Sabtu, 31 Desember 2011

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 7

Sejarah Tanpa “S
Membaca artikel Heather Sutherland, “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, ide besar yang terkandung di dalamnya kiranya ialah perlunya menulis sejarah Indonesia di luar canon; di luar narasi sosial atau formal atau lembaga. Dengan demikian, tulisan Sutherland tersebut dapat dikatakan menjadi salah satu pondasi penting sebagai dasar untuk medekonstruksikan sejarah lalu merekonstruksinya.
Sejujurnya, saya ingin menghadirkan kembali artikel Sutherland. Akan tetapi, hal itu tidak saya lakukan dengan pertimbangan bahwa saya tidak ingin mengulang apa yang sudah dikemukakannya. Sebagai gantinya, saya mencoba untuk menghadirkan letupan-letupan kecil hasil pembacaan saya atas karya tersebut.
Tentunya, bukan pekerjaan mudah bagi saya untuk menghadirkan letupan-letupan yang saya miliki. Rincian, kelengkapan, dan koherensi kiranya menjadi tiga masalah yang menghadang. Oleh sebab itu, untuk menyiasati kendala tersebut, saya mencoba untuk menghadirkannya melalui pon-poin terperinci.
1.    Sejarah merupakan historiografi
Definisi sejarah sebagai historiografi kiranya merupakan simplifikasi atas pernyataan Sutherland; “sejarah merupakan catatan atau narasi masa lalu”. Dari pernyataan Sutherland itu, ada pertanyaan yang kiranya menarik untuk kita renungkan, yakni narasi apa yang semestinya kita rumuskan, kita susun, dan kita hadirkan. Dengan demikian, kita pun harus turut mempertimbangkan pula aktor di balik penyusunan suatu narasi sejarah, berikut untuk siapa narasi tersebut dirumuskan, disusun, dan dihadirkan. Dengan kacamata seperti ini, kiranya juga kita dapat meninjau narasi dalam sejarah nasional kita dan pentingnya untuk mendekonstruksinya.
Masih soal narasi, penting juga kita pikirkan tentang bentuk narasi yang kiranya mudah diterima oleh para pembacanya. Terkait dengan hal ini, kiranya kita pun turut mempertimbangkan wacana pendekatan sastra dalam sejarah. Saya pribadi menilai, pendekatan sastra dalam sejarah sebenarnya bukanlah suatu hal yang salah. Saya kira, persoalan mendasarnya “hanyalah” bagaimana kita tetap meletakkan metodologi sejarah dengan cara penulisan seperti itu.

2.   Sejarah adalah apa yang tidak terjadi
Jamak, kita sering mendefinisikan bahwa sejarah sebagai apa yang terjadi. Mengutip Sutherland, “ sejarah adalah apa yang terjadi menurut kata kita dan apa yang sebenarnya terjadi”. Hampir-hampir kita tidak pernah menyatakan bahwa sejarah merupakan apa yang juga tidak terjadi. Sehubungan dengan dua hal ini, pernyataan Sutherland tentang kemungkinan dalam sejarah saya kira sangat menarik dan saya membayangkan jika hal tersebut dijadikan sebagai asumsi dasar untuk menulis, saya kira, historiografi kita akan berubah secara drastis dan tentu saja lebih semarak karena tidak hanya menyajikan narasi tunggal.
Sebagai contoh, jika sejarah kita dibangun atas dasar rezim yang berkuasa, kiranya  menarik mencermati salah satu penggalan sejarah dalam rezim Sukarno. Sehubungan dengan hal tersebut, hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi dan dapat kita bangun sebagai narasi baru misalnya hubungan Sukarno dengan Sjahrir. Pertanyaan-pernyaan yang dapat kita ajukan contohnya: (a)  jika tidak Sutan Sjahrir, mungkinkah Sukarno menjadi pemimpin?; (b) jika Sjahrir tidak membela Sukarno, mungkinkan Sukarno diterima oleh gerakan muda?; (c) jika Sjahrir tidak menyatakan pola perjuangannya dan Sukarno, mungkinkah ada Sukarno dalam historiografi Indonesia sesudah periode 1945?; dan sebagainya.

