Minggu, 01 Januari 2012

Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 7

MENELITI SEJARAH PENULISAN SEJARAH

I.  Ringkasan

Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri
oleh berbagai suku bangsa. Orang bergaira mencarinya. Orang kebanyakan atau orang awam ingin mengatahuinya. Orang yang berpengatahuan dan orang yang kurang berpengetahuan dapat memahaminya. Ini karna di permukaan Sejarah tidak lebih dari pada informasi mengenai peristiwa politik, kerajaan dan kejadiaan pada masa lalu yang disajikan dengan menarik dipihak lain, sejarah dalam arti yang lebih dalam berkaitan dengan renungan dan ikhtiar mencari kebenaran, mencari penjelasan yang secepat mungkin tentang sebab musabab dan asal usul hal-hal yang ada, dan dengan pengatahuan yang dalam tentang kejadian-kejadian dari sisi bagaimana dan mengapanya. Sejarah , karna itu berakar kuat dalam filsafat, oleh karna itu Sejarah patut dijadikan cabang filsafat. (Ibn Khadun 1967). Untuk menjawab bagaimana dan mengapanya? kita perlu menyimak isi artikel yang di paparkan oleh
Heather Sutherland agar lebih jelas lagi dapat diringkas sebagai berikut:
Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.
Sejarah menurut konsep pertama ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut konsep kedua berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)
Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah semuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama ia mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telah menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya. Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat.
Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra dari pada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.
Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.
Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi belum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global. Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni. Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.
Narasi besar SPM sebagaimana dikatakan diatas, terpusat pada kebangkitan Negara-bangsa dan modernitas. Kedua aspek ini relevan termaksud menyangkut  perdebatan dalam sejarah (pascamodernisme) dan pada bagian kedua ia membahas tentang peranan sejarah dalam Negara pasca colonial. Dalam bagian ketiga tulisan ini juga Heather Sutherland menjelaskan tentang peranan Negara, dia juga menjelaskan tentang modernitas,pada bagian keempat tulisan ini ia menjelaskan tentang bagaimana pengikut posmodernis menimbah dari berbagai bidang ilmu untuk membangun kritik-kritik yang sepesifik terhadap sejarah yang sudah mapan. Pada bagian kelima, ia menjelaskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, peranan teori dan metodologi. Yang meliputi aspek spesifik dan bermasalah dalam analisis sejarah, yakni tipologi dan kategori. Untuk ilustrasi ini ia mengambil contoh dari sejarah Indonesia  akhir dari bagian keenam tulisan ini dia membahas modernitas, tradisi dan berbagai konsep kebudayaan secara umum. Pertanyaan terakhir yang dipertanyakan dalam artikel ini yaitu persoalan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM.

II.  KOMENTAR

Akhir dari tulisan ini, saya mencoba melihat tentang tiga dilema menurut pandangan Heather Sutherland. Masalah yang paling umum dapat dilihat dari perdebatan mengenai pascamodernisme dan disini ia mengmukakan tentang dua hal pertama, analisis apa saja yang berdasarkan logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas-batas yang berguna dan dapat merusak. Analisis dari segi linguistic dan dari segi budaya menghasilkan pemahaman-pemahaman yang memiliki nilai transformasi, tetapi penerapan paling radikal dari analisis linguistic dan budaya tampaknya mandul. Kedua, saya mencoba mengeritik tentang penggunaan kategori Biner secara sederhana, yakni pemisahan antara modernism dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan,antara tekat untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Oleh karena itu ia menilai dirinya sebagai seorang realis yang kritis, dan menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi. sehingga sejarah yang ditulis Heather Sutherland ditentukan oleh budaya, tetapi bukan hanya Eropasentrisme. Ia juga terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia. Seoarang professional yang mencoba menhadapi masalah-masalah yang inheren dalam penulisan sejarah lintas budaya.
Apabila kita menerima bahwa sejarah dikonstruksi oleh budaya dalam konteks dunia mungkin hal ini terkesan akan menyelesaikan persoalan Eropasentrisme, tetapi pandangan ini tidak mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat penggabungan sejarah dengan kekuasaan (Appadurai 2000), kelompok elite yang sekarang seperti yang sudah-sudah, memaksakan pandangan-pandangan tertentu mengenai sejarah dengan cara menolak untuk mengakui sejarah-sejarah alternative. Hal ini sangat memungkinkan tidak akan berubah karna Negara berikhtiar memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Kaum elite akan selalu lebih menyukai, narasi besar dari pada suara-suara dan pandangan-pandangan plural. Pembawaan otoriter ini tidak terbatas hanya pada Negara atau hanya pada barat. Sangat tergantung didalam bidang ekonomi dan persaingan di seluruh dunia yang semakin meningkat akan tercermin dalam perdebatan mengenai sejarah. Tantangan-tantangan yang dilontarkan terhadap narasi besar oleh Barat akan semakin terbuka.
Sejarawan profesonal terkena pengaruh yang tidak mudah dielakan dari klaim-kalim yang saling bersaing dari pihak kelas sosial mereka (elite berpendidikan),pelindung mereka (Negara) rekan mereka (para sejarawan) dan dari orang-orang yang sejarahnya mereka klaim merekalah yang menyusun. Keyakinan itelektual dan politik pribadi membantu menentukan bagaimana mereka memberika rekasi terhadap situasi ini. Namun banyak atau terlalu banyak yang bersedia melakukan penilaian atas masa lalu, tanpa melakukan pengujian penulisan sejarah dan atau menguji bagaimana mereka sendiri dihasilkan oleh keadaan. Menurut pendapat saya bahwa sejarawan hendaknya mencoba mencermin pada masa lalu untuk melihat masa kini, karna kesadaran diri dan profesi sejarah yang kritis sama perlunya seperti pers yang bebas bagi Negara dan masyarakat. Semua gambaran mengenai masa lalu selalu bersifat sementara, tetapi saya percaya bahwa kemampuan yang terus berkembang untuk menyusun sejarah dapat menghasilkan interpretasi yang berharga mengenai masa lalu. Dan perjuangan terus berlalu.
Sejarah Indonesiasentris adalah antitesis dari sejarah Neerlandensentris. Apabila versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sebaliknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama (dan baru). Sementara, dari sisi hal yang ditekankan dan struktur, sebenarnya kedua perspektif sejarah itu sebagian besar identik satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial (Sutherland, 2008:40). Sebagaimana visi Neerlandensentris, visi Indonesiasentris juga mencari legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan.