Sabtu, 31 Desember 2011

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 4

Abad XVIII sebagai Kategori Penulisan Sejarah Indonesia;
Tinjauan Atas Tulisan Van Leur

Dua minggu lalu, berturut-turut, kita menyinggung-nyinggung pernyataan Jhon Bastin tentang historiografi Indonesia yang ditulis atau diterbitkan oleh orang-orang Inggris di Indonesia. Sedikit mengingatkan, pernyataan Bastin yang saya maksud ialah, bahwa historiografi tulisan orang-orang Inggris itu, ternyata mampu mempengaruhi perubahan cara pandang Belanda mengenai koloninya. Akhirnya, juga mempengaruhi historiografi yang disusun.
Berbicara tentang historiografi baru Indonesia yang ditulis oleh orang-orang Belanda, kiranya ada satu sosok yang cukup menonjol yang patut kita perbicangkan. Sosok itu ialah J.B Van Leur dengan karyanya yang sangat fenomenal; Abad Ke-18 sebagai Katagori dalam Historiografi Indonesia (?). Karya itu, ditulisnya sebagai antitesis atas tulisan Dr. Godee Molsbergen, Geschiedinis van Nederlandsch Indie (jilid IV).
Keperkasaan Belanda di Indonesia di Nusantara pada abad XVIII merupakan inti tesis Molsbergen yang dikritisi oleh Van Leur. Lengkapnya, Molsbergen menulis, “abad XVIII merupakan refleksi dari sejarah Belanda yang kala itu merupakan kekuatan yang menentukan di Eropa”. Sementara, sebagai antitesisnya, Van Leur menyatakan bahwa abad XVIII tidak berbeda dengan abad XVII, dimana Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) bukan merupakan suatu kekuatan yang menentukan perkembangan sejarah di Asia. Hal itu tampak dari betapa kerajaan seperti Persia, India, dan Cina, masih merupakan kekuatan yang berpengaruh. Begitu kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan di wilayah itu, sampai-sampai dalam perdagangan pun VOC harus mengikuti aturan tradisional (baca: aturan mereka). Van Leur menambahkan, “keunggulan Eropa baru tampak pada abad XIX dengan terciptanya sitem produksi massal, dimana politik kolonial ditujukan uuntuk mencari pasaran bagi produksi serta bahan-bahannya.
Soal tulisan Van Leur, catatan Richard Z. Leirissa kiranya menarik untuk disimak. Menurut Leirissa,”karya van Leur menunjukkan segi yang jarang sekali dalam historiografi Indonesia”. Ia menambahkan, “usaha ini, menunjukkan bahwa dengan sumber-sumber yang ditinggalkan VOC, dapat disusun sejarah yang menarik tentang orang-orang Indonesia yang sezaman. Itu penting, mengingat perdagangan tidak meninggalkan sumber-sumber bagi sejarahnya sendiri”.
Membaca pemikiran Van Leur dan uraian Leirissa, kiranya, tidak ada salahnya apa bila kita memulainya dengan beberapa pertanyaan yang bagi sendiri cukup mengganjal. Pertanyaan-pertanyaan itu, antara lain: (1) Mengapa Van Leur tertarik dengan studi tentang Nusantara? (2) Mengapa Van Leur menyoroti abad XVIII? Apa istimewanya abad itu dalam historiografi Indonesia? (3) Mengapa Van Leur bisa berpikir bahwa orang Nusantara juga memiliki andil besar dalam perdagangan alih alih sebagai kekuatan yang besar, penuh hegemoni, VOC justru digambarkannya harus mengikuti aturan main Nusantara? Apa asumsi dasar Van Leur terkait dengan hal tersebut? (4) Bagaimanakah sebenarnya kondisi VOC dan aktivitas perdagangannya? (5) Seperti apakah gambaran historiografi Indonesia tentang para pedagang di Nusantara, sebelum Van Leur mengemukakan antitesisnya? (6) Darimanakah Van Leur mendapatkan sumber-sumber penulisan, terutama untuk memperkuat antitesisnya?
Beberapa pertanyaan pada paragraf di atas, tentunya telah terjawab oleh uraian-uraian dalam paragraf-paragraf sebelumnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Paparan berikut ini, saya maksudkan sebagai uraian atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab.

