Minggu, 18 Maret 2012

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 9

Sejarah Nasional  Indonesia Di Mata Tiga Indonesianis

Wajar kiranya bagi bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menggagas dan menuliskan sejarahnya yang baru. Selain untuk mengurangi peran sejarawan kolonial, penulisan sejarah baru penting  untuk menekankan budaya lokal, tradisi, dan sejarah lokal”— Jusuf M. van der Kroef.

Dua belas tahun pertama kemerdekaan, sebuah narasi tentang sejarah baru Indonesia akhirnya terbentuk. Moh. Yamin, tercatat sebagai penggagasnya.
Sayangnya, tidak semua orang sepaham dengan narasi sejarah yang digagas dan diwariskan oleh Yamin. Salah satunya adalah Kroef. Ia menyatakan,  “wajar kiranya bagi bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menggagas dan menuliskan sejarahnya yang baru. Selain untuk mengurangi peran sejarawan kolonial, penulisan sejarah baru penting  untuk menekankan budaya lokal, tradisi, dan sejarah lokal”. Namun, lanjut Kroef, alih-alih menerapkan asas atau prinsip sejarah, narasi sejarah baru justru dipolitisasi. Diantaranya, dengan memunculkan mitos penjajahan tiga abad, mengunggulkan kejayaan Majapahit, serta mengurangi bahkan sering kali menghapus peran kolonial. Sehubungan dengan hal itu, lewat artikelnya, ia pun mengajak para pembacanya untuk merenungkan kembali gagasan indonesiasentris yang digagas oleh tiga indonesianis, yakni dari J.C. van Leur, C.C. Berg, dan G.J. Resink.

Van Leur
Van Leur, sebagaimana kita tahu adalah seorang Indonesianis. Bahkan, dalam diskusi beberapa minggu lalu, sempat dibicarakan bersama bahwa van Leur-lah bapak sejarah Indonesia, sama sekali bukan Sartono Kartodirdjo. Salah satu pemikirannya yang terkenal ialah cara pandang kolonial terhadap penulisan sejarah Indonesia. “Melihat sejarah dari geladak kapal, dari balik tembok benteng, dan menara loji”, barangkali adalah ide van Leur yang paling acap kita dengar.
Selain itu, ide yang diambil oleh van Leur ialah bahwa baik Belanda maupun orang Indonesia memiliki kedudukan yang sama. Ide itu antara lain lahir dari asumsi dasar bahwa abad XVII-XVIII merupakan kemajuan maritim Indonesia.
Tidak ketinggalan, Kroef pun dalam tulisannya juga menyinggung peran van Leur sebagai seorang Weberian. Dengan kata lain, sebagai penganut paham Weber, ia pun memandang Indonesia dalam katagori-katagori. Misalnya, kota, pekerja, brahmana.
Salah satu contoh pemikiran Van Leur yang diaplikasi oleh Kroef adalah pemikirannya tentang akulturasi Hindu Budha di Indonesia. Dengan demikian, kata van Leur, munculnya Hindhu Budha itu bukan karena peran para brahmana, melainkan juga dari hubungan timbal balik antara orang-orang Indonesia dengan brahmana, pedagang, ataupun golongan lain yang beragama itu.

Berg
Terkait dengan tulisan Berg, Kroef menyoroti kesangsian Berg akan pendekatan sejarah baru didasarkan atas sumber-sumber tradisional, khususnya Babad. Menurut Berg, historiografi atas beberapa atau banyak orang membutuhkan salah satu pola, baik dalam struktural maupun evolusioner dan cara pandang dinamis yang terpisah satu sama lain. Kedua, catat Berg, bahwa sebelum ia, tidak ada seorang pun yang mau melihat karya babad dalam konteks waktu kekinian. Dengan kata lain, babad selalu saja post factum. Ketiga, Berg memandang babad sebagai suatu fenomena falsafah Jawa.
Dari ketiga alasan itu, Berg pun lantas berkesimpulan bahwa bahwa sumber-sumber kuno, genealogis, asal-usul dinasti, kronik perang, seperti Pararaton dan Negara Kertagama atau Babad Tanah Jawi harus dihargai sebagai ekspresi “verbal magis” (mantra atau pemujaan?) yang ditulis oleh para pujangga, demi melegitimasi kekuasaan raja serta cara untuk menjelaskan pendekatan kekuatan transedental dalam perubahan struktur kekuatan dan munculnya dinasti baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh sebab itu, kata Berg, “babad merupakan realitas pemahaman kosmologi tradisional”.
Terkait dengan sejarah nasional yang disusun dalam Seminar Sejarah Nasional Indonesia I, Kroef pun mengajukan keberatannya yang didasarkan oleh kritik yang dilakukan oleh Berg. Membaca sejarah nasional Indonesia, kata Kroef seolah semua sudah ditakdirkan: kejatuhan Majapahit merupakan awal kedatangan Islam dan kedatangan Belanda pada abad XVI merupakan pergantian era baru dari mitos itu dan berganti dengan era kritenisasi. Di situ, Kroef menunjukkan hal yang dikritik oleh Berg bahwa seolah tidak ada interaksi masing-masing era sejarah itu. Seolah Indonesia, sepenangkapan saya dari Kroef, sejarah nasional Indonesia pun menjadi  tersekat-sekat oleh periodisasi. Parahnya, keberadaan elemen penting abad XVIII, yakni Mataram, East Indian Company (EIC)—kongsi dagang Belanda (sic!)—dan Islam dilihat dari reinkarnasi Majapahit, Champa, dan Melayu.
Lalu terkait dengan Majapahit itu sendiri, Kroef, mengutip pendapat Berg menyatakan bahwa batas-batas Majapahit yang disusun oleh Prapanca tidak cukup fakta untuk dikatakan sebagai sejarah politik dan sekaligus hanya sebatas refleksi nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, masih terkait dengan batas Majapahit. Batas-batas Majapahit sendiri, kata Berg berasal dari babad atau sumber-sumber kuno. Padahal, kata Berg, sumber-sumber itu, tidak dapat dipercaya. Selain tidak menjelaskan waktu, juga rusak, meninggalkan kebingungan, dan terpenting fiktif.
Terkait dengan kefiktifan tokoh maupun tempat dalam sumber-sumber tradisional, Berg mencontohkan sosok Panembahan Senopati. Panembahan senopati, kata Berg, merupakan tokoh fiksi, ia hanya ada untuk legitimasi generasi saat babad itu dibuat; menunjukkan bahwa ia atau mereka berasal dari keluarga terkemuka.

Resink
Teori Resink, dipakai oleh Kroef, kiranya untuk menjelaskan mitos penjajahan selama tiga abad. Dari tulisan-tulisan Resink, terungkap bahwa tiga abad pendudukan Belanda merupakan gambaran yang menyesatkan sekaligus isapan jempol belaka. Pasalnya, kata Kroef mengutip Berg, Indonesia sendiri terdiri atas beribu-ribu pulau, negara-negara kecil, dan sistem administrasi sendiri-sendiri. Dari hasil data militer dan politik, Resink menemukakan bahwa penaklukkan di Indonesia tidak berlangsung dalam waktu yang bersamaan. Selain Jawa, negara-negara (baca: pulau) lain di Indonesia baru bisa ditaklukkan pada awal abad XIX, bahkan tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Sumba misalnya, baru ditaklukkan Belanda pada tahun 1910 dan Bali pada tahun 1908.
Selain Itu, ide Resink lainnya ialah soal partisipasi orang-orang Indonesia dalam hubungan diplomatik, misalnya dengan perjanjian atau kontrak perkawinan, penyeledupan senjata, konsesi pertambangan. Meskipun begitu, terkait dengan pemikiran Resink, Kroef menyatakan bahwa ide Resink itu terlalu menyederhahanakan masalah dan terlalu menekankan permasalahan terkait dengan kkontrak-kontrak yang dilakukan oleh pribumi.

Intepretasi
Membaca tulisan Kroef, tampak bahwa ada kesalahan besar dalam narasi sejarah nasional Indonesia. Selain terlalu jawasentris, historiografi Indonesia juga terlalu indonesiasentris. Jika mulanya peran Indonesia dikecilkan atau dihapus, seiring dengan kemerdekaan, situasi berbalik. Karena masalah politis, peran kolonial dikecilkan dan selalu dicitrakan buruk. Padahal, jika mengutip pendapat van Leur, Berg, maupun Resink tampak bahwa baik Kolonial maupun Indonesia memiliki hubungan yang seimbang.
Selanjutnya, dari keseluruhan artikel yang menarik ini, saya ingin mempertanyaan dua hal. Pertama, tentang tulisan Berg. Kalau ditinjau dari antitesis untuk mendudukan bahwa kesalahan besar narasi sejarah nasional Indonesia ialah menyamakan Indonesia dengan majapahit dan berorientasi pada kejayaan Majapahit, saya kira relevan. Akan tetapi, jika dilihat dari kefiktifan sumber-sumber tradisional, dalam hal ini babad, saya kurang tepat. Pasalnya, kita harus melacak dari historiositasnya.
Lalu, berlanjut ke masalah penting kedua, yakni ide yang ditawarkan oleh Resink. Kroef, mengatakan bahwa kontrak kerjasama yang dilakukan oleh Resink terlalu ambigu dan terkesan terlalu melebih-lebihkan. Saya kira Kroef lupa, bahwa sekalipun suatu kerajaan berada di bawah kekuasaan, mereka mempunyai hukum sendiri. Hukum tawan karang ynag ada di Bali, misaknya, saya kira, pada waktu zamannya maserupakan hukum positif.
Terakhir, saya menyebut ini sebagai sebuah kekonyolan Kroef. Ada empat hal konyol sekaligus yang disebut Kroef dalam tulisannya. Pertama, ia menulis bahwa Djogjakarta merupakan wilayah yang terdapat di Jawa Tengah. Kedua, Ia menyebut kongsi dagang, baik yang dimiliki oleh Belanda maupun Inggris sebagai EIC. Padahal, kita tahu bersama bahwa bahwa milik Belanda disebut sebagai Vereeniding Oost Indische Company. Ketiga, kita membaca bahwa Moh. Yamin merupakan putra Jawa, oleh sebab itu, wajar jika ia mengagung-agungkan jawasentris. Keempat, Kroef menyatakan bahwa Jawa merupakan pulau terbesar di Indonesia. Untuk konteks tahun 1958, dengan bentuk negara kesatuan, rasanya ppernyataan Kroef itu sangat konyol.
Tinjauan saya terakhir, dalam tulisannya, Kroef menyinggung soal sejarah nasional Indonesia yang jawasentris. Tentunya, sangat disayangkan, Kroef tidak menyinggung konstelasi politik dan sosial masyarakat di tahun ia menulis karyanya. Sebab, nantinya tampak ada perbedaan yang besar antara Yamin dengan Soedjatmoko—yang kiranya pendapatnya merupakan bentuk ideal sejarah yang diyakini masyarakat kini. Lalu, ia tidak melacak latar belakang Yamin. Kiranya, dari pembacaan saya pribadi sungguh menarik mengapa Yamin yang berasal dari Sumatera justru mengemukakan ide Jawasentris. Pemakluman karena menyebut asal Yamin saja salah?

(Tulisan ini merupakan review atas On The Writing of Indonesian Historiografi karya Jusuf M. van der Kroef dalam Pacific Affairs, vol. 31, No. 4. Des., 1958, hlm. 352-371)

Tugas Review Historiografi Yuli Astriyani 7

Review Artikle : Jerry H. Bentley
Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History

Seperti angin yang mengalir tanpa henti di atas bukit, lembah, dan lautan, sejarah terus menerus bergerak di dalam waktu. Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiran-pemikiran muncul, kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya. Dan sejarawan ingin membuat waktu yang terus menerus bergerak tanpa henti itu menjadi dapat dipahami dengan membaginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat, dalam babak-babak, dalam periode-periode. Dengan kata lain sejarawan melakukan klarifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodesasi.[1]
Tiap masyarakat memiliki pandangan yang relative berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Contohnya: masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang berulang tanpa akhir.
            Dalam menentukan periodesasi dalam sejarah dunia, Jerry menekankan pada masalah interaksi budaya melalui tiga hal yaitu melalui: migrasi massa, ekspansi kekuasaan dan perdagangan sehingga dapat menggambarkan sejarah kuno masyarakat di dunia melalui interaksi tersebut. Jerry mencoba mengarahkan pembacanya untuk membuat periodesasi menuju satu sejarah dunia. Lalu apa manfaatnya bagi sejarah Indonesia? Penjelasan mengenai konsep periodesasi dalam sejarah di Indonesia juga beragam, pembahasan mengenai periodesasi sejarah di Indonesia sudah dimulai pada Seminar Sejarah tahun 1957 di Yogyakarta.
Periodesasi yang di kemukakan oleh Moh. Yamin adalah: masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, masa sesudah penjajahan. Periodesasi yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo adalah yang menggunakan proses integrasi dengan faktor ekonomi sebagai pendorong, sebagai pokok tujuan. Pada dasar asasnya struktur periodesasi Sartono menyerupai pola umum periodesasi tradisional.[2] Hal ini menunjukan bahwa di Indonesia sampai dengan saat ini belum ada suatu periodesasi yang jelas untuk menggambarkan sejarah Indonesia secara ilmiah mengenai pengertian-pengertian seputar penjajahan, Indonesia dan Indonesiasentris.
            Tradisi ilmiah mengenai penulisan sejarah melalui norma-norma ilmiah Barat masih belum banyak ditulis, jurusan sejarah dan fakultas-fakultas di Indonesia belum dapat memberikan pendidikan ilmiah khusus untuk membentuk sejarawan yang sanggup memulai dengan pendirian suatu usaha ilmiah kearah penyelidikan dan penulisan sejarah Indonesia pada suatu peralihan yang penting dalam proses sejarah. Perodesasi yang digunakan masih mengikuti pola-pola lama yang sudah ada sebelumnya. Mungkin kesulitan ini karena di Indonesia mengalami proses akulturasi yang pesat membuat corak penulisan sejarah Indonesia kelihatan menjadi tidak jelas sehingga peralihan dari tradisi historiografi daerah melalui tradisi historiografi Barat kearah tradisi ilmiah baru belum dapat terjadi karena pandangan kosmosentris tidak mungkin berubah menjadi antroposentris dengan begitu saja. (N. Berdayayev, The Beginning and The End, 1957, hlm. 115 dst).
            Menurut Kuntowijoyo periodesasi bukanlah tutup layar atau buka layar, tetapi ada perbedaan perkembangan aspek sejarah, dan ada discontinuity dan continuity. Sejarah Indonesia pun dapat pula dibagi kedalam tiga bagian yaitu prasejarah, Hindu-Budha, dan Modern. Periodesasi dalam historiografi Indonesia semula bersifat konvensional - Preasejarah, Kuno (Indianisasi), Tengah (Islamisasi), Modern (Pembaratan) - baik diseluruh atau hanya satu periode. Tradisi konvensional terdapat diantara buku kolektif Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Masalah periodesasi panjang ini mendapat pemahaman baru melalui beberapa buku antaralaian yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia : Dari Emporium Sampai Imperium, buku Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya. Keduanya dengan jelas menghadirkan mazhab Annales dengan periodesasi Braudel (Structure, conjuncture, events), dan tulisan dari Adrian B. Lapian, Nusantara Silang Budaya dalam buku panggung sejarah persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard.[3]


[1] Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta : Tiara Wacana, Februari 2008), hlm., 19.
[2] Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Yogyakarta : LKiS), hlm. 314-315
[3] Op. cit., hlm. 27-28

Tugas Review Historiografi Yuli Astriyani 6

Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah oleh Heather Sutherland

Heather Sutherland dalam tulisannya mencoba membahas tentang bagaimana sejarawan menulis sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Dimensi yang dibahas dalam hal ini adalah Dia memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan teoritis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Masalah-masalah berkisar pada hal-hal yang bersifat filosofis (apa itu kebenaran?) hingga hal-hal yang praktis (bagaimana kita dapat melukiskan suatu masyarakat dengan menggunakan konsep-konsep yang dikembangkan dalam masyarakat yang lain?) selain itu Sutherland juga menekankan akan pentingnya otoritas (authority) dalam hal ini otoritas menurut Sutherland adalah bagaimana kita mengetahui bahwa sebuah uraian mengenai masa lalu lebih patut dipercaya daripada uraian yang lainnya? Hal semacam ini dapat menimbulkan perdebatan intelektual yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial.
Kritik Sutherland untuk para sejarawan adalah seharusnya sejarawan perlu menyelidiki bagaimana sejarah tercipta dalam konteks teori dan politik yang lebih luas oleh karena itu sejarawan harus menguji mengenai sejarah penulisan sejarah. Karena sejarah sangat erat kaitannya dengan legitimasi Negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya sehingga mudah untuk diselewengkan oleh penguasa. Aspek-aspek yang dibahas oleh Sutherland yakni Eroprasentrisme dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pasca kolonial.
Pada bagian awal tulisannya Sutherland membuka wacana dengan memberi definisi mengenai beragam arti sejarah, Sutherland mendefinisikan sejarah yang dilontarkan menurut Ibn Khaldun yaitu, pertama, sejarah ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun, elemen-elemen dari masa lalu kita pilih dan kita beri peran tertentu untuk menjelaskan dunia tempat hidup kita sekarang. Kedua, sejarah adalah keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Menurutnya masalah historiografi ialah persoalan bagaimana mengatasi kontradiksi yang tidak terelakan antara narasi terfokus ciptaan kita (sejarah sebagai catatan) dan kekacauan masa lalu (sejarah sebagai kejadian). Sutherland selanjutkan menjelaskan mengenai definisi sejarah menurut Oxford sehingga membuat banyak penulisan sejarah yang berubah. Setelah munculnya definisi sejarah ini sejarawan dipaksa untuk bertanya mengapa mereka menetapkan pilihan-pilihannya. Mengapa setiap sejarawan  memberikan makna tertentu kepada suatu kejadian tertentu, padahal kejadian itu dapat saja memiliki berbagai arti dalam berbagai konteks? Oleh karena itu untuk memjawab beragam pertanyaan ini Sutherland menharuskan kita sebagai calon sejarawan untuk menguji dan mempelajari mengenai sejarah penulisan sejarah agar kita dapat memahami kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang mempengaruhi perkembangan historiografi
 Sutherland menyadarkan kepada kita bahwa satu-satunya bentuk ‘sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang Dia namakan dengan Modern Professional History atau Sejarah Profesional Modern (SPM). SPM mencapai bentuknya yang khas di Eropa pada abad ke-19. Topik maupun metodenya mencerminkan kaitan antara ilmu yang baru dengan Negara modern. Dengan struktur Negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. Pada bagian akhirnya Sutherland kembali mempertanyakan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM. Sutherland menganjurkan kepada sejarawan untuk meninggalkan paradigma Eropasentris. Sejarah yang ditulis oleh Sutherland ditentukan oleh budaya seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya mengenai silang budaya sebagai periodesasi dalam sejarah akan menghasilkan sejarah diluar narasi besar.
Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa untuk dapat memahami sejarah dari setiap generasi pada masanya maka kita harus meninjau dan memperdalam pemahaman sejarah dari penulisan sejarah yang pernah ada baik dari sejarah penulisan yang dalam historiogarfi Indonesia dan historiografi Eropa bahkan historiografi yang berkembang di dunia. Kita harus belajar mengidentifikasi arah kecenderungan dari pemikiran dan penulisan tentang masa lalu di setiap generasi, agar kita dapat memperoleh gambaran dan pola perkembangan historiografi di seluruh dunia sehingga kita dapat menentukan dimana posisi kita dalam proses historiografi dan bisa menentukan arah langkah kita sebagai calon sejarawan untuk memajukan usaha merekonstruksi sejarah Indonesia yang dapat memberikan alternatif diluar narasi besar.

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 8

Tidak Kunjung Selesai, Mau Dibawa kemana Sejarah Nasional Indonesia (?)

Salah satu pengaruh reformasi yang paling terasa dalam historiografi Indonesia adalah munculnya wacana revisi Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Sayangnnya, sejak digulirkan, wacana tersebut sampai kini belum terlaksana. Apa sebabnya?
Belum adanya kesepahamandiantara para sejarawan Indonesia akan periodisasi sejarah Indonesia kiranya menjadi salah satu pemicunya. Walaupun, rumusan akan itu sudah banyak bermunculan. Bahkan, sejak awal penggagasan proyek tersebut. Hal ini antara lain bisa disimak dari pernyataan-pernyataan R. Moh. Ali, Sartono Kartodirdjo, dan Kuntowijoyo.
Mengapa revisi periodisasi penting dalam perumusan SNI yang mulanya disusun berdasarkan pergantian rezim (regime oriented)? Sebagai alternatif jawabannya, kiranya tidak ada salahnya jika kita menyoroti bab III dan IV Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia yang ditulis oleh R. Moh. Ali. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh R. Moh. Ali bahwa periodisasi sangat penting periodisasi merupakan kerangka perumusan narasi besar dalam sejarah nasional. Pasalnya, perumusan sejarah nasional yang sistematis hanya dapat tercapai dengan empat hal, yakni: keyakinan nasional; periodisasi—R.Moh. Ali menyebutnya sebagai babakan waktu—; norma-norma penguji fakta; serta cara penyusunan dan penafsiran fakta.
Lebih dari itu, R. Moh. Ali pun merangkum periodisasi yang umum berlaku dalam historiografi Indonesia. Menyarikan banyak pendapat, ia menggolongkan periodisasi itu menjadi lima katagori yang masing-masing katagori masih ia turunkan lagi dalam beberapa tahap.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin terlalu menyoroti tulisan R.Moh. Ali. Oleh karenanya, masing-masing katagori periodisasi sejarah Indonesia itu dapat disimak secara langsung dalam buku dan bab yang telah saya sebutkan sementara ini bahasan saya fokus pada periodisasi yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini sebagai wacana alternatif perumusan revisi SNI.
Alternatif Periodisasi, Sekali Lagi
Artikel yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini adalah “Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History” karya Jerry H. Bentley, seorang profesor sejarah dari Universitas Hawai yang fokus pada kajian sejarah global dan kekhasan proses dalam interaksi silang budaya. Secara keseluruhan, tulisan Bentley tersebut mengkritisi periodisasi sejarah banyak negara yang menjiplak periodisasi yang berlaku di banyak negara di Eropa. Dengan kata lain, periodisasi sejarah yang berlaku di banyak negara, kata Bentley, adalah masa kuno, masa pertengahan, dan masa modern. Periodisasi yang seperti itu, papar Bently tidak relevan terutama ketika sejarawan menambah cara pandang dan pengujian proses akan garis batas silang sosial dan budaya. Oleh karena itu, ia menawarkan silang budaya sebagai periodisasi dalam sejarah dunia.
Periodisasi yang ditawarkan oleh Bentley didasarkan oleh tiga hal. Ketiga hal tersebut yaitu migrasi massal, ekspansi imperium, dan perdagangan jarak jauh. Dari ketiga hal tersebut, iapun membagi sejarah global menjadi enam periode, yakni: (1) masa awal masyarakat (3000-2o00 SM); (2) zaman peradaban kuno (2000-500 SM); (3) zaman peradaban klasik (500 SM-500 M); (4) peradaban pascaklasik (500-1000 M) era tranregional atau perluasan kerajaan (1000-1500 M), dan (6) zaman modern (1500 M-sekarang).
 Periodisasi yang disusun oleh Bentley menurut saya menarik. Pertama, sejarah global tampak sebagai sebuah generalisasi tanpa memandang keunikan masing-masing subyek sekaligus obyek sejarah. Meskipun didasarkan silang budaya, tidak semua bangsa terlibat secara aktif dalam persilangan itu. Kedua, periodisasi membutuhkan kontektualissai untuk menangkap makna, persamaan, dan perbedaan setiap fase. Misalnya, abad untuk penyebutan masa seratus tahun dan zaman atau era sebagai abstraksi sejarah. Ketiga, periodisasi abad XV sebagai zaman modern. Saya kira, penyebutan ini sama dengan era renaissance sebagai petanda runtuhnya hegemoni keagamaan. Jika demikian, bukankah kurang tepat? Keempat, sehubungan dengan silang budaya maka era modern ini dikaitkan dengan banyak hal, antara lain budaya, teknologi, dan ekonomi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah tarikan abad XV sebagai periodisasi modern yang juga berlaku dalam historiografi modern, sebagaimana dikemukakan oleh M.C. Ricklef. Jika periodisasi merupakan generalisasi dari gejala-gejala yang ditangkap dari satu fase ke fase lainnya maka pertanyaan yang kita ajukan untuk menyatakan Islam sebagai periodisasi modern di Indonesia seputar tanda dan petanda Islam. Jika Islam dipandang dari sisi agama bukankah bisa saja periode tersebut dipandang sebagai hegemoni salah satu agama. Dengan demikian bukankah bisa saja dikatakan sebagai zaman pramodern. Lalu, jika kemodernan itu ditandai dengan melek aksara sebagai buah pendidikan bukankah periode Hindu Budha bisa juga dikatakan modern, ditunjukkan dengan banyaknya sistem pendidikan sangha?
Kembali ke pokok diskusi soal peridisasi dalam sejarah Indonesia. Saya kira, setiap orang bisa menentukan periodisasi. Persoalannya, sejauh manakah bisa menjelaskannya secara logis. Jika dikaitkan dengan revisi SNI yang tidak kunjung selesai dan masih diperdebatkan saya kira persoalan yang selanjutnya harus dipikirkan bersama ialah soal sudut pandang. Sudut pandang yang saya maksudkan ialah perlunya dekonstruksi SNI. Dengan demikian, saya kira, dalam meletakkan periodisasi, sejarawanjuga harus meletakkan realitas masa kolonial. Salah satu realitas kolonial kaitannya dengan periodisasi ialah soal kosakata periode bersiap, sebutan Belanda untuk periode 1946-1947. Kiranya, periode tersebut perlu juga dihadirkan dalam periodisasi Indonesia. 

