatu segi yang menarik dar sejarah orang-orang Indonesia yang hidup pada masa belanda. Meskipun sebelumnya van leur juga sudah melihat penulisan sejarah Indonesia dalam versi orang Belanda.van leur sering mengkritik sejarahwan kolonial yang memiliki pandangan internal tentang Indonesia. Hal itu disebabkan karena bangsa barat dalam mencari sumber penulisan sejarah tidak terjun langsung dalam masyarakat Indonesia melainkan hanya dari atas deck kapal, sehingga tidak mengetahui hal-hal yang menarik dalam masyarakat Indonesia. Selain itu kritikan van leur juga seakan-akan menganggap bahwa orang-orang Belanda  dan VOC tidak baik dalam penulisan sejarah Indonesia, mungkin maksud van leur tidak sampai itu.
Kontribusi van leur dalam histiriografi sejarah Indonesia, tidak pada sumber baru melainkan sumber-sumber itu dilihat dari sudut pandang van leur yang modern. Yang mana cara pandang tersebut mengacu pada metodologi max weber yang seorang ahli sejarah sosiologi. Yang salah satu hasilnya itu memberikan pandangan tentang kota/serikat, perdagangan yang masih dalam esensi prostruktural.
  Yang kedua dari C. C. Berg. Berg melakukan interpretasi sejarah Indonesia dari masa prakolonial. Sumber-sumber yang digunakan pun berupa tulisan-tulisan jaman dahulu seperti babad, pararaton, Negara kertagama babad tanah jawi, hikayat, tambo dan hal-hal lain yang bersifat mistis. Berg lebih tertarik pada penulisan historiografi Indonesia pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno, seperti mataram, majapahit dan yang lainya. Kontribusi Berg adalah dalam  historiografi jawa kuno. Yang jika saya melihat Berg seperti seorang pujangga eropa yang mendalami historiografi jawa.
Yang ketiga dari G. J Rezink. Rezink melakukan interpretasi bari dari sejarah otoritas kolonial Belanda dengan bermacam-macam prinsip yang ada di Indonesia. Rezink juga melihat dalam tiga abad Indonesia berada dalam dominasi bangsa Belanda bahkan semua administrasi ada dalam pengawasan Belanda. Mungkin ini sebuah anggapan bahwa Indonesia sudah menjadi kesahan alam jika berada dalam pemerintahan belanda.
Menurut saya historiografi penulisan sejarah Indonesia oleh van der kroef merupakan akumulasi dari sudut pandang penulisan sejarah dari tokoh-tokoh tersebut di atas. Padahal kita tahu banyak penulis Belanda yang menulis tentang sejarah Indonesia, tetapi yang menarik adalah sudut pandang penulisan sejarah Indonesia dari kacamata bangsa asing, yang ditulis dari sejarah Indonesia sebelum kolonial sampai pasca kolonial. 

Tugas Review Historiografi Partiningsih 4


Review Abad Ke 18 Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia
Karangan J.C Van Leur

Pada abad ke 17 penulisan sejarah Indonesia yang berasal dari penulis Hindia Belanda sudah dimulai. Dalam penulisannyapun tidak dapat disamakan dengan sejarah kompeni. Van Leur melihat dari berbagai sudut pandang. Saya melihat dari sudut pandang orang Barat selama ini telah menganggap orang atau Negara timur mengalami kebobrokan dalam segala hal pada abad itu. Jika melihat dari sudut pandang timur sebenarnya sudah mengalami kejayaan kekuasaan dan politik, seperti contoh majunya Negara Cina dan Jepang. Pada abad ke 18 penguasaan orang barat terhadap orang timur, khususnya Asia Tenggara mengalami kemunduran. Di Indonesia merupakan politik nusantara yang ditunjukkan adanya Batavia, Benteng dan yang lain yang dijadikan sebagai buktinya.
Indonesia pada masa itu khususnya di Jawa, jika melihat kekuasaan keraton-keraton Jawa mungkin kita akan merasa lebih unggul dibandingkan dengan Negara barat. Anggapan bahwa Negara timur merupakan Negara miskin lambat laun mulai memudar, bahkan Rouffaer sampai mengungkapkan perasaannya dengan sangat halus tentang kebudayaan Jawa. Tulisan Van Leur ini memberikan perbandingan historiografi Negara barat dan timur dari berbagai sudut pandang. Gaya perbandingan sesuai dengan porsinya sehingga keunggulan dari masing-masing bagian Negara dapat terlihat.
Dalam lingkup kolonial Belanda, Indonesia masih mampu melakukan transaksi  dengan Negara luar, sehingga menampakkan kurva kenaikan dan penurunan tingkat ekonomi dengan adanya kegiatan ekspor impor bahkan sampai abad ke 19. Di sini saya dapat melihat bahwa Van Leur membandingkan Negara penjajah dan jajahan dengan seimbang. Van leur sangat cerdik dalam membingkai perbandingan tulisannya yang disesuaikan dengan paparan historiografi belum diidentifikasikan secara lengkap.

Tugas Review Historiografi Partiningsih 3

Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections

Dalam tulisan Donald E Weatherbee tentang Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections, yang menjadikan karya Raffles orang yang pertama menulis tentang kebudayaan jawa yang terkenal dengan bukunya History of Java. Dalam pencarian dan pengumpulan sumber bahan raffles tidak sendirian, ia dibantu oleh Mackenzie dan istrinya yang khusus mencari sumber dari dalam keraton.
Mackenzie sangat berjasa dalam member kontribusi kepada Raffles dalam penulisan History of Java yang telah dilakukan sejak 1796 yang kemudian di tahun 1811 menjadi pemimpin lagi pada ekspedisi ke Jawa. Dalam pengumpulan sumber penulisan Mackenzie dengan mudah mendapatkannya karena telah mendapat ijin dan dukungan dari sultan, sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan Raffles menjiplak dari tulisan Mackenzie, padahal dalam pencarian sumberpanulisan yang dilakukan Mackenzie semua biayanya ditanggung oleh Raffles.
Selain Raffles ada Engelhard dalam Serat Kanda dan Middelkoops dalam History of Java. Kemiripan penulisan sejarah di jawa oleh ke tiga tokoh tersebut memang ada karena sumber yang digunakan hmpir sama sehingga tulisannya pun tidak jauh berbeda yaitu tentang kebudayaan jawa, kerajaan, raja-raja jawa juga bidang sosial ekonomi. Jika melihat tulisan Raffles dalam History of Java, bukuny berisis laporan perjalanan Raffles dan menurut saya dapat dikatakan sebagai buku harian Raffles, meskipun isinya sangat lengkap tentang sejarah jawa. Kita juga tahu karya Engelhard dalam Surat Kanda yang isinya belum kita ketahui kebenaran tulisan dan isisnya dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang semakin membingungkan.Akan tetapi jika tulisan Raffles dimasukkan dalam katagori historiografi pada masa sekarang ini, maka tulisan Raffles tidak sesuai dengan tata urutan penulisan historiografi. Dengan adanya ketiga penulis tersebut dan hasil tulisannya dapat dijadikan perdebatan pelajar-pelajar di Jawa, meskipun diantara ketiganya yang paling menonjol adalah tulisannya Raffles tentang History Of Java dan Raffles pun mengklaim dirinya yang menjadi satu-satunya orang di dunia yang mengetahui tentang sejarah Jawa. 

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 7

Sejarah Tanpa “S
Membaca artikel Heather Sutherland, “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, ide besar yang terkandung di dalamnya kiranya ialah perlunya menulis sejarah Indonesia di luar canon; di luar narasi sosial atau formal atau lembaga. Dengan demikian, tulisan Sutherland tersebut dapat dikatakan menjadi salah satu pondasi penting sebagai dasar untuk medekonstruksikan sejarah lalu merekonstruksinya.
Sejujurnya, saya ingin menghadirkan kembali artikel Sutherland. Akan tetapi, hal itu tidak saya lakukan dengan pertimbangan bahwa saya tidak ingin mengulang apa yang sudah dikemukakannya. Sebagai gantinya, saya mencoba untuk menghadirkan letupan-letupan kecil hasil pembacaan saya atas karya tersebut.
Tentunya, bukan pekerjaan mudah bagi saya untuk menghadirkan letupan-letupan yang saya miliki. Rincian, kelengkapan, dan koherensi kiranya menjadi tiga masalah yang menghadang. Oleh sebab itu, untuk menyiasati kendala tersebut, saya mencoba untuk menghadirkannya melalui pon-poin terperinci.
1.    Sejarah merupakan historiografi
Definisi sejarah sebagai historiografi kiranya merupakan simplifikasi atas pernyataan Sutherland; “sejarah merupakan catatan atau narasi masa lalu”. Dari pernyataan Sutherland itu, ada pertanyaan yang kiranya menarik untuk kita renungkan, yakni narasi apa yang semestinya kita rumuskan, kita susun, dan kita hadirkan. Dengan demikian, kita pun harus turut mempertimbangkan pula aktor di balik penyusunan suatu narasi sejarah, berikut untuk siapa narasi tersebut dirumuskan, disusun, dan dihadirkan. Dengan kacamata seperti ini, kiranya juga kita dapat meninjau narasi dalam sejarah nasional kita dan pentingnya untuk mendekonstruksinya.
Masih soal narasi, penting juga kita pikirkan tentang bentuk narasi yang kiranya mudah diterima oleh para pembacanya. Terkait dengan hal ini, kiranya kita pun turut mempertimbangkan wacana pendekatan sastra dalam sejarah. Saya pribadi menilai, pendekatan sastra dalam sejarah sebenarnya bukanlah suatu hal yang salah. Saya kira, persoalan mendasarnya “hanyalah” bagaimana kita tetap meletakkan metodologi sejarah dengan cara penulisan seperti itu.

2.   Sejarah adalah apa yang tidak terjadi
Jamak, kita sering mendefinisikan bahwa sejarah sebagai apa yang terjadi. Mengutip Sutherland, “ sejarah adalah apa yang terjadi menurut kata kita dan apa yang sebenarnya terjadi”. Hampir-hampir kita tidak pernah menyatakan bahwa sejarah merupakan apa yang juga tidak terjadi. Sehubungan dengan dua hal ini, pernyataan Sutherland tentang kemungkinan dalam sejarah saya kira sangat menarik dan saya membayangkan jika hal tersebut dijadikan sebagai asumsi dasar untuk menulis, saya kira, historiografi kita akan berubah secara drastis dan tentu saja lebih semarak karena tidak hanya menyajikan narasi tunggal.
Sebagai contoh, jika sejarah kita dibangun atas dasar rezim yang berkuasa, kiranya  menarik mencermati salah satu penggalan sejarah dalam rezim Sukarno. Sehubungan dengan hal tersebut, hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi dan dapat kita bangun sebagai narasi baru misalnya hubungan Sukarno dengan Sjahrir. Pertanyaan-pernyaan yang dapat kita ajukan contohnya: (a)  jika tidak Sutan Sjahrir, mungkinkah Sukarno menjadi pemimpin?; (b) jika Sjahrir tidak membela Sukarno, mungkinkan Sukarno diterima oleh gerakan muda?; (c) jika Sjahrir tidak menyatakan pola perjuangannya dan Sukarno, mungkinkah ada Sukarno dalam historiografi Indonesia sesudah periode 1945?; dan sebagainya.

3.   Paradigma sejarah
Sutherland dalam tulisannya menyatakan bahwa dalam meneliti dan menganalisis suatu peristiwa,  hendaknya para sejarawan memiliki paradigma atau kerangka berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn. Menyikapi pertanyaan tersebut, saya kira Sutherland masih abstrak mendefinisikan paradigma seperti apakah yang perlu kita miliki miliki sebagai sejarawan. Menurut saya, pernyataan Sutherland itu seabstrak definisi paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn.
Menyikapi hal tersebut, saya mencoba mendekati paradigma yang dikemukakan oleh Sutherland dengan definisi paradigma yang dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa—Putra. Paradigma, mengutip Ahimsa, “merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan/atau maslah yang dihadapi” (Ahimsa, 2009: 2). Masih menurut Ahimsa, dari definisi yang seperti itu, paradigma tersusun atas sembilan unsur, yakni: asumsi dasar, nilai-nilai, masalah-masalah yang diteliti, model, konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis atau teori; serta representrasi.
Pertama, asumsi dasar. Sehubungan dengan hal ini, kiranya kita perlu mengakui bahwa seringkali asumsi dasar yang dikemukakan oleh para sejarawan kita lemah bahkan sangat lemah. Kelemahan ini, antara lain dapat disimak dari dasar teori yang dipakai. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Ahimsa, ada kecenderungan dari para peneliti untuk tidak menyatakan asumsi dasarnya untuk menghindari kritik—misalnya kritik dari pembacanya. Akan tetapi, untuk historiografi, saya kira, bagaimanapun sejarawan harus menyatakan asumsi dasarnya secara eksplisit demi kemajuan historiografi itu sendiri.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti keseluruhan paradigma yang semestinya dipakai dalam penelitian sejarah demi menghindari tulisan yang panjang. Akan tetapi, saya kira, selain asumsi dasar dan teori, unsur yang penting untuk disoroti adalah soal unsur metode penelitian. Sehubungan dengan unsur tersebut, Ahimsa menulis bahwa sebelum menentukan metode yang digunakan terlebih dahulu seorang peneliti harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu realita, fakta, dan data (hlm. 15). Saya kira, jika diperas lagi, ide dasar ketiga hal itu dalam sejarah adalah persoalan subjektivitas sejarawan serta tinjauan ulang pernyataan “no document no history”. Sehubungan dengan poin pertama, saya kira ide pentingnya adalah meletakkan realita, fakta, dan sejarah baru dari hasil pemikiran seorang sejarawan. Sementara itu, untuk poin kedua, saya kira hal itu lebih pada ajakan pada sejarawan untuk membuka mata bahwa banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan. Tidak semata-mata arsip, melainkan bisa juga, teks atau foto dalam majalah atau surat kabar, memoar... bahkan gaya hidup seperti jenis pakaian yang dikenakan pun bisa dijadikan data.

4.  Sejarah dan politik
Suka tidak suka, sejarah yang kita miliki adalah sejarah politik. Begitu dangkalnya pemahaman itu, sampai-sampai ada lelucon yang saya kira sangat kering namun mewakili pemahaman itu, “untuk menjadi pahlawan dan dicatat dalam tinta emas sejarah Indonesia, jadilah politikus atau tentara. Jika mati, bisa saja dikuburkan di taman makam pahlawan. Lain halnya jika menjadi tokoh pendidikan, sebesar apapun jasa, jika mati tetap dimakamkan di taman (pe)makam(an) umum. Persolan sekarang yang harus pikirkan adalah bagaimana membangun sejarah nonpolitik dan memperkaya sejarah dengan tema-tema lain. Oleh karenanya, penting kiranya mewujuhkan sejarah tanpa “S” atau “Sejarah” atau sejarah nonformal atau nonlembaga atau nonnegara.

5.   Sejarah lokal
Saya kira, usulan Sutherland dalam tulisannya soal pentingnya membangun sejarah lokal sangat menarik dan perlu digalakkan. Pasalnya, sejarah lokal saya kira cukup menjadi solusi untuk menambah warna sejarah atas dominasi sejarah nasional yang kering dan tidak lebih dari generalisasi-generalisasi atas banyak realitas sejarah yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Persolan utama ketika kita merintis sejarah lokal saya kira adalah soal etnosentrisme atau romantisme daerah yang bisa saja muncul dalam historiografi. Sebagai contoh, salah satu kecenderungan yang muncul saat ini adalah pola-pola dimana suatu daerah menolak periodesasi yang disodorkan oleh negara dan menarik garis sejarah jauh ke belakang, bahkan sebelum negara dibentuk, dan mengkaitkannya dengan kebesaran suatu pemerintahan. Seolah, tidak ada hubungan antara daerah dan negara atau daerah terlepas dari negara.

6.  Eropasentrisme
Sehubungan dengan poin keenam ini, saya ingin menyoroti sudut pandang eropasentris dan membandingkannya dengan indonesiasentris yang berlaku saat ini. Suka tidak suka, saya kira baik eropasentris maupun indonesiasentris adalah dua hal yang sama dan tidak ada bedanya sama sekali. Dengan demikian, bagaimanapun kita menyatakan bahwa historiografi kita sekarang ini adalah indonesiasentris, saya melihat tidak ada yang berubah dari genre historiografi sebelumnya. Asumsi dasarnya antara lain dapat disimak dari kosakata pahlawan atau pemberontak atau si jahat; jika zaman kolonial meletakkan Indonesia sebagai aktor jahat maka kini di masa Indonesia, koloniallah si aktor jahatnya. Saya kira, pembolak-balikan seperti ini belum bisa menjawab esensi indonesiasentris.

7.   Ketuhanan dalam historiografi Indonesia
Sehubungan dengan poin ini, saya ingin menyoroti pernyataan Sutherland soal modernitas dalam historiografi yang ditandai dengan penghilangan asas ketuhanan. Saya ingin mendiskusikan bahwa benarkah historiografi kita menghilangkan asas atau prinsip-prinsip ketuhanan itu? Faktanya, saya melihat bahwa ketuhanan hadir dengan begitu ambigu dalam historiografi Indonesia sekarang ini yang kita sebut sebagai historiografi modern. Salah satu contohnya, historiografi tidak pernah menyinggung ambivalensi sila pertama dan kelima dasar negara kita—pancasila saya kira juga merupakan salah satu bentuk historiografi. Lebih dari itu, historiografi kita belum jelas mendudukkan status negara Indonesia—kita ingat bahwa Indonesia bukankah negara agama dan bukan juga negara sekuler, melainkan negara pancasila. Pertanyaan saya, berapa nyawa telah melayang dan namanya kita catat demi menegakkan asas ketuhanan? Jika demikian, dari realitas-realitas sejarah yang kita miliki, bukankah agama atau ketuhanan dalam konteks keindonesiaan tidak lain merupakan salah satu bentuk fasisme? Pertanyaan saya lagi, mampukah historiografi kita menarasikan fasisme tersebut? Mampu jugakah historiografi Indonesia mendekonstruksi pemahaman soal agama—pancasila—sekuleritas?