3.   Paradigma sejarah
Sutherland dalam tulisannya menyatakan bahwa dalam meneliti dan menganalisis suatu peristiwa,  hendaknya para sejarawan memiliki paradigma atau kerangka berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn. Menyikapi pertanyaan tersebut, saya kira Sutherland masih abstrak mendefinisikan paradigma seperti apakah yang perlu kita miliki miliki sebagai sejarawan. Menurut saya, pernyataan Sutherland itu seabstrak definisi paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn.
Menyikapi hal tersebut, saya mencoba mendekati paradigma yang dikemukakan oleh Sutherland dengan definisi paradigma yang dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa—Putra. Paradigma, mengutip Ahimsa, “merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan/atau maslah yang dihadapi” (Ahimsa, 2009: 2). Masih menurut Ahimsa, dari definisi yang seperti itu, paradigma tersusun atas sembilan unsur, yakni: asumsi dasar, nilai-nilai, masalah-masalah yang diteliti, model, konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis atau teori; serta representrasi.
Pertama, asumsi dasar. Sehubungan dengan hal ini, kiranya kita perlu mengakui bahwa seringkali asumsi dasar yang dikemukakan oleh para sejarawan kita lemah bahkan sangat lemah. Kelemahan ini, antara lain dapat disimak dari dasar teori yang dipakai. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Ahimsa, ada kecenderungan dari para peneliti untuk tidak menyatakan asumsi dasarnya untuk menghindari kritik—misalnya kritik dari pembacanya. Akan tetapi, untuk historiografi, saya kira, bagaimanapun sejarawan harus menyatakan asumsi dasarnya secara eksplisit demi kemajuan historiografi itu sendiri.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti keseluruhan paradigma yang semestinya dipakai dalam penelitian sejarah demi menghindari tulisan yang panjang. Akan tetapi, saya kira, selain asumsi dasar dan teori, unsur yang penting untuk disoroti adalah soal unsur metode penelitian. Sehubungan dengan unsur tersebut, Ahimsa menulis bahwa sebelum menentukan metode yang digunakan terlebih dahulu seorang peneliti harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu realita, fakta, dan data (hlm. 15). Saya kira, jika diperas lagi, ide dasar ketiga hal itu dalam sejarah adalah persoalan subjektivitas sejarawan serta tinjauan ulang pernyataan “no document no history”. Sehubungan dengan poin pertama, saya kira ide pentingnya adalah meletakkan realita, fakta, dan sejarah baru dari hasil pemikiran seorang sejarawan. Sementara itu, untuk poin kedua, saya kira hal itu lebih pada ajakan pada sejarawan untuk membuka mata bahwa banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan. Tidak semata-mata arsip, melainkan bisa juga, teks atau foto dalam majalah atau surat kabar, memoar... bahkan gaya hidup seperti jenis pakaian yang dikenakan pun bisa dijadikan data.

4.  Sejarah dan politik
Suka tidak suka, sejarah yang kita miliki adalah sejarah politik. Begitu dangkalnya pemahaman itu, sampai-sampai ada lelucon yang saya kira sangat kering namun mewakili pemahaman itu, “untuk menjadi pahlawan dan dicatat dalam tinta emas sejarah Indonesia, jadilah politikus atau tentara. Jika mati, bisa saja dikuburkan di taman makam pahlawan. Lain halnya jika menjadi tokoh pendidikan, sebesar apapun jasa, jika mati tetap dimakamkan di taman (pe)makam(an) umum. Persolan sekarang yang harus pikirkan adalah bagaimana membangun sejarah nonpolitik dan memperkaya sejarah dengan tema-tema lain. Oleh karenanya, penting kiranya mewujuhkan sejarah tanpa “S” atau “Sejarah” atau sejarah nonformal atau nonlembaga atau nonnegara.

5.   Sejarah lokal
Saya kira, usulan Sutherland dalam tulisannya soal pentingnya membangun sejarah lokal sangat menarik dan perlu digalakkan. Pasalnya, sejarah lokal saya kira cukup menjadi solusi untuk menambah warna sejarah atas dominasi sejarah nasional yang kering dan tidak lebih dari generalisasi-generalisasi atas banyak realitas sejarah yang terjadi di banyak tempat di Indonesia.
Persolan utama ketika kita merintis sejarah lokal saya kira adalah soal etnosentrisme atau romantisme daerah yang bisa saja muncul dalam historiografi. Sebagai contoh, salah satu kecenderungan yang muncul saat ini adalah pola-pola dimana suatu daerah menolak periodesasi yang disodorkan oleh negara dan menarik garis sejarah jauh ke belakang, bahkan sebelum negara dibentuk, dan mengkaitkannya dengan kebesaran suatu pemerintahan. Seolah, tidak ada hubungan antara daerah dan negara atau daerah terlepas dari negara.

6.  Eropasentrisme
Sehubungan dengan poin keenam ini, saya ingin menyoroti sudut pandang eropasentris dan membandingkannya dengan indonesiasentris yang berlaku saat ini. Suka tidak suka, saya kira baik eropasentris maupun indonesiasentris adalah dua hal yang sama dan tidak ada bedanya sama sekali. Dengan demikian, bagaimanapun kita menyatakan bahwa historiografi kita sekarang ini adalah indonesiasentris, saya melihat tidak ada yang berubah dari genre historiografi sebelumnya. Asumsi dasarnya antara lain dapat disimak dari kosakata pahlawan atau pemberontak atau si jahat; jika zaman kolonial meletakkan Indonesia sebagai aktor jahat maka kini di masa Indonesia, koloniallah si aktor jahatnya. Saya kira, pembolak-balikan seperti ini belum bisa menjawab esensi indonesiasentris.

