Sabtu, 31 Desember 2011

Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 7

Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan?


Masa lalu itu banyak ragamnya sehingga mereka tidak dapat mengatakan bahwa prosedur penelitiannya dapat diulang. Tafsir-tafsir yang berbeda atas bahan yang sama dapat melahirkan tafsir-tafsir tandingan. Akan tetapi, ini tidak mengakibatkan ada tafsir yang didiskualifikasi atau tidak memenuhi syarat.”[1]

Wilhelm Dilthey adalah salah satu tokoh filsafat dan sejarah yang sebenarnya sudah mencoba untuk memisahkan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusian. Maksuda dia memisahkan kedua ilmu itu bukan berarti untuk menunjukkan bahwa ilmu-ilmu kemanusian tidak bisa mencapai derajat sains, tetapi memang antara ilmu-ilmu kemanusian dan ilmu-ilmu kealaman mempunyai jalan dan penyelesaian masing-masing.
Menurut Dilthey, ilmu-ilmu kemanusian objek penelitiannya adalah manusia. Sebagaimana kita ketahui, manusia itu bersifat nonrepetitive (berubah-ubah, tidak mengalami pengulangan). Banyak hal yang ada di dalam batin manusia yang tidak bisa diterangkan oleh nalar ilmu pasti seperti; semangat, hasrat, sedih-senang dll. Lain halnya dengan alam yang bersifat repetitive (tetap), yang kejadiannya berulang-ulang secara terus menerus dan memungkinkan diterangkan dengan nalar ilmu pasti. Oleh karena itu, kita perlu membedakan metodologi antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu kealaman. Di mana paradigma ilmu-ilmu kealaman adalah menjelaskan (Erklaren), sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan paradigmanya bersumber dari pemahaman (Verstehen).[2]
            Sejarah yang juga masuk dalam rumpun ilmu-ilmu kemanusian (sosial-humanoira) sampai saat ini masih dianggap bukan bagian dari ilmu pengetahuan. Sejarah tidak mempunyai teori baku (spekulatif), tidak bersifat universal (bisa dimanfaatkan dalam segala situasi), dan hasil penelitiannya pun selalu multitafsir bukan general. Oleh karena itu akhirnya pada abad ke-19, Lepold von Ranke mencoba untuk membuat sejarah menjadi ilmiah. Ia menggagas sebuah metodologi sejarah yang akan menuntun sejarawan lebih objektif saat melakukan penelitian. Tapi akhirnya keinginan Ranke itu tetap tidak bisa membuat perubahan bahwa sejarah, bagaimana pun caranya, melekat pada subjektivitas.
            Satu hal yang perlu diketahui―dan ini tidak dimiliki oleh pengetahuan mana pun ―bahwa sejarah itu bersifat unik, hanya terjadi satu kali dan tidak bisa diulang. Oleh karena itu, orang yang ingin memahami suatu peristiwa masa lampau hanya bisa melirik ke belakang melalui teropong waktu. Persoalannya jenis teropong apa yang akan kita pakai untuk melihat masa lalu itu. Semakin bagus teropong yang kita pakai maka hasil penglihatan terhadap masa lalu itu pun akan semakin baik dan jelas. Sehingga terlihat sudah sejarah itu identik dengan perangkat yang akan kita pakai dalam memahami masa lalu, bukan memaksakannya pada kaidah seperti sains umumnya.
           


[1] Heather Sutherland, Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah, dalam Perspektif Baru Dalam Penulisan Sejarah, editor Henk Schulte dkk, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm 52
[2] Lihat Patrick Gardiner, Theories of History, (New York: The Free Press, 1959), hlm. 221-225

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!