8.  Kedudukan memori dalam sejarah sejarah
Dalam sejarah yang didasarkan atas canon, saya kira memori merupakan hal yang sangat tabu. Akan tetapi, dari pembacaan atas tulisan Sutherland tentang proses mengingat dan melupakan, saya kira kita perlu mendudukkan pendekatan ini dalam menyusun historiografi kita. Sehubungan dengan ini, kiranya kita pun perlu mendudukan memori sebagai bagian dari mentifect yang secara tidak langsung merupakan fakta psikologis.

9.       Aktor nonnegara
Sehubungan dengan poin ini, saya ingin mengulang pernyataan Bambang Purwanto dalam buku yang sama dengan artikel Sutherland. Mengutip Bambang, sudah saatnya bagi kita para sejarawan untuk menulis sejarah nonnegara. Dengan demikian, masih menurut Bambang, kiranya penting bagi kita untuk menulis sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari.
Saya kira, penulisan sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari tidak semata-mata mempersoalkan aktor, data, namun juga ragam tulisan. Saya kira pula, pendekatan tersebut mampu menangkap psikologi sebenarnya dari sebuah negara. Sebab, saya kira, psikologi  suatu negara itu bukan kita peroleh dari sejarah nasional melainkan masing-masing pribadi. Dengan demikian, setiap orang pun memiliki sejarah. Manfaat lain, kalau saja kita menggunakan pendekatan seperti itu, kiranya juga analisis kita jauh lebih mendalam dan tentu saja saja jauh lebih kaya.

10.   Proyek besar sejarah
Dari tulisan Sutherland dan poin-poin yang saya susun itu, kesimpulan saya, suka tidak suka, historiografi Indonesia harus diubah, dalam bahasa Bambang Purwanto, historiografi Indonesia harus didekonstruksi ulang. Semuanya! Oleh karenanya, saya membayangkan akan ada proyek besar-besaran di Indonesia dalam merumuskan kembali sejarah, terutama sejarah nasional. Jika hal tersebut benar dilakukan, saya membayangkan paling tidak dalam satu dekade akan terjadi kekacauan dalam penyusunannya. Saya membayangnya, banyak pihak akan bertikai soal siapakah yang berperan atau menjadi aktor dalam sejarah atau meminjam kosakata Gerry van Klinken, “mengakukan sejarah”.

11.     Otoritas sejarawan
Saya kira, poin terakhir ini merupakan “angin penghibur” bagi sejarawan, terutama sejarawan muda dalam merumuskan dan menulis narasi sejarah. Pernyataan Sutherland soal otoritas sejarawan saya kira merupakan ungkapan kebebasan yang ditujukan pada mereka untuk menulis sejarah dengan cara masing-masing. Dengan kata lain, dari bermacam-macam teori atau pendekatan atau padigma dalam sejarah, dari model sastra atau ilmiah, mereka—dan tentu saja kita—dibebaskan untuk menulis dengan pendekatan yang kita anggap benar. Selama, tidak keluar dari metodologi sejarah yang wajib kita pegang. []

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 4

Abad XVIII sebagai Kategori Penulisan Sejarah Indonesia;
Tinjauan Atas Tulisan Van Leur

Dua minggu lalu, berturut-turut, kita menyinggung-nyinggung pernyataan Jhon Bastin tentang historiografi Indonesia yang ditulis atau diterbitkan oleh orang-orang Inggris di Indonesia. Sedikit mengingatkan, pernyataan Bastin yang saya maksud ialah, bahwa historiografi tulisan orang-orang Inggris itu, ternyata mampu mempengaruhi perubahan cara pandang Belanda mengenai koloninya. Akhirnya, juga mempengaruhi historiografi yang disusun.
Berbicara tentang historiografi baru Indonesia yang ditulis oleh orang-orang Belanda, kiranya ada satu sosok yang cukup menonjol yang patut kita perbicangkan. Sosok itu ialah J.B Van Leur dengan karyanya yang sangat fenomenal; Abad Ke-18 sebagai Katagori dalam Historiografi Indonesia (?). Karya itu, ditulisnya sebagai antitesis atas tulisan Dr. Godee Molsbergen, Geschiedinis van Nederlandsch Indie (jilid IV).
Keperkasaan Belanda di Indonesia di Nusantara pada abad XVIII merupakan inti tesis Molsbergen yang dikritisi oleh Van Leur. Lengkapnya, Molsbergen menulis, “abad XVIII merupakan refleksi dari sejarah Belanda yang kala itu merupakan kekuatan yang menentukan di Eropa”. Sementara, sebagai antitesisnya, Van Leur menyatakan bahwa abad XVIII tidak berbeda dengan abad XVII, dimana Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) bukan merupakan suatu kekuatan yang menentukan perkembangan sejarah di Asia. Hal itu tampak dari betapa kerajaan seperti Persia, India, dan Cina, masih merupakan kekuatan yang berpengaruh. Begitu kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan di wilayah itu, sampai-sampai dalam perdagangan pun VOC harus mengikuti aturan tradisional (baca: aturan mereka). Van Leur menambahkan, “keunggulan Eropa baru tampak pada abad XIX dengan terciptanya sitem produksi massal, dimana politik kolonial ditujukan uuntuk mencari pasaran bagi produksi serta bahan-bahannya.
Soal tulisan Van Leur, catatan Richard Z. Leirissa kiranya menarik untuk disimak. Menurut Leirissa,”karya van Leur menunjukkan segi yang jarang sekali dalam historiografi Indonesia”. Ia menambahkan, “usaha ini, menunjukkan bahwa dengan sumber-sumber yang ditinggalkan VOC, dapat disusun sejarah yang menarik tentang orang-orang Indonesia yang sezaman. Itu penting, mengingat perdagangan tidak meninggalkan sumber-sumber bagi sejarahnya sendiri”.
Membaca pemikiran Van Leur dan uraian Leirissa, kiranya, tidak ada salahnya apa bila kita memulainya dengan beberapa pertanyaan yang bagi sendiri cukup mengganjal. Pertanyaan-pertanyaan itu, antara lain: (1) Mengapa Van Leur tertarik dengan studi tentang Nusantara? (2) Mengapa Van Leur menyoroti abad XVIII? Apa istimewanya abad itu dalam historiografi Indonesia? (3) Mengapa Van Leur bisa berpikir bahwa orang Nusantara juga memiliki andil besar dalam perdagangan alih alih sebagai kekuatan yang besar, penuh hegemoni, VOC justru digambarkannya harus mengikuti aturan main Nusantara? Apa asumsi dasar Van Leur terkait dengan hal tersebut? (4) Bagaimanakah sebenarnya kondisi VOC dan aktivitas perdagangannya? (5) Seperti apakah gambaran historiografi Indonesia tentang para pedagang di Nusantara, sebelum Van Leur mengemukakan antitesisnya? (6) Darimanakah Van Leur mendapatkan sumber-sumber penulisan, terutama untuk memperkuat antitesisnya?
Beberapa pertanyaan pada paragraf di atas, tentunya telah terjawab oleh uraian-uraian dalam paragraf-paragraf sebelumnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Paparan berikut ini, saya maksudkan sebagai uraian atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Menyoal Eropasentisme
Saya kira, supaya bisa memahami tulisan Van Leur, kita harus merunutnya terlebih dahulu dari pemahaman akan VOC di Nusantara pada abad XVIII. Selanjutnya mencari tahu latar belakang Van Leur lalu mulai memikirkan historiografi Indonesia dewasa ini, terkait dengan periode abad XVIII.
Kita mulai dari VOC yang dibentuk tanggal 20 Maret 1602. Mengutip tulisan Vincent Houben dalam Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, VOC adalah “organissati van kooplieden was weliswaar een handelsorganisatie, maar van de Staten-Generaal in de Republiek kreeg zij belangrijke bevoegdheden. Naast het monopolie op de vaart ten oosten van de Kaap de Goede Hoop mocht zij in soevereine rechten uitoefenen, dat wil zeggen: zelfstandig verdragen sluiten een oorlog vooren. Daarmee kreeg de VOC een dubbel karakter. Enerzijd vormde zin binnen Azie een maritieme staat met eigen soevereine karakter”.
Kutipan itu, tulis Bambang Purwanto, menunjukkan dualisme VOC, yakni perdagangan dan kekuasaan. Lebih lanjut ia menulis, “meminjam bahasa Moh. Ali, VOC adalah negeri Belanda yang berdagang dengan leluasa atau negeri Belanda dengan nama VOC”.
Menyimak kutipan Bambang Purwanto, yang terbayang, kiranya, betapa kuatnya pengaruh yang dimiliki oleh oleh VOC di Nusantara. Namun, sekali lagi, sesungguhnya VOC atau Belanda dalam hal ini, sama sekali bukanlah kekuatan yang berpengaruh dan sama sekali tidak diperhitungkan di Eropa, khususnya Eropa Barat. Tidak salah, jika Francois Gouda kemudian mengumpamakan VOC atau Belanda sebagai Daud yang cerdik diantara para Goliath imperium, karena keberhasilannya merintis imperium di Nusantara—meskipun tidak dapat juga dikatakan bahwa VOC memiliki kekuatan besar di Nusantara.
Setelah memahami sedikit uraian tentang VOC, hal berikutnya yang perlu kita tahu adalah sosok van Leur. Tulisan Jaap Vogel, “A Short Life in History” serta Leonard Blusse dan Femme Gaastra, “The Eighteen Century as Category in Asian History”, kiranya cukup bisa menjadi gambaran awal tentang Van Leur. Terkait tulisan tersebut, satu hal yang saya garis bawahi ialah asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur sebagai awal dari hipotesis sekaligus antitesisnya akan karya Molsbergen.
Setidaknya, ada dua asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur terkait dengan antitesisnya. Pertama, ia menempatkan patrimonial kekuasaan Asia sebagai dasar perpaduan ketertutupan dan kemandirian pada masyarakat pertanian. Kedua, abad XVII, diyakini Van Leur sebagai era kejayaan maritim di Asia. Masyarakat Asia, khususnya Nusantara, kala itu, menurut van Leur sedang giat-giatnya membangun kemaritiman mereka sekaligus menjadikannya sebagai tumpuan mereka menghadapi musuh.
Selain dua asumsi dasar yang dikemukakannya, hal lain yang menarik dari tulisan van Leur ialah kritiknya soal historiografi (Indonesia), baik yang ditulis oleh orang-orang Inggris maupun oleh orang-orang Belanda. Van Leur, sebagaimana dikutip oleh Vogel, sangat menyesalnya tidak digunakannya ilmu filologi, etnografi, arkeologi, dan sejarah kolonial—yang termasuk dalam ranah sejarah Indonesia—dalam penulisan sejarah.
Mencoba menangkap paradigma yang ditawarkan oleh Van Leur, pertanyaan selanjutnya, sudahkah sejarawan kita, saat menulis periode XVIII menggunakan paradigma tersebut atau justru tetap terjebak pada penjelasan kolonial. (Galuh Ambar)

Jumat, 30 Desember 2011

Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 6

 Interaksi Lintas Budaya dan periodisasi
dalam sejarah dunia


Artikel ini membicarakan tentang Interaksi lintas Budaya dan Periodisasi dalam sejarah dunia yang mengkaji tentang dua essay yakni essay yang pertama membicarakan tentang usaha pada periodisasi global mungkin memberi manfaat dengan memeriksa partisipasi orang di dunia dalam proses yang melebihi masyarakat individual dan area budaya. Essay yang kedua mengkaji tentang penjabarkan periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis batas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), masa peradaban kuno (2000-500SM), masa peradaban klasik (500 SM-500M), masa post klasik (500-1000M), masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan masa modern (1500 M sampai kini). Untuk lebih jelas lagi akan diuraikan secara singkat kedua essay tersebut beserta tanggapan isi dari artikelnya.
Periodisasi menduduki posisi atas diantara tugas yang lebih sulit dari pembelajaran sejarah. Seperti yang dikenal baik oleh sejarawan, identifikasi periode sejarah koheren melibatkan lebih dari penemuan sederhana titik balik yang cukup di masa lalu: ini bergantung pada keputusan sebelumnya mengenai issu ini dan proses yang paling penting untuk membentuk masyarakat manusia dan ini membutuhkan penetapan kriteria atau prinsip yang memungkinkan sejarawan memilih massa informasi dan mengenal pola kontinuitas dan perubahan. Bahkan di dalam kerangka suatu masyarakat tunggal, perubahan perspektif dapat membutuhkan koherensi periode yang dikenal secara konvensional seperti essay terkenal dari Joan kelly. “ Did Women Have a Renaissance?” atau konsep Eropa kuno dari Dietrich Gerhard.[1]
Ketika sejarawan menjelaskan masa lalu dari sudut pandang global dan memeriksa proses yang melintasi batas garis masyarakat dan area budaya, masalah periodisasi  menjadi lebih akut. Sejarawan telah lama menyadari bahwa skema periodisasi berdasarkan pada pengalaman barat atau peradaban lain menjalankan tugas buruk menjelaskan lintasan masyarakat lain. Mengutip satu contoh terkenal, kategori sejarah kuno, pertengahan dan modern yang diambil dari pengalaman Eropa, berlaku aneh untuk sejarah China, India, Afrika, dunia Islam, atau belahan Berat, yang terpisah dari fakta yang semakin dikenal bahwa mereka tidak berlaku sama baiknya untuk sejarah Eropa.[2] Karena sejarawan mengambil pendekatan global pada masa lalu dan menganalisa pengalaman manusia dari perspektif yang luas dan komparatif, pertanyaan periodisassi tampil dengan desakan yang meningkat. Sejauh mana mungkin untuk mengidentifikasikan periode yang berguna dan koheren diantara garis batas masyarakat dan area budaya? Kriteria atau prinsip apa yang mungkin membantu sejarawan untuk menentukan pola kontinuitas dan perubahan dan untuk membedakan periode tersebut?[3]
Essay ini menyatakan bahwa usaha pada periodisasi global mungkin memberi manfaat dengan memeriksa partisipasi orang di dunia dalam proses yang melebihi masyarakat individual dan area budaya. Dari waktu yang lampau sampai saat ini, interaksi lintas budaya memiliki percabangan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang signifikan untuk semua orang yang terlibat. Maka, tepat untuk mengajukan alasan bahwa proses interaksi lintas budaya mungkin bernilai untuk tujuan mengidentifikasikan periode sejarah dari sudut pandang global. Lebih jauh, dengan interaksi lintas budaya sebagai kriteria, sejarawan mungkin menghindari periodisasi etnosen­tris yang menyusun masa lalu dunia menurut pengalaman orang istimewa tertentu. Para ahli semakin mengakui bahwa sejarah adalah produk dari interaksi yang melibatkan semua orang di dunia.[4]
Dengan memfokuskan proses interaksi lintas budaya, sejarawan mungkin lebih siap mengidentifikasi pola kontinuitas dan perubahan yang merefleksikan banyak orang dari pada memberlakukan semua periodisasi yang didapat dari pengalaman beberapa orang istimewa.
Dua keberatan mengenai periodisasi yang diajukan disini membutuhkan beberapa pertimbangan. Pertama, periodisasi berdasar pada interaksi lintas budaya tidak dapat mencakup semua dunia di sepanjang waktu. Untuk sebagian besar sejarah, belahan timur, belahan barat dan Oseania adalah area yang telah berisi yang orang-orangnya saling berhadapan secara jarang dan sporadis. Di masing-masing area ini interaksi lintas budaya terjadi secara reguler dan membentuk pengalaman dari semua orang yang terlibat. Pemahaman interaksi awal kuat untuk Eurasia dan sebagian besar Afrika, sehingga interaksi lintas budaya berfungsi baik sebagai dasar untuk periodisasi di banyak belahan timur bahkan sebelum masa modern. Dari abad 16, interaksi lintas budaya memberikan dasar untuk periodisasi global sejarah dunia.
Kedua, periodisasi global tidak merepresentasikan satu-satunya kerangka yang berguna atau tepat untuk analisa sejarah. Ini berlaku tanpa mengatakan bahwa perkembangan internal masyarakat individual- seperti pembangunan negara,


struktur sosial dan tradisi budaya telah mempengaruhi pengalaman sejarah dari negeri dan orang yang terlibat. (Tentu saja, perkembangan internal ini umumnya terjadi di dalam konteks yang jauh lebih besar yang membantu menjelaskan pengalaman lokal). Lebih Jauh, orang yang berbeda telah berpartisipasi dalam proses skala besar pada derajat yang berbeda, sehingga periodisasi global sering menggambarkan perkembangan historis dalam perkiraan bukannya bentuk yang dikalibrasi dengan baik. Maka, periodisasi global harus  memungkinkan alternatif yang sensitif terhadap nuansa pengalaman lokal. Konsep late antiquity dari Peter brown memiliki kekuatan besar bagi usaha tersebut untuk memahami perkembangan historis di lembah mediterania dan Asia barat daya, bahkan jika ini tidak berhubungan pada skala hemisfer atau global.[5] Periodisasi lahan individual dan area terentu akan sering lebih halus dan spesifik dibanding periodisasi global, karena mereka memiliki potensi untuk merefleksikan secara akurat pola lokal dari kontinuitas dan perubahan. Maka, ketika berusaha untuk memahami perkembangan historis pada skala besar, sejarawan global harus mengakui bahwa periodisasi mereka tidak selalu berlaku sama baiknya pada semua wilayah dan area yang mereka cakup.
Namun demikian, periodisasi global memiliki tempat dalam ilmu sejarah kontemporer. Sejauh bahwa sejarawan mempertim­bangkannya bernilai untuk memeriksa masa lalu dari sudut pandang global dan komparatif, mereka perlu mengidenti­fikasikan periode sejarah yang menempatkan perkembangan sejarah dalam konteks geografis dan budaya yang besar. Lebih jauh, periodisasi global juga memiliki potensi untuk menetapkan konteks yang lebih besar untuk pemahaman pengalaman lokal dan regional. Untuk tujuan membangun periodisasi global ini, analisa interaksi lintas budaya dan hasilnya memegang janji yang kaya.
Ketika berkaitan dengan abad kelima, usaha pada periodisasi global harus mempertimbangkan interaksi lintas budaya. Sejak 1492, area dunia telah berkontak permanen dan berkelanjutan dengan yang lain dan interaksi lintas budaya telah mempengaruhi pengalaman semua orang di bumi. Banyak ahli telah memeriksa efek interaksi lintas budaya pada masa modern sampai menggali tema-tema seperti perdagangan jarak jauh, pertukaran tanaman, hewan dan penyakit, transfer teknologi, pendirian kerajaan dan kolonial, kampanye misionaris, perdagangan budha transatlan­tik, dan perkembangan kapitalisme global.[6]
Namun demikian, untuk periode awal, mungkin bahwa menemukan suatu periodisasi global pada interaksi lintas budaya meregangkan poin diluar kegunaan. Mengakui bahwa orang di dunia tidak hidup dalam masyarakat yang tertutup secara hermetik terisolasi sampai 1492, tetap suatu pertanyaan sah apakah interaksi lintas budaya cukup intensif dan ekstensif untuk memberikan kerangka untuk periodisasi pada masa modern. Misalnya, suatu keprihatinan yang masuk akal bahwa periodisasi yang ditemukan pada interaksi lintas budaya mungkin sesuai dengan keistimewaan pada sebagian kecil manusia yang melakukan perjalanan panjang atau yang jika tidak demikian menjadi terlibat langsung dalam interaksi lintas budaya pada masa modern.
Bagian essay selanjutnya akan menjabarkan periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis abtas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), masa peradaban kuno (2000-500SM), masa peradaban klasik (500 SM-500M), masa post klasik (500-1000M), masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan masa modern (1500 M sampai kini).
Interaksi Lintas Budaya mulai mempengaruhi masalah manusia dari masa sejarah paling awal. Kelompok manusia memulai perjalanan jarak jauh hampir sesegera Homo sapiens sapiens muncul sebagai suatu spesies sekitar 35000 sampai 40000 tahun yang lalu. Pada sekitar 15000 SM, manusia menyebar ke hampir semua area yang dapat dihuni manusia. Dengan menganalisa karakteristik dan distribusi keluarga bahasa, tipe daerah, dan sisa material, para ahli mampu menelusur jejak perpindahan pra historis dari beberapaorang dengan presisi nyata.[7] Meskipun bukti yang terus ada tidak memungkinkan pemahaman tentang pengalaman orang yang bermigrasi, perjalanan mereka membuatnya dalam perjumpaan lintas budaya bahkan di massa pra historis. Alat, senjata, dan dewa yang menyebar luas menunjukkan komunikasi diantara jarak jauh oleh orang pra historis.[8]
Untuk tujuan periodisasi global, ini berarti menunjukkan bahwa selama masa masyarakat kompleks awal, interaksi lintas budaya memiliki percabangan yang berjalan diluar pengalaman Mesopotamia dan Mesir. Masyarakat kompleks awal menghasilkan negara dan struktur sosial yang bergantung pada interaksi lintas budaya. Selama masa pertama sejarah global, migrasi dan perdagangan mendorong difusi pemeliharaan kuda dan metalurgi perunggu, yang mempengaruhi perkembangan negara dan masyarakat dari China ke Mesir.
Migrasi paling awal orang Indo-Eropa terjadi selama masa masyarakat kompleks awal dan mereka membantu menyebarkan pemeliharaan kuda dan menghubungkan teknologi transportasi di banyak Eurasia. Dari tanah air mereka, mungkin di area padang rumput Ukraina dan Rusia selatan masa modern, beberapa orang Indo-Eropa bepergian ke timur ke Siberia dan Lembah Tarim seawal milenium keempat SM, sementara yang lain bermigrasi kebarat ke Anatolia dan Eropa Timur, segera sesudah tahun 3000 SM. Bukti migrasi timur telah muncul dalam bentuk korpus individu Kaukasia yang tersimpan baik tetapi kering yang ditemukan di provinsi Xinjiang China.[9] Migran Indo-Eropa memperlihatkan mobilitas mereka pada kuda mereka dan kendaraan beroda, dan mereka memperkenalkan teknologi transportasi mereka ke daerah yang mereka masuki. Adalha mungkin bahwa kekerasan menyertai migrasi mereka dan bahwa kuda membantu orang Indo-Eropa menetapkan diri di tanah yang baru. Dalam berbagai kasus, difusi kuda dan teknologi transportasi terkait segera menjadi penting untuk tujuan menetapkan dan mempertahankan negara dan hirarki sosial pada masyarakat kompleks awal.[10]



[1] Joan Kelly-Gadol, “Did Women Have a Renaissance?” aslinya diterbitkan dalam Renace Bridenthal dan Claudia Koonz, ED, Becaming Visible: Women in European History (Boston, 1977), 137-64; ditulis ulang, dalam Women, History and Theory: The Essays of John Kelly (Chicago, 1984), 19-50. Dietrich Gerhard, Old Europe: A study of Continuity, 1000-1800 (New York, 1981)
[2] Pada point terakhir, lihat Gerhard, Old Europe, dan C. Warren Hollister, “The Phases of European History and the Nonexistence of the Middle Ages,“ Pacific Historical Review, 61(1.992); 1-22
[3] Beberapa Ahli telah memberikan refleksi yang berguna mengenai periodisasi dari sudut pandang global. Beberapa menyatakan secara eksplisit atau mengasumsikan secara implisit bahwa masyarakat manusia terlibat dalam bentuk yang sama, sehingga periodisasi bergantung pada identifikasi tahap yang dilalui semua masyarakat. Terpisah dari kumpulan besar ahli evolusiner Marxis, lihat Robert McC. Adam, The Evolution of Urban Society: Early Metopotamia and Prehispanic Mexico (Chicago, 1966). Yang lain telah mengajukan siklus hemisferik dan global sebagai dasar untuk periodisasi: lihat Andre Gunder Frank, “A Theoritical Introduction to 5.000 Years of World System History,” Review, 13 (1990); 155-248; dan essays pada Andre Gunder Frank dan Barry IC Gill, ED. The World System: Five Hundred Years or Five Thousand? (London, 1993). Yang lain membayangkan periodisasi berdasarkan pada interaksi lintas budaya: lihat Ross E. Dunn,”Periodization and Chronological Coverage in a World History Survey,” dalam Josef W. Konvitz, ED., What American Shoul Know: Western Civilization or World History? Proceedings of a Conference at Michingan State University, April 21-33, 1985 (East lansing, Mich., 19850, 129-40; Peter N. Steams, “Periodization in World History Teaching: Identifying the Big Changes,” History Teacher, 20 (1987): 561-80 dan William A. Green, “Periodization in European and World History,” Journal of World History, 3(1992):13-53. Lihat juga William A. Green, “periodizing World History,” History and Theory, 34 (1995):99-111. William H. McNeil, The rise of the West: A History of the Human Community (Chicago, 1963) tidak menjelaskan issue periodisasi secara langsung tetapi memberi kontribusi pada pemahamannya dengan memberikan sejarah terintegrasi dari dunia dari suatu sudut pandang global. Lihat juga refleksi McNeil pada “The Rise of the West after Twenty-Five Years, “Journal of World History, (1990): 1-21. Essay ini menarik inspirasi dari kontribusi yang dikutip diatas, dan ini berusaha untuk melengkapinya dengan mengajukan suatu prinsip untuk mengidentifikasikan periode sejarah koheren dari sudut pandang global.



[4] Beberapa contoh karya terakhir yang dengan baik mengilustrasikan poin tentang dunia modern: Mechal Sobel, The World They Made, Together, Black and White Value in eighteen-Century Virginia (Princeton, NJ., 1987); John E Wills, Jr, “Maritime Asie, 1500-1800: The Interactive Emergence of european Domination,” AHR, 98 (Februari 1993); 83-105; Edward W. Said, Culture and Imperialism (New York, 1993); Ronald T. Takaki, A Different Mirror: A History of Multicultural America (Boston, 1993); dan Paul Gilroy, The Black Atlantic: Modernity and Double Consciousness (Cambridge, Mass., 1993)
[5] Dari banyak pemikiran dan karya peter Brown, lihat khususnya The World of late Antiquity, A.D. 150-750 (London, 1971) dan The making of late Antiquity (Cambridge, Mass, 1978). Dalam bentuk migrasi massal, interaksi lintas budaya adalah fitur utama dari keantikan akhir. Namun demikian, dalam karyanya sendiri, Brown telah mengkonsentrasikan pada sejarah budaya dan religios dari lembah Mediterania, dan Asia Barat Daya, tanpa menempatkan pengalaman wilayah itu di Eurasia yang lebih besar atau konteks hemisferik dan tanpa menjelaskan secara langsung tema interaksi lintas budaya.
[6] Lihat, diantaranya, Philip D. Curtin, Cross Cultural trade in World History (New York, 1984); Daniel R. Headnock, The Tentacles of Progress: technology Trasnfer in the Age of Imperialism 1850-1940 (New York, 1988) Immanuel Wallerstein, The Modern World System, 3 vols. (New York; 1974); Eric R. Wolg, Europe and the People without History (Berkeley, Calif, 1982) William H. McNeill, Plagues and Peoples (Garden City, NY, 1976) dan dua karya  Alfred Crosby The Columbian Exchange: Biologicdal and Cultural Consequence of 1492 (Wesport, Conn, 1972) dan Ecological Imperialism: The Bilogical Expansion of Europe, 900-1900 (New York, 1986)
[7] Irving rouse, Migrations in Prehistory: Inferring Population Movement from Cultural remains (New haven.conn, 1986). Lihat juga David W. Anthony, :Migration in Archeology: The Baby and The Bathwter,” American Anthropologist, 92 (1990):895-914
[8] Lihat robert J. Wenke, Patterns in Prehystory: Humandkind’s First Three Million years, 3 ED (New York, 1990); dan dua karya Marija Gimbutan, The Goddesses and Gods of Old Europe, 6500-3500 BC: Mytsh and Cult linage, updated edn (berkeley, Calif, 1982) dan The Civilization of the Goddess: The world of Old Europe, Joan marler, cd (San Francisco, 1991)
[9] Sejauh ini mayat palign awal yang diteliti berasal dari 2000 SM dan kultur materialnya mencakup kuda, kereta beroda, dankain yang menunjukkan tenunan yang sama dengan yang terkait dengan komunitas Indo-Eropa di Eropa Utara. Studi rinci mayat itu belum tersedia, tetapi untuk laporan awal lihat Victor H. Mair, Prehistoric Causasoid Corpses of the Tarim Basin. Journal of Indo-European Studies, 23 (1995); 281-307.
[10] Sifat dan hasil dari migrasi Indo-Eropa merupakan materi berdebatan yang berlanjut. Untuk dua pandangan yang bertentangan dan kontroversial, lihat Colin Renfrew, Archaeology and Language: The Puzzle of Indo-European Origins (New York, 1988) dan marija Gimbutan, “The Indo europeanization of Europe: The Intrusion of Steppe pascoralist from South Russion and the Transformation of Old Europe, “Word 44 (1993):205-22. Untuk dua navigasi melalui literator tentang Indo-Eropa, lihat Mallory, In Search of the Indo-europeans dan David W. anthony, “The Archeology of Indo-European Origins,” Journal of Indo-european Studies, 19 (1991):193-222