Tugas Review Historiografi Aisya Habib 8

MENELITI SEJARAH PENULISAN SEJARAH

I.  Ringkasan

Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri
oleh berbagai suku bangsa. Orang bergaira mencarinya. Orang kebanyakan atau orang awam ingin mengatahuinya. Orang yang berpengatahuan dan orang yang kurang berpengetahuan dapat memahaminya. Ini karna di permukaan Sejarah tidak lebih dari pada informasi mengenai peristiwa politik, kerajaan dan kejadiaan pada masa lalu yang disajikan dengan menarik dipihak lain, sejarah dalam arti yang lebih dalam berkaitan dengan renungan dan ikhtiar mencari kebenaran, mencari penjelasan yang secepat mungkin tentang sebab musabab dan asal usul hal-hal yang ada, dan dengan pengatahuan yang dalam tentang kejadian-kejadian dari sisi bagaimana dan mengapanya. Sejarah , karna itu berakar kuat dalam filsafat, oleh karna itu Sejarah patut dijadikan cabang filsafat. (Ibn Khadun 1967). Untuk menjawab bagaimana dan mengapanya? kita perlu menyimak isi artikel yang di paparkan oleh
Heather Sutherland agar lebih jelas lagi dapat diringkas sebagai berikut:
Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Sejarah menurut konsep pertama ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut konsep kedua berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)
Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah semuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama ia mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telah menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya. Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat.
Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra dari pada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.
Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.
Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi belum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global. Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni. Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.
Narasi besar SPM sebagaimana dikatakan diatas, terpusat pada kebangkitan Negara-bangsa dan modernitas. Kedua aspek ini relevan termaksud menyangkut  perdebatan dalam sejarah (pascamodernisme) dan pada bagian kedua ia membahas tentang peranan sejarah dalam Negara pasca colonial. Dalam bagian ketiga tulisan ini juga Heather Sutherland menjelaskan tentang peranan Negara, dia juga menjelaskan tentang modernitas,pada bagian keempat tulisan ini ia menjelaskan tentang bagaimana pengikut posmodernis menimbah dari berbagai bidang ilmu untuk membangun kritik-kritik yang sepesifik terhadap sejarah yang sudah mapan. Pada bagian kelima, ia menjelaskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, peranan teori dan metodologi. Yang meliputi aspek spesifik dan bermasalah dalam analisis sejarah, yakni tipologi dan kategori. Untuk ilustrasi ini ia mengambil contoh dari sejarah Indonesia  akhir dari bagian keenam tulisan ini dia membahas modernitas, tradisi dan berbagai konsep kebudayaan secara umum. Pertanyaan terakhir yang dipertanyakan dalam artikel ini yaitu persoalan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM.