7.   Ketuhanan dalam historiografi Indonesia
Sehubungan dengan poin ini, saya ingin menyoroti pernyataan Sutherland soal modernitas dalam historiografi yang ditandai dengan penghilangan asas ketuhanan. Saya ingin mendiskusikan bahwa benarkah historiografi kita menghilangkan asas atau prinsip-prinsip ketuhanan itu? Faktanya, saya melihat bahwa ketuhanan hadir dengan begitu ambigu dalam historiografi Indonesia sekarang ini yang kita sebut sebagai historiografi modern. Salah satu contohnya, historiografi tidak pernah menyinggung ambivalensi sila pertama dan kelima dasar negara kita—pancasila saya kira juga merupakan salah satu bentuk historiografi. Lebih dari itu, historiografi kita belum jelas mendudukkan status negara Indonesia—kita ingat bahwa Indonesia bukankah negara agama dan bukan juga negara sekuler, melainkan negara pancasila. Pertanyaan saya, berapa nyawa telah melayang dan namanya kita catat demi menegakkan asas ketuhanan? Jika demikian, dari realitas-realitas sejarah yang kita miliki, bukankah agama atau ketuhanan dalam konteks keindonesiaan tidak lain merupakan salah satu bentuk fasisme? Pertanyaan saya lagi, mampukah historiografi kita menarasikan fasisme tersebut? Mampu jugakah historiografi Indonesia mendekonstruksi pemahaman soal agama—pancasila—sekuleritas?

8.  Kedudukan memori dalam sejarah sejarah
Dalam sejarah yang didasarkan atas canon, saya kira memori merupakan hal yang sangat tabu. Akan tetapi, dari pembacaan atas tulisan Sutherland tentang proses mengingat dan melupakan, saya kira kita perlu mendudukkan pendekatan ini dalam menyusun historiografi kita. Sehubungan dengan ini, kiranya kita pun perlu mendudukan memori sebagai bagian dari mentifect yang secara tidak langsung merupakan fakta psikologis.

9.       Aktor nonnegara
Sehubungan dengan poin ini, saya ingin mengulang pernyataan Bambang Purwanto dalam buku yang sama dengan artikel Sutherland. Mengutip Bambang, sudah saatnya bagi kita para sejarawan untuk menulis sejarah nonnegara. Dengan demikian, masih menurut Bambang, kiranya penting bagi kita untuk menulis sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari.
Saya kira, penulisan sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari tidak semata-mata mempersoalkan aktor, data, namun juga ragam tulisan. Saya kira pula, pendekatan tersebut mampu menangkap psikologi sebenarnya dari sebuah negara. Sebab, saya kira, psikologi  suatu negara itu bukan kita peroleh dari sejarah nasional melainkan masing-masing pribadi. Dengan demikian, setiap orang pun memiliki sejarah. Manfaat lain, kalau saja kita menggunakan pendekatan seperti itu, kiranya juga analisis kita jauh lebih mendalam dan tentu saja saja jauh lebih kaya.

10.   Proyek besar sejarah
Dari tulisan Sutherland dan poin-poin yang saya susun itu, kesimpulan saya, suka tidak suka, historiografi Indonesia harus diubah, dalam bahasa Bambang Purwanto, historiografi Indonesia harus didekonstruksi ulang. Semuanya! Oleh karenanya, saya membayangkan akan ada proyek besar-besaran di Indonesia dalam merumuskan kembali sejarah, terutama sejarah nasional. Jika hal tersebut benar dilakukan, saya membayangkan paling tidak dalam satu dekade akan terjadi kekacauan dalam penyusunannya. Saya membayangnya, banyak pihak akan bertikai soal siapakah yang berperan atau menjadi aktor dalam sejarah atau meminjam kosakata Gerry van Klinken, “mengakukan sejarah”.

11.     Otoritas sejarawan
Saya kira, poin terakhir ini merupakan “angin penghibur” bagi sejarawan, terutama sejarawan muda dalam merumuskan dan menulis narasi sejarah. Pernyataan Sutherland soal otoritas sejarawan saya kira merupakan ungkapan kebebasan yang ditujukan pada mereka untuk menulis sejarah dengan cara masing-masing. Dengan kata lain, dari bermacam-macam teori atau pendekatan atau padigma dalam sejarah, dari model sastra atau ilmiah, mereka—dan tentu saja kita—dibebaskan untuk menulis dengan pendekatan yang kita anggap benar. Selama, tidak keluar dari metodologi sejarah yang wajib kita pegang. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!