Menyoal Eropasentisme
Saya kira, supaya bisa memahami tulisan Van Leur, kita harus merunutnya terlebih dahulu dari pemahaman akan VOC di Nusantara pada abad XVIII. Selanjutnya mencari tahu latar belakang Van Leur lalu mulai memikirkan historiografi Indonesia dewasa ini, terkait dengan periode abad XVIII.
Kita mulai dari VOC yang dibentuk tanggal 20 Maret 1602. Mengutip tulisan Vincent Houben dalam Bambang Purwanto, Gagalnya Historiografi Indonesiasentris?, VOC adalah “organissati van kooplieden was weliswaar een handelsorganisatie, maar van de Staten-Generaal in de Republiek kreeg zij belangrijke bevoegdheden. Naast het monopolie op de vaart ten oosten van de Kaap de Goede Hoop mocht zij in soevereine rechten uitoefenen, dat wil zeggen: zelfstandig verdragen sluiten een oorlog vooren. Daarmee kreeg de VOC een dubbel karakter. Enerzijd vormde zin binnen Azie een maritieme staat met eigen soevereine karakter”.
Kutipan itu, tulis Bambang Purwanto, menunjukkan dualisme VOC, yakni perdagangan dan kekuasaan. Lebih lanjut ia menulis, “meminjam bahasa Moh. Ali, VOC adalah negeri Belanda yang berdagang dengan leluasa atau negeri Belanda dengan nama VOC”.
Menyimak kutipan Bambang Purwanto, yang terbayang, kiranya, betapa kuatnya pengaruh yang dimiliki oleh oleh VOC di Nusantara. Namun, sekali lagi, sesungguhnya VOC atau Belanda dalam hal ini, sama sekali bukanlah kekuatan yang berpengaruh dan sama sekali tidak diperhitungkan di Eropa, khususnya Eropa Barat. Tidak salah, jika Francois Gouda kemudian mengumpamakan VOC atau Belanda sebagai Daud yang cerdik diantara para Goliath imperium, karena keberhasilannya merintis imperium di Nusantara—meskipun tidak dapat juga dikatakan bahwa VOC memiliki kekuatan besar di Nusantara.
Setelah memahami sedikit uraian tentang VOC, hal berikutnya yang perlu kita tahu adalah sosok van Leur. Tulisan Jaap Vogel, “A Short Life in History” serta Leonard Blusse dan Femme Gaastra, “The Eighteen Century as Category in Asian History”, kiranya cukup bisa menjadi gambaran awal tentang Van Leur. Terkait tulisan tersebut, satu hal yang saya garis bawahi ialah asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur sebagai awal dari hipotesis sekaligus antitesisnya akan karya Molsbergen.
Setidaknya, ada dua asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur terkait dengan antitesisnya. Pertama, ia menempatkan patrimonial kekuasaan Asia sebagai dasar perpaduan ketertutupan dan kemandirian pada masyarakat pertanian. Kedua, abad XVII, diyakini Van Leur sebagai era kejayaan maritim di Asia. Masyarakat Asia, khususnya Nusantara, kala itu, menurut van Leur sedang giat-giatnya membangun kemaritiman mereka sekaligus menjadikannya sebagai tumpuan mereka menghadapi musuh.
Selain dua asumsi dasar yang dikemukakannya, hal lain yang menarik dari tulisan van Leur ialah kritiknya soal historiografi (Indonesia), baik yang ditulis oleh orang-orang Inggris maupun oleh orang-orang Belanda. Van Leur, sebagaimana dikutip oleh Vogel, sangat menyesalnya tidak digunakannya ilmu filologi, etnografi, arkeologi, dan sejarah kolonial—yang termasuk dalam ranah sejarah Indonesia—dalam penulisan sejarah.
Mencoba menangkap paradigma yang ditawarkan oleh Van Leur, pertanyaan selanjutnya, sudahkah sejarawan kita, saat menulis periode XVIII menggunakan paradigma tersebut atau justru tetap terjebak pada penjelasan kolonial. (Galuh Ambar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!