II.  KOMENTAR

Akhir dari tulisan ini, saya mencoba melihat tentang tiga dilema menurut pandangan Heather Sutherland. Masalah yang paling umum dapat dilihat dari perdebatan mengenai pascamodernisme dan disini ia mengmukakan tentang dua hal pertama, analisis apa saja yang berdasarkan logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas-batas yang berguna dan dapat merusak. Analisis dari segi linguistic dan dari segi budaya menghasilkan pemahaman-pemahaman yang memiliki nilai transformasi, tetapi penerapan paling radikal dari analisis linguistic dan budaya tampaknya mandul. Kedua, saya mencoba mengeritik tentang penggunaan kategori Biner secara sederhana, yakni pemisahan antara modernism dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan,antara tekat untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Oleh karena itu ia menilai dirinya sebagai seorang realis yang kritis, dan menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi. sehingga sejarah yang ditulis Heather Sutherland ditentukan oleh budaya, tetapi bukan hanya Eropasentrisme. Ia juga terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia. Seoarang professional yang mencoba menhadapi masalah-masalah yang inheren dalam penulisan sejarah lintas budaya.
Apabila kita menerima bahwa sejarah dikonstruksi oleh budaya dalam konteks dunia mungkin hal ini terkesan akan menyelesaikan persoalan Eropasentrisme, tetapi pandangan ini tidak mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat penggabungan sejarah dengan kekuasaan (Appadurai 2000), kelompok elite yang sekarang seperti yang sudah-sudah, memaksakan pandangan-pandangan tertentu mengenai sejarah dengan cara menolak untuk mengakui sejarah-sejarah alternative. Hal ini sangat memungkinkan tidak akan berubah karna Negara berikhtiar memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Kaum elite akan selalu lebih menyukai, narasi besar dari pada suara-suara dan pandangan-pandangan plural. Pembawaan otoriter ini tidak terbatas hanya pada Negara atau hanya pada barat. Sangat tergantung didalam bidang ekonomi dan persaingan di seluruh dunia yang semakin meningkat akan tercermin dalam perdebatan mengenai sejarah. Tantangan-tantangan yang dilontarkan terhadap narasi besar oleh Barat akan semakin terbuka.
Sejarawan profesonal terkena pengaruh yang tidak mudah dielakan dari klaim-kalim yang saling bersaing dari pihak kelas sosial mereka (elite berpendidikan),pelindung mereka (Negara) rekan mereka (para sejarawan) dan dari orang-orang yang sejarahnya mereka klaim merekalah yang menyusun. Keyakinan itelektual dan politik pribadi membantu menentukan bagaimana mereka memberika rekasi terhadap situasi ini. Namun banyak atau terlalu banyak yang bersedia melakukan penilaian atas masa lalu, tanpa melakukan pengujian penulisan sejarah dan atau menguji bagaimana mereka sendiri dihasilkan oleh keadaan. Menurut pendapat saya bahwa sejarawan hendaknya mencoba mencermin pada masa lalu untuk melihat masa kini, karna kesadaran diri dan profesi sejarah yang kritis sama perlunya seperti pers yang bebas bagi Negara dan masyarakat. Semua gambaran mengenai masa lalu selalu bersifat sementara, tetapi saya percaya bahwa kemampuan yang terus berkembang untuk menyusun sejarah dapat menghasilkan interpretasi yang berharga mengenai masa lalu. Dan perjuangan terus berlalu.
Sejarah Indonesiasentris adalah antitesis dari sejarah Neerlandensentris. Apabila versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sebaliknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama (dan baru). Sementara, dari sisi hal yang ditekankan dan struktur, sebenarnya kedua perspektif sejarah itu sebagian besar identik satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial (Sutherland, 2008:40). Sebagaimana visi Neerlandensentris, visi Indonesiasentris juga mencari legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan.

Minggu, 01 Januari 2012

Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 7

MENELITI SEJARAH PENULISAN SEJARAH

I.  Ringkasan

Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri
oleh berbagai suku bangsa. Orang bergaira mencarinya. Orang kebanyakan atau orang awam ingin mengatahuinya. Orang yang berpengatahuan dan orang yang kurang berpengetahuan dapat memahaminya. Ini karna di permukaan Sejarah tidak lebih dari pada informasi mengenai peristiwa politik, kerajaan dan kejadiaan pada masa lalu yang disajikan dengan menarik dipihak lain, sejarah dalam arti yang lebih dalam berkaitan dengan renungan dan ikhtiar mencari kebenaran, mencari penjelasan yang secepat mungkin tentang sebab musabab dan asal usul hal-hal yang ada, dan dengan pengatahuan yang dalam tentang kejadian-kejadian dari sisi bagaimana dan mengapanya. Sejarah , karna itu berakar kuat dalam filsafat, oleh karna itu Sejarah patut dijadikan cabang filsafat. (Ibn Khadun 1967). Untuk menjawab bagaimana dan mengapanya? kita perlu menyimak isi artikel yang di paparkan oleh
Heather Sutherland agar lebih jelas lagi dapat diringkas sebagai berikut:
Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Sejarah menurut konsep pertama ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut konsep kedua berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)
Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah semuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama ia mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telah menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya. Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat.
Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra dari pada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.
Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.
Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi belum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global. Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni. Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.
Narasi besar SPM sebagaimana dikatakan diatas, terpusat pada kebangkitan Negara-bangsa dan modernitas. Kedua aspek ini relevan termaksud menyangkut  perdebatan dalam sejarah (pascamodernisme) dan pada bagian kedua ia membahas tentang peranan sejarah dalam Negara pasca colonial. Dalam bagian ketiga tulisan ini juga Heather Sutherland menjelaskan tentang peranan Negara, dia juga menjelaskan tentang modernitas,pada bagian keempat tulisan ini ia menjelaskan tentang bagaimana pengikut posmodernis menimbah dari berbagai bidang ilmu untuk membangun kritik-kritik yang sepesifik terhadap sejarah yang sudah mapan. Pada bagian kelima, ia menjelaskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, peranan teori dan metodologi. Yang meliputi aspek spesifik dan bermasalah dalam analisis sejarah, yakni tipologi dan kategori. Untuk ilustrasi ini ia mengambil contoh dari sejarah Indonesia  akhir dari bagian keenam tulisan ini dia membahas modernitas, tradisi dan berbagai konsep kebudayaan secara umum. Pertanyaan terakhir yang dipertanyakan dalam artikel ini yaitu persoalan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM.

II.  KOMENTAR

Akhir dari tulisan ini, saya mencoba melihat tentang tiga dilema menurut pandangan Heather Sutherland. Masalah yang paling umum dapat dilihat dari perdebatan mengenai pascamodernisme dan disini ia mengmukakan tentang dua hal pertama, analisis apa saja yang berdasarkan logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas-batas yang berguna dan dapat merusak. Analisis dari segi linguistic dan dari segi budaya menghasilkan pemahaman-pemahaman yang memiliki nilai transformasi, tetapi penerapan paling radikal dari analisis linguistic dan budaya tampaknya mandul. Kedua, saya mencoba mengeritik tentang penggunaan kategori Biner secara sederhana, yakni pemisahan antara modernism dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan,antara tekat untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Oleh karena itu ia menilai dirinya sebagai seorang realis yang kritis, dan menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi. sehingga sejarah yang ditulis Heather Sutherland ditentukan oleh budaya, tetapi bukan hanya Eropasentrisme. Ia juga terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia. Seoarang professional yang mencoba menhadapi masalah-masalah yang inheren dalam penulisan sejarah lintas budaya.
Apabila kita menerima bahwa sejarah dikonstruksi oleh budaya dalam konteks dunia mungkin hal ini terkesan akan menyelesaikan persoalan Eropasentrisme, tetapi pandangan ini tidak mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat penggabungan sejarah dengan kekuasaan (Appadurai 2000), kelompok elite yang sekarang seperti yang sudah-sudah, memaksakan pandangan-pandangan tertentu mengenai sejarah dengan cara menolak untuk mengakui sejarah-sejarah alternative. Hal ini sangat memungkinkan tidak akan berubah karna Negara berikhtiar memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Kaum elite akan selalu lebih menyukai, narasi besar dari pada suara-suara dan pandangan-pandangan plural. Pembawaan otoriter ini tidak terbatas hanya pada Negara atau hanya pada barat. Sangat tergantung didalam bidang ekonomi dan persaingan di seluruh dunia yang semakin meningkat akan tercermin dalam perdebatan mengenai sejarah. Tantangan-tantangan yang dilontarkan terhadap narasi besar oleh Barat akan semakin terbuka.
Sejarawan profesonal terkena pengaruh yang tidak mudah dielakan dari klaim-kalim yang saling bersaing dari pihak kelas sosial mereka (elite berpendidikan),pelindung mereka (Negara) rekan mereka (para sejarawan) dan dari orang-orang yang sejarahnya mereka klaim merekalah yang menyusun. Keyakinan itelektual dan politik pribadi membantu menentukan bagaimana mereka memberika rekasi terhadap situasi ini. Namun banyak atau terlalu banyak yang bersedia melakukan penilaian atas masa lalu, tanpa melakukan pengujian penulisan sejarah dan atau menguji bagaimana mereka sendiri dihasilkan oleh keadaan. Menurut pendapat saya bahwa sejarawan hendaknya mencoba mencermin pada masa lalu untuk melihat masa kini, karna kesadaran diri dan profesi sejarah yang kritis sama perlunya seperti pers yang bebas bagi Negara dan masyarakat. Semua gambaran mengenai masa lalu selalu bersifat sementara, tetapi saya percaya bahwa kemampuan yang terus berkembang untuk menyusun sejarah dapat menghasilkan interpretasi yang berharga mengenai masa lalu. Dan perjuangan terus berlalu.
Sejarah Indonesiasentris adalah antitesis dari sejarah Neerlandensentris. Apabila versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sebaliknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama (dan baru). Sementara, dari sisi hal yang ditekankan dan struktur, sebenarnya kedua perspektif sejarah itu sebagian besar identik satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial (Sutherland, 2008:40). Sebagaimana visi Neerlandensentris, visi Indonesiasentris juga mencari legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan.