tag:blogger.com,1999:blog-5703936513239586772024-03-13T11:47:01.222-07:00Ruang WaktuS2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.comBlogger94125tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-8667569576721962052012-03-18T20:49:00.002-07:002012-03-18T20:49:56.763-07:00Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 9<div align="center" class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: center;"><b><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Sejarah Nasional Indonesia Di Mata Tiga Indonesianis<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">“<i>Wajar kiranya bagi bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menggagas dan menuliskan sejarahnya yang baru</i>. <i>Selain untuk mengurangi peran sejarawan kolonial</i>, <i>penulisan sejarah baru penting untuk menekankan budaya lokal</i>, <i>tradisi</i>, dan <i>sejarah lokal</i>”—</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;"> Jusuf M. van der Kroef</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 10.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Dua belas tahun pertama kemerdekaan, sebuah narasi tentang sejarah baru Indonesia akhirnya terbentuk. Moh. Yamin, tercatat sebagai penggagasnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Sayangnya, tidak semua orang sepaham dengan narasi sejarah yang digagas dan diwariskan oleh Yamin. Salah satunya adalah Kroef. Ia menyatakan, “wajar kiranya bagi bangsa yang baru merdeka seperti Indonesia untuk menggagas dan menuliskan sejarahnya yang baru. Selain untuk mengurangi peran sejarawan kolonial, penulisan sejarah baru penting untuk menekankan budaya lokal, tradisi, dan sejarah lokal”. Namun, lanjut Kroef, alih-alih menerapkan asas atau prinsip sejarah, narasi sejarah baru justru dipolitisasi. Diantaranya, dengan memunculkan mitos penjajahan tiga abad, mengunggulkan kejayaan Majapahit, serta mengurangi bahkan sering kali menghapus peran kolonial. Sehubungan dengan hal itu, lewat artikelnya, ia pun mengajak para pembacanya untuk merenungkan kembali gagasan indonesiasentris yang digagas oleh tiga indonesianis, yakni dari J.C. van Leur, C.C. Berg, dan G.J. Resink.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Van Leur<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Van Leur, sebagaimana kita tahu adalah seorang Indonesianis. Bahkan, dalam diskusi beberapa minggu lalu, sempat dibicarakan bersama bahwa van Leur-lah bapak sejarah Indonesia, sama sekali bukan Sartono Kartodirdjo. Salah satu pemikirannya yang terkenal ialah cara pandang kolonial terhadap penulisan sejarah Indonesia. “Melihat sejarah dari geladak kapal, dari balik tembok benteng, dan menara loji”, barangkali adalah ide van Leur yang paling acap kita dengar. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Selain itu, ide yang diambil oleh van Leur ialah bahwa baik Belanda maupun orang Indonesia memiliki kedudukan yang sama. Ide itu antara lain lahir dari asumsi dasar bahwa abad XVII-XVIII merupakan kemajuan maritim Indonesia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Tidak ketinggalan, Kroef pun dalam tulisannya juga menyinggung peran van Leur sebagai seorang Weberian. Dengan kata lain, sebagai penganut paham Weber, ia pun memandang Indonesia dalam katagori-katagori. Misalnya, kota, pekerja, brahmana. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Salah satu contoh pemikiran Van Leur yang diaplikasi oleh Kroef adalah pemikirannya tentang akulturasi Hindu Budha di Indonesia. Dengan demikian, kata van Leur, munculnya Hindhu Budha itu bukan karena peran para brahmana, melainkan juga dari hubungan timbal balik antara orang-orang Indonesia dengan brahmana, pedagang, ataupun golongan lain yang beragama itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Berg<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Terkait dengan tulisan Berg, Kroef menyoroti kesangsian Berg akan pendekatan sejarah baru didasarkan atas sumber-sumber tradisional, khususnya Babad. Menurut Berg, historiografi atas beberapa atau banyak orang membutuhkan salah satu pola, baik dalam struktural maupun evolusioner dan cara pandang dinamis yang terpisah satu sama lain. Kedua, catat Berg, bahwa sebelum ia, tidak ada seorang pun yang mau melihat karya babad dalam konteks waktu kekinian. Dengan kata lain, babad selalu saja <i>post factum</i>. Ketiga, Berg memandang babad sebagai suatu fenomena falsafah Jawa. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Dari ketiga alasan itu, Berg pun lantas berkesimpulan bahwa bahwa sumber-sumber kuno, genealogis, asal-usul dinasti, kronik perang, seperti <i>Pararaton</i> dan <i>Negara Kertagama</i> atau <i>Babad Tanah Jawi</i> harus dihargai sebagai ekspresi “verbal magis” (mantra atau pemujaan?) yang ditulis oleh para pujangga, demi melegitimasi kekuasaan raja serta cara untuk menjelaskan pendekatan kekuatan transedental dalam perubahan struktur kekuatan dan munculnya dinasti baru di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Oleh sebab itu, kata Berg, “babad merupakan realitas pemahaman kosmologi tradisional”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Terkait dengan sejarah nasional yang disusun dalam Seminar Sejarah Nasional Indonesia I, Kroef pun mengajukan keberatannya yang didasarkan oleh kritik yang dilakukan oleh Berg. Membaca sejarah nasional Indonesia, kata Kroef seolah semua sudah ditakdirkan: kejatuhan Majapahit merupakan awal kedatangan Islam dan kedatangan Belanda pada abad XVI merupakan pergantian era baru dari mitos itu dan berganti dengan era kritenisasi. Di situ, Kroef menunjukkan hal yang dikritik oleh Berg bahwa seolah tidak ada interaksi masing-masing era sejarah itu. Seolah Indonesia, sepenangkapan saya dari Kroef, sejarah nasional Indonesia pun menjadi tersekat-sekat oleh periodisasi. Parahnya, keberadaan elemen penting abad XVIII, yakni Mataram, East Indian Company (EIC)—kongsi dagang Belanda (<i>sic!</i>)—dan Islam dilihat dari reinkarnasi Majapahit, Champa, dan Melayu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Lalu terkait dengan Majapahit itu sendiri, Kroef, mengutip pendapat Berg menyatakan bahwa batas-batas Majapahit yang disusun oleh Prapanca tidak cukup fakta untuk dikatakan sebagai sejarah politik dan sekaligus hanya sebatas refleksi nilai kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat. Selain itu, masih terkait dengan batas Majapahit. Batas-batas Majapahit sendiri, kata Berg berasal dari babad atau sumber-sumber kuno. Padahal, kata Berg, sumber-sumber itu, tidak dapat dipercaya. Selain tidak menjelaskan waktu, juga rusak, meninggalkan kebingungan, dan terpenting fiktif.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Terkait dengan kefiktifan tokoh maupun tempat dalam sumber-sumber tradisional, Berg mencontohkan sosok Panembahan Senopati. Panembahan senopati, kata Berg, merupakan tokoh fiksi, ia hanya ada untuk legitimasi generasi saat babad itu dibuat; menunjukkan bahwa ia atau mereka berasal dari keluarga terkemuka. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Resink<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Teori Resink, dipakai oleh Kroef, kiranya untuk menjelaskan mitos penjajahan selama tiga abad. Dari tulisan-tulisan Resink, terungkap bahwa tiga abad pendudukan Belanda merupakan gambaran yang menyesatkan sekaligus isapan jempol belaka. Pasalnya, kata Kroef mengutip Berg, Indonesia sendiri terdiri atas beribu-ribu pulau, negara-negara kecil, dan sistem administrasi sendiri-sendiri. Dari hasil data militer dan politik, Resink menemukakan bahwa penaklukkan di Indonesia tidak berlangsung dalam waktu yang bersamaan. Selain Jawa, negara-negara (baca: pulau) lain di Indonesia baru bisa ditaklukkan pada awal abad XIX, bahkan tahun-tahun terakhir kekuasaan Belanda di Indonesia. Sumba misalnya, baru ditaklukkan Belanda pada tahun 1910 dan Bali pada tahun 1908. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Selain Itu, ide Resink lainnya ialah soal partisipasi orang-orang Indonesia dalam hubungan diplomatik, misalnya dengan perjanjian atau kontrak perkawinan, penyeledupan senjata, konsesi pertambangan. Meskipun begitu, terkait dengan pemikiran Resink, Kroef menyatakan bahwa ide Resink itu terlalu menyederhahanakan masalah dan terlalu menekankan permasalahan terkait dengan kkontrak-kontrak yang dilakukan oleh pribumi. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Intepretasi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Membaca tulisan Kroef, tampak bahwa ada kesalahan besar dalam narasi sejarah nasional Indonesia. Selain terlalu jawasentris, historiografi Indonesia juga terlalu indonesiasentris. Jika mulanya peran Indonesia dikecilkan atau dihapus, seiring dengan kemerdekaan, situasi berbalik. Karena masalah politis, peran kolonial dikecilkan dan selalu dicitrakan buruk. Padahal, jika mengutip pendapat van Leur, Berg, maupun Resink tampak bahwa baik Kolonial maupun Indonesia memiliki hubungan yang seimbang.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Selanjutnya, dari keseluruhan artikel yang menarik ini, saya ingin mempertanyaan dua hal. Pertama, tentang tulisan Berg. Kalau ditinjau dari antitesis untuk mendudukan bahwa kesalahan besar narasi sejarah nasional Indonesia ialah menyamakan Indonesia dengan majapahit dan berorientasi pada kejayaan Majapahit, saya kira relevan. Akan tetapi, jika dilihat dari kefiktifan sumber-sumber tradisional, dalam hal ini babad, saya kurang tepat. Pasalnya, kita harus melacak dari historiositasnya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Lalu, berlanjut ke masalah penting kedua, yakni ide yang ditawarkan oleh Resink. Kroef, mengatakan bahwa kontrak kerjasama yang dilakukan oleh Resink terlalu ambigu dan terkesan terlalu melebih-lebihkan. Saya kira Kroef lupa, bahwa sekalipun suatu kerajaan berada di bawah kekuasaan, mereka mempunyai hukum sendiri. Hukum tawan karang ynag ada di Bali, misaknya, saya kira, pada waktu zamannya maserupakan hukum positif. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Terakhir, saya menyebut ini sebagai sebuah kekonyolan Kroef. Ada empat hal konyol sekaligus yang disebut Kroef dalam tulisannya. Pertama, ia menulis bahwa Djogjakarta merupakan wilayah yang terdapat di Jawa Tengah. Kedua, Ia menyebut kongsi dagang, baik yang dimiliki oleh Belanda maupun Inggris sebagai EIC. Padahal, kita tahu bersama bahwa bahwa milik Belanda disebut sebagai Vereeniding Oost Indische Company. Ketiga, kita membaca bahwa Moh. Yamin merupakan putra Jawa, oleh sebab itu, wajar jika ia mengagung-agungkan jawasentris. Keempat, Kroef menyatakan bahwa Jawa merupakan pulau terbesar di Indonesia. Untuk konteks tahun 1958, dengan bentuk negara kesatuan, rasanya ppernyataan Kroef itu sangat konyol. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Tinjauan saya terakhir, dalam tulisannya, Kroef menyinggung soal sejarah nasional Indonesia yang jawasentris. Tentunya, sangat disayangkan, Kroef tidak menyinggung konstelasi politik dan sosial masyarakat di tahun ia menulis karyanya. Sebab, nantinya tampak ada perbedaan yang besar antara Yamin dengan Soedjatmoko—yang kiranya pendapatnya merupakan bentuk ideal sejarah yang diyakini masyarakat kini. Lalu, ia tidak melacak latar belakang Yamin. Kiranya, dari pembacaan saya pribadi sungguh menarik mengapa Yamin yang berasal dari Sumatera justru mengemukakan ide Jawasentris. Pemakluman karena menyebut asal Yamin saja salah?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 45pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">(</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Tulisan ini merupakan review atas <i>On The Writing of Indonesian Historiografi</i> karya Jusuf M. van der Kroef </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">dalam </span><i><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">Pacific Affairs</span></i><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">, vol. 31, No. 4. De</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">s</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">., 1958, </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">hlm</span><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ansi-language: IN; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">. 352-371</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;">)</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin; mso-no-proof: yes;"><o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-90625849010499012612012-03-18T20:48:00.002-07:002012-03-18T20:48:48.032-07:00Tugas Review Historiografi Yuli Astriyani 7<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Review Artikle : Jerry H. Bentley<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History<o:p></o:p></span></b></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span class="StrongEmphasis"><span lang="EN-US">Seperti angin yang mengalir tanpa henti di atas bukit, lembah, dan lautan, sejarah terus menerus bergerak di dalam waktu. Kebudayaan-kebudayaan hidup dan mati, pemikiran-pemikiran muncul, kota-kota tumbuh, penduduk bertambah, kerajaan-kerajaan timbul dan tenggelam, perang-perang terjadi, perdagangan meluas, dan seterusnya. Dan sejarawan ingin membuat waktu yang terus menerus bergerak tanpa henti itu menjadi dapat dipahami dengan membaginya dalam unit-unit waktu, dalam sekat-sekat, dalam babak-babak, dalam periode-periode. Dengan kata lain sejarawan melakukan klarifikasi atas waktu, sejarawan membuat periodesasi.</span></span><a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-weight: bold; mso-bidi-language: HI; mso-fareast-font-family: "Lucida Sans Unicode"; mso-fareast-language: ZH-CN; mso-font-kerning: 1.5pt;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span class="StrongEmphasis"><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></span></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US">Tiap masyarakat memiliki pandangan yang relative berbeda tentang waktu yang mereka jalani. Contohnya: masyarakat Barat melihat waktu sebagai sebuah garis lurus (linier). Konsep garis lurus tentang waktu diikuti dengan terbentuknya konsep tentang urutan kejadian. Dengan kata lain sejarah manusia dilihat sebagai sebuah proses perjalanan dalam sebuah garis waktu sejak zaman dulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang. Berbeda dengan masyarakat Barat, masyarakat Hindu melihat waktu sebagai sebuah siklus yang berulang tanpa akhir.<o:p></o:p></span></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify;"><span class="StrongEmphasis"><span lang="EN-US"> </span></span><span lang="EN-US">Dalam menentukan periodesasi dalam sejarah dunia, Jerry menekankan pada masalah interaksi budaya melalui tiga hal yaitu melalui: migrasi massa, ekspansi kekuasaan dan perdagangan sehingga dapat menggambarkan sejarah kuno masyarakat di dunia melalui interaksi tersebut. Jerry mencoba mengarahkan pembacanya untuk membuat periodesasi menuju satu sejarah dunia. Lalu apa manfaatnya bagi sejarah Indonesia? Penjelasan mengenai konsep periodesasi dalam sejarah di Indonesia juga beragam, pembahasan mengenai periodesasi sejarah di Indonesia sudah dimulai pada Seminar Sejarah tahun 1957 di Yogyakarta. <o:p></o:p></span></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US">Periodesasi yang di kemukakan oleh Moh. Yamin adalah: masa sebelum penjajahan, masa penjajahan, masa sesudah penjajahan. Periodesasi yang dikemukakan oleh Sartono Kartodirdjo adalah yang menggunakan proses integrasi dengan faktor ekonomi sebagai pendorong, sebagai pokok tujuan. Pada dasar asasnya struktur periodesasi Sartono menyerupai pola umum periodesasi tradisional.<a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-language: HI; mso-fareast-font-family: "Lucida Sans Unicode"; mso-fareast-language: ZH-CN; mso-font-kerning: 1.5pt;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a> Hal ini menunjukan bahwa di Indonesia sampai dengan saat ini belum ada suatu periodesasi yang jelas untuk menggambarkan sejarah Indonesia secara ilmiah mengenai pengertian-pengertian seputar penjajahan, Indonesia dan Indonesiasentris. <o:p></o:p></span></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify;"><span lang="EN-US"> Tradisi ilmiah mengenai penulisan sejarah melalui norma-norma ilmiah Barat masih belum banyak ditulis, jurusan sejarah dan fakultas-fakultas di Indonesia belum dapat memberikan pendidikan ilmiah khusus untuk membentuk sejarawan yang sanggup memulai dengan pendirian suatu usaha ilmiah kearah penyelidikan dan penulisan sejarah Indonesia pada suatu peralihan yang penting dalam proses sejarah. Perodesasi yang digunakan masih mengikuti pola-pola lama yang sudah ada sebelumnya. Mungkin kesulitan ini karena di Indonesia mengalami proses akulturasi yang pesat membuat corak penulisan sejarah Indonesia kelihatan menjadi tidak jelas sehingga peralihan dari tradisi historiografi daerah melalui tradisi historiografi Barat kearah tradisi ilmiah baru belum dapat terjadi karena pandangan kosmosentris tidak mungkin berubah menjadi antroposentris dengan begitu saja. (N. Berdayayev, The Beginning and The End, 1957, hlm. 115 dst).<o:p></o:p></span></div><div class="Textbody" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-pagination: widow-orphan; text-align: justify;"><span class="StrongEmphasis"><span lang="EN-US"> Menurut Kuntowijoyo periodesasi bukanlah tutup layar atau buka layar, tetapi ada perbedaan perkembangan aspek sejarah, dan ada <i>discontinuity</i> dan <i>continuity</i>. Sejarah Indonesia pun dapat pula dibagi kedalam tiga bagian yaitu prasejarah, Hindu-Budha, dan Modern. Periodesasi dalam historiografi Indonesia semula bersifat konvensional - Preasejarah, Kuno (Indianisasi), Tengah (Islamisasi), Modern (Pembaratan) - baik diseluruh atau hanya satu periode. Tradisi konvensional terdapat diantara buku kolektif Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Masalah periodesasi panjang ini mendapat pemahaman baru melalui beberapa buku antaralaian yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo, <i>Pengantar Sejarah Indonesia : Dari Emporium Sampai Imperium, </i>buku Denys Lombard, <i>Nusa Jawa: Silang Budaya</i>. Keduanya dengan jelas menghadirkan mazhab Annales dengan periodesasi Braudel (<i>Structure, conjuncture, events</i>), dan tulisan dari Adrian B. Lapian, <i>Nusantara Silang Budaya</i> dalam buku panggung sejarah persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard.</span></span><a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-weight: bold; mso-bidi-language: HI; mso-fareast-font-family: "Lucida Sans Unicode"; mso-fareast-language: ZH-CN; mso-font-kerning: 1.5pt;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US"><o:p></o:p></span></div><div><!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <!--[endif]--> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"> Kuntowijoyo, Penjelasan Sejarah (Yogyakarta : Tiara Wacana, Februari 2008), hlm., 19.<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify;"><a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt;"> Moh. Ali, Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (Yogyakarta : LKiS), hlm. 314-315<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Jerry%20H%20bentley%20His%206.doc#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 11.0pt;"> Op. cit., hlm. 27-28<o:p></o:p></span></div></div></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-59910418004198685592012-03-18T20:47:00.002-07:002012-03-18T20:47:26.034-07:00Tugas Review Historiografi Yuli Astriyani 6<div align="center" class="MsoHeader" style="line-height: 115%; margin-bottom: 6.0pt; tab-stops: 129.0pt 149.25pt center 3.25in right 6.5in; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%;">Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah oleh Heather Sutherland<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoHeader" style="line-height: 115%; margin-bottom: 6.0pt; tab-stops: 129.0pt 149.25pt center 3.25in right 6.5in; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Heather Sutherland dalam tulisannya mencoba membahas tentang bagaimana sejarawan menulis sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Dimensi yang dibahas dalam hal ini adalah Dia memusatkan perhatiannya pada persoalan-persoalan teoritis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Masalah-masalah berkisar pada hal-hal yang bersifat filosofis (apa itu kebenaran?) hingga hal-hal yang praktis (bagaimana kita dapat melukiskan suatu masyarakat dengan menggunakan konsep-konsep yang dikembangkan dalam masyarakat yang lain?) selain itu Sutherland juga menekankan akan pentingnya otoritas (authority) dalam hal ini otoritas menurut Sutherland adalah bagaimana kita mengetahui bahwa sebuah uraian mengenai masa lalu lebih patut dipercaya daripada uraian yang lainnya? Hal semacam ini dapat menimbulkan perdebatan intelektual yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Kritik Sutherland untuk para sejarawan adalah seharusnya sejarawan perlu menyelidiki bagaimana sejarah tercipta dalam konteks teori dan politik yang lebih luas oleh karena itu sejarawan harus menguji mengenai sejarah penulisan sejarah. Karena sejarah sangat erat kaitannya dengan legitimasi Negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya sehingga mudah untuk diselewengkan oleh penguasa. Aspek-aspek yang dibahas oleh Sutherland yakni Eroprasentrisme dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pasca kolonial. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pada bagian awal tulisannya Sutherland membuka wacana dengan memberi definisi mengenai beragam arti sejarah, Sutherland mendefinisikan sejarah yang dilontarkan menurut Ibn Khaldun yaitu, pertama, sejarah ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun, elemen-elemen dari masa lalu kita pilih dan kita beri peran tertentu untuk menjelaskan dunia tempat hidup kita sekarang. Kedua, sejarah adalah keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Menurutnya masalah historiografi ialah persoalan bagaimana mengatasi kontradiksi yang tidak terelakan antara narasi terfokus ciptaan kita (sejarah sebagai catatan) dan kekacauan masa lalu (sejarah sebagai kejadian). Sutherland selanjutkan menjelaskan mengenai definisi sejarah menurut Oxford sehingga membuat banyak penulisan sejarah yang berubah. Setelah munculnya definisi sejarah ini sejarawan dipaksa untuk bertanya mengapa mereka menetapkan pilihan-pilihannya. Mengapa setiap sejarawan memberikan makna tertentu kepada suatu kejadian tertentu, padahal kejadian itu dapat saja memiliki berbagai arti dalam berbagai konteks? Oleh karena itu untuk memjawab beragam pertanyaan ini Sutherland menharuskan kita sebagai calon sejarawan untuk menguji dan mempelajari mengenai sejarah penulisan sejarah agar kita dapat memahami kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang mempengaruhi perkembangan historiografi<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;"> Sutherland menyadarkan kepada kita bahwa satu-satunya bentuk ‘sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang Dia namakan dengan Modern Professional History atau Sejarah Profesional Modern (SPM). SPM mencapai bentuknya yang khas di Eropa pada abad ke-19. Topik maupun metodenya mencerminkan kaitan antara ilmu yang baru dengan Negara modern. Dengan struktur Negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. Pada bagian akhirnya Sutherland kembali mempertanyakan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM. Sutherland menganjurkan kepada sejarawan untuk meninggalkan paradigma Eropasentris. Sejarah yang ditulis oleh Sutherland ditentukan oleh budaya seperti yang telah dibahas pada artikel sebelumnya mengenai silang budaya sebagai periodesasi dalam sejarah akan menghasilkan sejarah diluar narasi besar. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-size: 11.0pt;">Pada akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa untuk dapat memahami sejarah dari setiap generasi pada masanya maka kita harus meninjau dan memperdalam pemahaman sejarah dari penulisan sejarah yang pernah ada baik dari sejarah penulisan yang dalam historiogarfi Indonesia dan historiografi Eropa bahkan historiografi yang berkembang di dunia. Kita harus belajar mengidentifikasi arah kecenderungan dari pemikiran dan penulisan tentang masa lalu di setiap generasi, agar kita dapat memperoleh gambaran dan pola perkembangan historiografi di seluruh dunia sehingga kita dapat menentukan dimana posisi kita dalam proses historiografi dan bisa menentukan arah langkah kita sebagai calon sejarawan untuk memajukan usaha merekonstruksi sejarah Indonesia yang dapat memberikan alternatif diluar narasi besar.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-69114699225953435582012-03-18T20:45:00.000-07:002012-03-18T20:45:10.056-07:00Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 8<div align="center" class="MsoNormalCxSpFirst" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: center;"><b><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Tidak Kunjung Selesai, Mau Dibawa kemana Sejarah Nasional Indonesia (?)<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Salah satu pengaruh reformasi yang paling terasa dalam historiografi Indonesia adalah munculnya wacana revisi Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Sayangnnya, sejak digulirkan, wacana tersebut sampai kini belum terlaksana. Apa sebabnya? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Belum adanya kesepahamandiantara para sejarawan Indonesia akan periodisasi sejarah Indonesia kiranya menjadi salah satu pemicunya. Walaupun, rumusan akan itu sudah banyak bermunculan. Bahkan, sejak awal penggagasan proyek tersebut. Hal ini antara lain bisa disimak dari pernyataan-pernyataan R. Moh. Ali, Sartono Kartodirdjo, dan Kuntowijoyo. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Mengapa revisi periodisasi penting dalam perumusan SNI yang mulanya disusun berdasarkan pergantian rezim (<i>regime oriented</i>)?</span><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: yes;"> </span><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Sebagai alternatif jawabannya, kiranya tidak ada salahnya jika kita menyoroti bab III dan IV <i>Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia</i> yang ditulis oleh R. Moh. Ali. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh R. Moh. Ali bahwa periodisasi sangat penting periodisasi merupakan kerangka perumusan narasi besar dalam sejarah nasional. Pasalnya, perumusan sejarah nasional yang sistematis hanya dapat tercapai dengan empat hal, yakni: keyakinan nasional; periodisasi—R.Moh. Ali menyebutnya sebagai babakan waktu—; norma-norma penguji fakta; serta cara penyusunan dan penafsiran fakta. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Lebih dari itu, R. Moh. Ali pun merangkum periodisasi yang umum berlaku dalam historiografi Indonesia. Menyarikan banyak pendapat, ia menggolongkan periodisasi itu menjadi lima katagori yang masing-masing katagori masih ia turunkan lagi dalam beberapa tahap. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Dalam tulisan ini, saya tidak ingin terlalu menyoroti tulisan R.Moh. Ali. Oleh karenanya, masing-masing katagori periodisasi sejarah Indonesia itu dapat disimak secara langsung dalam buku dan bab yang telah saya sebutkan sementara ini bahasan saya fokus pada periodisasi yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini sebagai wacana alternatif perumusan revisi SNI.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Alternatif Periodisasi, Sekali Lagi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Artikel yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini adalah “Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History” karya Jerry H. Bentley, seorang profesor sejarah dari Universitas Hawai yang fokus pada kajian sejarah global dan kekhasan proses dalam interaksi silang budaya. Secara keseluruhan, tulisan Bentley tersebut mengkritisi periodisasi sejarah banyak negara yang menjiplak periodisasi yang berlaku di banyak negara di Eropa. Dengan kata lain, periodisasi sejarah yang berlaku di banyak negara, kata Bentley, adalah masa kuno, masa pertengahan, dan masa modern. Periodisasi yang seperti itu, papar Bently tidak relevan terutama ketika sejarawan menambah cara pandang dan pengujian proses akan garis batas silang sosial dan budaya. Oleh karena itu, ia menawarkan silang budaya sebagai periodisasi dalam sejarah dunia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;">Periodisasi yang ditawarkan oleh Bentley didasarkan oleh </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: yes;">tiga hal. Ketiga hal tersebut yaitu migrasi massal, ekspansi imperium, dan perdagangan jarak jauh. Dari ketiga hal tersebut, iapun membagi sejarah global menjadi enam periode, yakni: (1) masa awal masyarakat (3000-2o00 SM); (2) zaman peradaban kuno (2000-500 SM); (3) zaman peradaban klasik (500 SM-500 M); (4) peradaban pascaklasik (500-1000 M) era tranregional atau perluasan kerajaan (1000-1500 M), dan (6) zaman modern (1500 M-sekarang). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: yes;"> Periodisasi yang disusun oleh Bentley menurut saya menarik. Pertama, sejarah global tampak sebagai sebuah generalisasi tanpa memandang keunikan masing-masing subyek sekaligus obyek sejarah. Meskipun didasarkan silang budaya, tidak semua bangsa terlibat secara aktif dalam persilangan itu. Kedua, periodisasi membutuhkan kontektualissai untuk menangkap makna, persamaan, dan perbedaan setiap fase. Misalnya, abad untuk penyebutan masa seratus tahun dan zaman atau era sebagai abstraksi sejarah. Ketiga, periodisasi abad XV sebagai zaman modern. Saya kira, penyebutan ini sama dengan era renaissance sebagai petanda runtuhnya hegemoni keagamaan. Jika demikian, bukankah kurang tepat? Keempat, sehubungan dengan silang budaya maka era modern ini dikaitkan dengan banyak hal, antara lain budaya, teknologi, dan ekonomi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: yes;">Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah tarikan abad XV sebagai periodisasi modern yang juga berlaku dalam historiografi modern, sebagaimana dikemukakan oleh M.C. Ricklef. Jika periodisasi merupakan generalisasi dari gejala-gejala yang ditangkap dari satu fase ke fase lainnya maka pertanyaan yang kita ajukan untuk menyatakan Islam sebagai periodisasi modern di Indonesia seputar tanda dan petanda Islam. Jika Islam dipandang dari sisi agama bukankah bisa saja periode tersebut dipandang sebagai hegemoni salah satu agama. Dengan demikian bukankah bisa saja dikatakan sebagai zaman pramodern. Lalu, jika kemodernan itu ditandai dengan melek aksara sebagai buah pendidikan bukankah periode Hindu Budha bisa juga dikatakan modern, ditunjukkan dengan banyaknya sistem pendidikan sangha? <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 35.45pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Georgia","serif"; mso-ansi-language: EN-US; mso-no-proof: yes;">Kembali ke pokok diskusi soal peridisasi dalam sejarah Indonesia. Saya kira, setiap orang bisa menentukan periodisasi. Persoalannya, sejauh manakah bisa menjelaskannya secara logis. Jika dikaitkan dengan revisi SNI yang tidak kunjung selesai dan masih diperdebatkan saya kira persoalan yang selanjutnya harus dipikirkan bersama ialah soal sudut pandang. Sudut pandang yang saya maksudkan ialah perlunya dekonstruksi SNI. Dengan demikian, saya kira, dalam meletakkan periodisasi, sejarawanjuga harus meletakkan realitas masa kolonial. Salah satu realitas kolonial kaitannya dengan periodisasi ialah soal kosakata periode bersiap, sebutan Belanda untuk periode 1946-1947. Kiranya, periode tersebut perlu juga dihadirkan dalam periodisasi Indonesia. </span><span style="font-family: "Georgia","serif"; mso-no-proof: yes;"><o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-3969672260533043712012-03-18T20:44:00.000-07:002012-03-18T20:44:06.636-07:00Tugas Review Historiografi Aisya Habib 8<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;">MENELITI SEJARAH PENULISAN SEJARAH</span></i></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 9.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;"><!--[if !supportLists]--><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Arial; text-transform: uppercase;">I.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-style: normal; font-weight: normal;"> </span></span></i></b><!--[endif]--><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; text-transform: uppercase;">Ringkasan<o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 9.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri <br />
oleh berbagai suku bangsa. Orang bergaira mencarinya. Orang kebanyakan atau orang awam ingin mengatahuinya. Orang yang berpengatahuan dan orang yang kurang berpengetahuan dapat memahaminya. Ini karna di permukaan Sejarah tidak lebih dari pada informasi mengenai peristiwa politik, kerajaan dan kejadiaan pada masa lalu yang disajikan dengan menarik dipihak lain, sejarah dalam arti yang lebih dalam berkaitan dengan renungan dan ikhtiar mencari kebenaran, mencari penjelasan yang secepat mungkin tentang sebab musabab dan asal usul hal-hal yang ada, dan dengan pengatahuan yang dalam tentang kejadian-kejadian dari sisi bagaimana dan mengapanya. Sejarah , karna itu berakar kuat dalam filsafat, oleh karna itu Sejarah patut dijadikan cabang filsafat. (Ibn Khadun 1967). Untuk menjawab bagaimana dan mengapanya? kita perlu menyimak isi artikel yang di paparkan oleh </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Heather Sutherland agar lebih jelas lagi dapat diringkas sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.<br />
Sejarah menurut <i>konsep pertama</i> ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut <i>konsep kedua</i> berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah semuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama ia mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telah menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya. Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra dari pada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi belum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global. Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni. Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Narasi besar SPM sebagaimana dikatakan diatas, terpusat pada kebangkitan Negara-bangsa dan modernitas. Kedua aspek ini relevan termaksud menyangkut perdebatan dalam sejarah (pascamodernisme) dan pada bagian kedua ia membahas tentang peranan sejarah dalam Negara pasca colonial. Dalam bagian ketiga tulisan ini juga </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Heather Sutherland menjelaskan tentang peranan Negara, dia juga menjelaskan tentang modernitas,pada bagian keempat tulisan ini ia menjelaskan tentang bagaimana pengikut posmodernis menimbah dari berbagai bidang ilmu untuk membangun kritik-kritik yang sepesifik terhadap sejarah yang sudah mapan. Pada bagian kelima, ia menjelaskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, peranan teori dan metodologi. Yang meliputi aspek spesifik dan bermasalah dalam analisis sejarah, yakni tipologi dan kategori. Untuk ilustrasi ini ia mengambil contoh dari sejarah Indonesia akhir dari bagian keenam tulisan ini dia membahas modernitas, tradisi dan berbagai konsep kebudayaan secara umum. Pertanyaan terakhir yang dipertanyakan dalam artikel ini yaitu persoalan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 13.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -13.5pt;"><!--[if !supportLists]--><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Arial;">II.<span style="font-family: 'Times New Roman'; font-size: 7pt; font-style: normal; font-weight: normal; line-height: normal;"> </span></span></i></b><!--[endif]--><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">KOMENTAR</span></i></b><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";"><o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Akhir dari tulisan ini, saya mencoba melihat tentang tiga dilema menurut pandangan Heather Sutherland. Masalah yang paling umum dapat dilihat dari perdebatan mengenai pascamodernisme dan disini ia mengmukakan tentang dua hal <i>pertama</i>, analisis apa saja yang berdasarkan logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas-batas yang berguna dan dapat merusak. Analisis dari segi linguistic dan dari segi budaya menghasilkan pemahaman-pemahaman yang memiliki nilai transformasi, tetapi penerapan paling radikal dari analisis linguistic dan budaya tampaknya mandul. <i>Kedua</i>, saya mencoba mengeritik tentang penggunaan kategori Biner secara sederhana, yakni pemisahan antara modernism dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan,antara tekat untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Oleh karena itu ia menilai dirinya sebagai seorang realis yang kritis, dan menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi. sehingga sejarah yang ditulis Heather Sutherland ditentukan oleh budaya, tetapi bukan hanya Eropasentrisme. Ia juga terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia. Seoarang professional yang mencoba menhadapi masalah-masalah yang inheren dalam penulisan sejarah lintas budaya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Apabila kita menerima bahwa sejarah dikonstruksi oleh budaya dalam konteks dunia mungkin hal ini terkesan akan menyelesaikan persoalan Eropasentrisme, tetapi pandangan ini tidak mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat penggabungan sejarah dengan kekuasaan (Appadurai 2000), kelompok elite yang sekarang seperti yang sudah-sudah, memaksakan pandangan-pandangan tertentu mengenai sejarah dengan cara menolak untuk mengakui sejarah-sejarah alternative. Hal ini sangat memungkinkan tidak akan berubah karna Negara berikhtiar memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Kaum elite akan selalu lebih menyukai, narasi besar dari pada suara-suara dan pandangan-pandangan plural. Pembawaan otoriter ini tidak terbatas hanya pada Negara atau hanya pada barat. Sangat tergantung didalam bidang ekonomi dan persaingan di seluruh dunia yang semakin meningkat akan tercermin dalam perdebatan mengenai sejarah. Tantangan-tantangan yang dilontarkan terhadap narasi besar oleh Barat akan semakin terbuka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Sejarawan profesonal terkena pengaruh yang tidak mudah dielakan dari klaim-kalim yang saling bersaing dari pihak kelas sosial mereka (elite berpendidikan),pelindung mereka (Negara) rekan mereka (para sejarawan) dan dari orang-orang yang sejarahnya mereka klaim merekalah yang menyusun. Keyakinan itelektual dan politik pribadi membantu menentukan bagaimana mereka memberika rekasi terhadap situasi ini. Namun banyak atau terlalu banyak yang bersedia melakukan penilaian atas masa lalu, tanpa melakukan pengujian penulisan sejarah dan atau menguji bagaimana mereka sendiri dihasilkan oleh keadaan. Menurut pendapat saya bahwa sejarawan hendaknya mencoba mencermin pada masa lalu untuk melihat masa kini, karna kesadaran diri dan profesi sejarah yang kritis sama perlunya seperti pers yang bebas bagi Negara dan masyarakat. Semua gambaran mengenai masa lalu selalu bersifat sementara, tetapi saya percaya bahwa kemampuan yang terus berkembang untuk menyusun sejarah dapat menghasilkan interpretasi yang berharga mengenai masa lalu. Dan perjuangan terus berlalu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";">Sejarah Indonesiasentris adalah antitesis dari sejarah Neerlandensentris. Apabila versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sebaliknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama (dan baru). Sementara, dari sisi hal yang ditekankan dan struktur, sebenarnya kedua perspektif sejarah itu sebagian besar identik satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial (Sutherland, 2008:40). Sebagaimana visi Neerlandensentris, visi Indonesiasentris juga mencari legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-22716394062796125372012-01-01T00:21:00.001-08:002012-01-01T00:22:19.834-08:00Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 7<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;">MENELITI SEJARAH PENULISAN SEJARAH</span></i></b><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 9.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -9.0pt;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; text-transform: uppercase;">I.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></i></b><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; text-transform: uppercase;">Ringkasan<o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 9.0pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Sejarah adalah sebuah bidang ilmu yang banyak dikembangkan di berbagai negeri <br />
oleh berbagai suku bangsa. Orang bergaira mencarinya. Orang kebanyakan atau orang awam ingin mengatahuinya. Orang yang berpengatahuan dan orang yang kurang berpengetahuan dapat memahaminya. Ini karna di permukaan Sejarah tidak lebih dari pada informasi mengenai peristiwa politik, kerajaan dan kejadiaan pada masa lalu yang disajikan dengan menarik dipihak lain, sejarah dalam arti yang lebih dalam berkaitan dengan renungan dan ikhtiar mencari kebenaran, mencari penjelasan yang secepat mungkin tentang sebab musabab dan asal usul hal-hal yang ada, dan dengan pengatahuan yang dalam tentang kejadian-kejadian dari sisi bagaimana dan mengapanya. Sejarah , karna itu berakar kuat dalam filsafat, oleh karna itu Sejarah patut dijadikan cabang filsafat. (Ibn Khadun 1967). Untuk menjawab bagaimana dan mengapanya? kita perlu menyimak isi artikel yang di paparkan oleh </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Heather Sutherland agar lebih jelas lagi dapat diringkas sebagai berikut:<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Dalam Concise Oxford Dictionary edisi 1964, sejarah adalah catatan terus menerus secara sistematis tentang kejadian-kejadian dalam masyarakat; kajian perkembangan Negara; rangkaian kejadian yang berkaitan dengan Negara, orang ,benda dan sebagainya. Di satu pihak, sejarah berarti catatan, dan karena itu berarti kajian masa lalu. Di pihak lain, sejarah juga berarti rangkaian kejadian, terutama dalam kaitan dengan bangsa. Jadi, sejarah dapat berarti ’apa yang terjadi menurut kata kita’, dan apa yang sebenarnya terjadi.<br />
Sejarah menurut <i>konsep pertama</i> ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Sejarah menurut <i>konsep kedua</i> berarti keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya. Pda umumnya disepakati bahwa satu-satunya bentuk ’sejarah sebagai catatan’ yang umum diterima ialah apa yang dinamakan Modern Profesional History (Sejarah Profesional Modern/SPM)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Dengan struktur negara modern sebagai bentuk politik yang dominan dan tersebarnya model-model pendidikan dan ilmu pengetahuan Barat ke seluruh dunia, tradisi Historiografi Eropa ini menjadi kokoh di seluruh dunia sebagai sejarah nyata. ’Sejarah Nyata’ adalah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi dan biasanya disusun menurut negara bangsa yang mencerminkan prioritas dan nilai-nilai kelompok elit pemegang kekuasaan negara. SPM yang baru ini ditandai oleh narasi besar (grand narative). Nearasi besar adalah semuah narasi dominan yang menampilkan sejarah sebagai kemajuan yang berpuncak pada kejayaan modernitas negara-bangsa. Narasi besar SPM bersifat teologis dalam arti ia menyajikan semua bergerak ke satu tujuan tetentu, sebagai perkembangan dari hal yang sederhana dan tidak sempurna ke hal yag kompleks, rasional, dan efisien. Francis Fukuyama ia mengatakan bahwa keruntuhan Uni Soviet sebagai pertanda dari akhir sejarah karena jika model demokrasi pasar bebas Barat, atau Amerika, telah menjadi pola yang diterima seluruh umat manusia, maka sejarah sudah hampir sampai pada tujuan akhirnya. Samuel Huntington mengatakan bahwa dinamika utama sejarah merupakan ’pertarungan peradaban’, ketika masyarakat yang lain menanatang dominasi Barat. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Ada dua dimensi bagi penulisan sejarah dalam gelanggang politik dan budaya yang berubah-ubah. Pertama, di tingkat yang lebih umum, kita pusatkan perhatian pada persoalan-persoalan teroretis dan praktis yang dihadapi peneliti ketika mereka mencoba menjelaskan makna masa lalu untuk masa kini. Beberapa penulis sudah mulai mengatakan bahwa sejarah lebih dekat dengan sastra dari pada dengan ilmu pengetahuan, dan tidak ada satu interpretasi yang lain. Pemikiran ini terkait dengan perdebatan yang leih luas yang menjadi ciri tahun 1960-an dan 1970-an, ketika gerakan anti perang Vietnam dan perujuanga hak-hak sipil, feminisme, dan kebebasan individu muncul menentang hierarki yang sudah mapan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Perdebatan ini membentuk konteks intelektual bagi dimensi kedua yang lebih diwarnai unsur politik dengan fokus pada hubungan antara sejarah dengan kekuasaan dalam masyarakat pascakolonial. Banyak sejarawan yang tidak berminat mengetahui sebab musabab dan dampak sosial dari produksi dan konsumsi historiografi. Dan mereka menganggap tidak perlu menyelidiki begaimana sejarah tercipta dalam konteks teori atau politik yang lebih luas. Atau dalam arti lain mereka tidak menguji sejarah penulisan sejarah. Terkait erat dengan legitimasi negara dan identitas nasional, maka sejarah adalah bidang ilmu yang paling tinggi kadar politiknya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Aspek pembahasan di bawah mencakup persoalan yang sudah tidak asing tapi belum teratasi yakni Eropasentris dan politik sejarah, terutama dalam masyarakat majemuk pascakolonial. Pemikiran Barat mengenai sejarah sudah tertanam dengan dalam di berbagai sudut dunia melalui sekolah-sekolah kolonial dan wacana global. Persoalan di atas mengandung aspek epistemologi dan politik. Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan: bagiamana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan dengan kebenaran dan keyakinan? Dimesi politik menyangkut hegemoni. Peranan SPM adalah bagian dari hegemoni budaya Barat yang menekankan demokrasi, kekuasaan negara, dan modernisasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Narasi besar SPM sebagaimana dikatakan diatas, terpusat pada kebangkitan Negara-bangsa dan modernitas. Kedua aspek ini relevan termaksud menyangkut perdebatan dalam sejarah (pascamodernisme) dan pada bagian kedua ia membahas tentang peranan sejarah dalam Negara pasca colonial. Dalam bagian ketiga tulisan ini juga </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Heather Sutherland menjelaskan tentang peranan Negara, dia juga menjelaskan tentang modernitas,pada bagian keempat tulisan ini ia menjelaskan tentang bagaimana pengikut posmodernis menimbah dari berbagai bidang ilmu untuk membangun kritik-kritik yang sepesifik terhadap sejarah yang sudah mapan. Pada bagian kelima, ia menjelaskan sejarah sebagai ilmu pengetahuan, peranan teori dan metodologi. Yang meliputi aspek spesifik dan bermasalah dalam analisis sejarah, yakni tipologi dan kategori. Untuk ilustrasi ini ia mengambil contoh dari sejarah Indonesia akhir dari bagian keenam tulisan ini dia membahas modernitas, tradisi dan berbagai konsep kebudayaan secara umum. Pertanyaan terakhir yang dipertanyakan dalam artikel ini yaitu persoalan apakah mungkin kita berkarya diluar narasi besar SPM.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoListParagraph" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 13.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -13.5pt;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">II.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></i></b><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">KOMENTAR</span></i></b><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"><o:p></o:p></span></i></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Akhir dari tulisan ini, saya mencoba melihat tentang tiga dilema menurut pandangan Heather Sutherland. Masalah yang paling umum dapat dilihat dari perdebatan mengenai pascamodernisme dan disini ia mengmukakan tentang dua hal <i>pertama</i>, analisis apa saja yang berdasarkan logika jika dilakukan secara ekstrim dapat melampaui batas-batas yang berguna dan dapat merusak. Analisis dari segi linguistic dan dari segi budaya menghasilkan pemahaman-pemahaman yang memiliki nilai transformasi, tetapi penerapan paling radikal dari analisis linguistic dan budaya tampaknya mandul. <i>Kedua</i>, saya mencoba mengeritik tentang penggunaan kategori Biner secara sederhana, yakni pemisahan antara modernism dan pascamodernisme, antara realitas dan khayalan,antara tekat untuk berpegang pada satu kebenaran tunggal dan relativisme penuh juga tidak mampu mencerminkan kompleksitas dan kekaburan pengalaman. Oleh karena itu ia menilai dirinya sebagai seorang realis yang kritis, dan menyadari bahwa ini adalah sebuah kompromi. sehingga sejarah yang ditulis Heather Sutherland ditentukan oleh budaya, tetapi bukan hanya Eropasentrisme. Ia juga terlibat dalam pola-pola pertukaran budaya yang semakin mendunia. Seoarang professional yang mencoba menhadapi masalah-masalah yang inheren dalam penulisan sejarah lintas budaya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Apabila kita menerima bahwa sejarah dikonstruksi oleh budaya dalam konteks dunia mungkin hal ini terkesan akan menyelesaikan persoalan Eropasentrisme, tetapi pandangan ini tidak mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang muncul akibat penggabungan sejarah dengan kekuasaan (Appadurai 2000), kelompok elite yang sekarang seperti yang sudah-sudah, memaksakan pandangan-pandangan tertentu mengenai sejarah dengan cara menolak untuk mengakui sejarah-sejarah alternative. Hal ini sangat memungkinkan tidak akan berubah karna Negara berikhtiar memperoleh kekuasaan sebesar-besarnya. Kaum elite akan selalu lebih menyukai, narasi besar dari pada suara-suara dan pandangan-pandangan plural. Pembawaan otoriter ini tidak terbatas hanya pada Negara atau hanya pada barat. Sangat tergantung didalam bidang ekonomi dan persaingan di seluruh dunia yang semakin meningkat akan tercermin dalam perdebatan mengenai sejarah. Tantangan-tantangan yang dilontarkan terhadap narasi besar oleh Barat akan semakin terbuka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Sejarawan profesonal terkena pengaruh yang tidak mudah dielakan dari klaim-kalim yang saling bersaing dari pihak kelas sosial mereka (elite berpendidikan),pelindung mereka (Negara) rekan mereka (para sejarawan) dan dari orang-orang yang sejarahnya mereka klaim merekalah yang menyusun. Keyakinan itelektual dan politik pribadi membantu menentukan bagaimana mereka memberika rekasi terhadap situasi ini. Namun banyak atau terlalu banyak yang bersedia melakukan penilaian atas masa lalu, tanpa melakukan pengujian penulisan sejarah dan atau menguji bagaimana mereka sendiri dihasilkan oleh keadaan. Menurut pendapat saya bahwa sejarawan hendaknya mencoba mencermin pada masa lalu untuk melihat masa kini, karna kesadaran diri dan profesi sejarah yang kritis sama perlunya seperti pers yang bebas bagi Negara dan masyarakat. Semua gambaran mengenai masa lalu selalu bersifat sementara, tetapi saya percaya bahwa kemampuan yang terus berkembang untuk menyusun sejarah dapat menghasilkan interpretasi yang berharga mengenai masa lalu. Dan perjuangan terus berlalu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; mso-margin-bottom-alt: auto; mso-margin-top-alt: auto; text-align: justify; text-indent: 27.0pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;">Sejarah Indonesiasentris adalah antitesis dari sejarah Neerlandensentris. Apabila versi arus utama Belanda mengenai sejarah Hindia-Belanda mengagung-agungkan pasifikasi dan kemajuan. Sebaliknya, narasi nasionalis berpusat pada perjuangan untuk mewujudkan negara demokrasi sekuler yang berakar dalam identitas bersama (dan baru). Sementara, dari sisi hal yang ditekankan dan struktur, sebenarnya kedua perspektif sejarah itu sebagian besar identik satu sama lain. Hal yang dilukiskan sebagai keburukan (kejahatan atau fanatik) dalam narasi Belanda menjadi kepahlawanan dalam versi nasionalis (perjuangan tanpa pamrih). Namun, fokus utama tetap sama, yakni negara dan pengalaman kolonial (Sutherland, 2008:40). Sebagaimana visi Neerlandensentris, visi Indonesiasentris juga mencari legitimasi dengan cara menjanjikan pembangunan.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-16289849143482117352011-12-31T04:04:00.003-08:002011-12-31T04:21:01.753-08:00Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 7<div class="Section1"><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="font-size: large;">Sejarah Sebagai Ilmu Pengetahuan?</span><o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div></div><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">“<i>Masa lalu itu banyak ragamnya sehingga mereka tidak dapat mengatakan bahwa prosedur penelitiannya dapat diulang. Tafsir-tafsir yang berbeda atas bahan yang sama dapat melahirkan tafsir-tafsir tandingan. Akan tetapi, ini tidak mengakibatkan ada tafsir yang didiskualifikasi atau tidak memenuhi syarat</i>.”<a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H7.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Wilhelm Dilthey adalah salah satu tokoh filsafat dan sejarah yang sebenarnya sudah mencoba untuk memisahkan antara ilmu-ilmu kealaman dan ilmu-ilmu kemanusian. Maksuda dia memisahkan kedua ilmu itu bukan berarti untuk menunjukkan bahwa ilmu-ilmu kemanusian tidak bisa mencapai derajat sains, tetapi memang antara ilmu-ilmu kemanusian dan ilmu-ilmu kealaman mempunyai jalan dan penyelesaian masing-masing.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Menurut Dilthey, ilmu-ilmu kemanusian objek penelitiannya adalah manusia. Sebagaimana kita ketahui, manusia itu bersifat nonrepetitive (berubah-ubah, tidak mengalami pengulangan). Banyak hal yang ada di dalam batin manusia yang tidak bisa diterangkan oleh nalar ilmu pasti seperti; semangat, hasrat, sedih-senang dll. Lain halnya dengan alam yang bersifat repetitive (tetap), yang kejadiannya berulang-ulang secara terus menerus dan memungkinkan diterangkan dengan nalar ilmu pasti. Oleh karena itu, kita perlu membedakan metodologi antara ilmu-ilmu kemanusiaan dengan ilmu-ilmu kealaman. Di mana paradigma ilmu-ilmu kealaman adalah menjelaskan (<i>Erklaren</i>), sedangkan ilmu-ilmu kemanusiaan paradigmanya bersumber dari pemahaman (<i>Verstehen</i></span><span lang="EN-US">)</span><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">.<a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H7.doc#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="color: black; font-size: 12pt;">[2]</span></span></span></a></span><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Sejarah yang juga masuk dalam rumpun ilmu-ilmu kemanusian (sosial-humanoira) sampai saat ini masih dianggap bukan bagian dari ilmu pengetahuan. Sejarah tidak mempunyai teori baku (spekulatif), tidak bersifat universal (bisa dimanfaatkan dalam segala situasi), dan hasil penelitiannya pun selalu multitafsir bukan general. Oleh karena itu akhirnya pada abad ke-19, Lepold von Ranke mencoba untuk membuat sejarah menjadi ilmiah. Ia menggagas sebuah metodologi sejarah yang akan menuntun sejarawan lebih objektif saat melakukan penelitian. Tapi akhirnya keinginan Ranke itu tetap tidak bisa membuat perubahan bahwa sejarah, bagaimana pun caranya, melekat pada subjektivitas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Satu hal yang perlu diketahui―dan ini tidak dimiliki oleh pengetahuan mana pun ―bahwa sejarah itu bersifat unik, hanya terjadi satu kali dan tidak bisa diulang. Oleh karena itu, orang yang ingin memahami suatu peristiwa masa lampau hanya bisa melirik ke belakang melalui teropong waktu. Persoalannya jenis teropong apa yang akan kita pakai untuk melihat masa lalu itu. <i>Semakin bagus teropong yang kita pakai maka hasil penglihatan terhadap masa lalu itu pun akan semakin baik dan jelas</i>. Sehingga terlihat sudah sejarah itu identik dengan perangkat yang akan kita pakai dalam memahami masa lalu, bukan memaksakannya pada kaidah seperti sains umumnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> <o:p></o:p></span></div><div><br />
<hr align="left" size="1" width="33%" /><div id="ftn1"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H7.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 10pt;"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US" style="font-size: 10pt;"> Heather Sutherland, <i>Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah</i>, dalam <i>Perspektif Baru Dalam Penulisan Sejarah</i>, editor Henk Schulte dkk, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008), hlm 52<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn2"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H7.doc#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 11pt;">[2]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> </span><span lang="EN-US" style="font-size: 10pt;">Lihat Patrick Gardiner, <i>Theories of History</i>, (New York: The Free Press, 1959), hlm. 221-225<o:p></o:p></span></div></div></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-24031901997535000312011-12-31T04:03:00.000-08:002011-12-31T04:21:43.682-08:00Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 6<div class="Section1"><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div class="Section1"><div align="center" class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><span style="font-size: large;">Periodisasi Sejarah Dunia: Manfaat dan Kegunaan</span><o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal"><span style="font-family: 'Times New Roman', serif;"><br />
</span></div></div><br />
<div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Bila berbicara mengenai sejarah dunia, kita tidak akan lepas dari periodisasi sejarah. Periodisasi sejarah mempunyai kegunaan untuk memudahkan pemahaman suatu peristiwa sejarah dalam periode tertentu serta banyak hal lainnya.<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="mso-pagination: none; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;">Tujuan utama mempelajari masa lalu adalah untuk mencari pola-pola tingkah laku dan mengambil kesimpulan mengenai hubungan sebab-akibat yang muncul kembali pada waktu-waktu yang berlainan dan di tempat-tempat yang berbeda. Menurut penulis, terkadang sejarah itu dipengaruhi oleh zamannya. Dalam artian kata, zaman bisa menentukan sejarah yang seperti apa yang akan terjadi. Terkait dengan masalah ini, penulis mencoba bagaimana identifikasi dari periode-periode sejarah dunia sebagaimana dijelaskan dalam artikel Jerry H. Bentley “<i>Cross-Cultural Interaction and Periodizatition in World History</i>”.<a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H6.doc#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 12pt;">[1]</span></span></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="mso-pagination: none; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Jerry H. Bentley adalah seorang profesor sejarah dunia di Universitas Hawaii, AS. Ia bisa disebut pakar dalam sejarah dunia. salah satu buah pemikirannya adalah mengklasifikasikan periode-periode sejarah. Ia melihat, sejarah harus punya perode-periode untuk memudahkan kegiatan pemahaman dalam menganalisis suatu peristiwa. Walaupun sebenarnya penulis melihat buah pemikiran ini hanyalah pengembangan dari pemikir-pemikir sejarah sebelumnya. Namun hanya karena lebih aplikatif, pemikiran ini dianggap penemuan yang luar biasa dalam perkembangan sejarah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="mso-pagination: none; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Di dalam artikelnya, Jerry H. Bentley membagi periodisasi sejarah ke dalam enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis batas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: (1).masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), (2).masa peradaban kuno (2000-500SM), (3).masa peradaban klasik (500 SM-500M), (4).masa post klasik (500-1000M), (5).masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan (6).masa modern (1500 M sampai kini).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Keenam era tersebut terus bergerak ke arah yang lebih kompleks atau rumit. Peristiwa-peristiwa sejarah yang semakin menyeluruh dan saling mempengaruhi antar peristiwa-peristiwa lainnya. Keterlibatan manusia yang banyak juga bisa terilihat ketika tumbuh dan berkembangnya suatu pemerintahan atau peradaban pada periode-periode tertentu. sedangkan alat-alat atau bukti-bukti untuk mengungkapkannya suatu peristiwa sejarah, semakin ke atas periodenya maka semakin banyak alternative bukti. Sehingga terlihat pula sejarah berkembang dari masa ke masa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Dari bebarapa penjelasan yang terdapat dalam artikel tersebut. Penulis menyimpulkan bahwa, periodisasi mempunyai banyak manfaat antara lain, memudahkan pemahaman dan pengertian tentang peristiwa tertentu yang terjadi dalam periode tertentu, melakukan penyederhanaan, klasifikasi dalam ilmu sejarah, dan melihat jenis produk historiografi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif;"> Selain itu, penulis melihat sepertinya Jerry. H. Bentley mencoba untuk menerangkan pula bahwa periodisasi mempunyai kriteria-kriteria yang penulis tangkap seperti adanya geografis (kewilayahan), urutan zaman, waktu atas dasar dinasti, waktu atas dasar perkembangan ekonomi, dan sebagainya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div><div><br />
<hr align="left" size="1" width="33%" /><div id="ftn1"><div class="MsoFootnoteText" style="text-align: justify; text-indent: .5in;"><a href="file:///D:/Campus%20Duty/(4)%20Tugas%20Kampus/S2%20Semester%20I/H6.doc#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US"><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 11pt;">[1]</span></span></span></span></a><span lang="EN-US"> Jerry H. Bentley,” <i>Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History</i>”<i> The American History Review</i>, Volume 101, no.3 (June1996): 749-770</span></div></div></div></div><div><div id="ftn2"></div></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-44146357051064959732011-12-31T04:02:00.003-08:002011-12-31T04:07:28.805-08:00Tugas Review Historiografi Mario 7<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">Pemahaman Sejarah : Tinjauan Mengenai Kebenaran dan Penulisan<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Definisi sejarah setidaknya dapat diketahui dari penjelasan yang ada di Concise Oxford Dictionary (1964), yaitu suatu catatan yang sistematis dalam menjelaskan kejadian yang ada di masyarakat, selain itu juga tentang dinamika negara yang berkaitan dengan keberadaan manusia dan benda-benda yang digunakan. Dalam pengertian yang lain juga disebutkan bahwa sejarah adalah rangkaian kejadian yang berkaitan dengan bangsa, dalam hal ini maka sejarah adalah totalitas dari seluruh kejadian, sedangkan penjelasan dari Oxford Dictionary adalah menekankan tentang narasi kronologis yang dapat disusun, dimana elemen dari masa lalu yang penting merupakan sebuah penjelasan tentang dunia yang kita alami.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Sejak munculnya definisi dari Oxford Dictionary maka telah banyak berpengaruh bagi sejarawan, para sejarawan dipaksa untuk bertanya mengapa mereka menetapkan pilihannya. Sejarah Profesional Modern (SPM) telah mencerminkan hubungan yang erat antara ilmu yang baru dengan negara modern, sejarah nyata adalah sebuah rekonstruksi dari apa yang sebenarnya terjadi, hal ini biasanya Inggris dan Perancis memegang peranan penting karena kedua negara itu terdapat kekuasaan yang dipegang oleh kelompok elit. Heather Sutherland merupakan sejarawan yang terkenal dalam pembahasan sejarah mengenai “Elit Birokrasi”, hal ini telah menjadi suatu cirri khas dari spesialisasi yang dimilikinya. Ada sedikit pertentangan dari penjelasan Sutherland yang dirasa kurang efisien, dimana ia mempertentangkan antara istilah “Islam dan Cina” dengan istilah “Barat” (yang dikutip dari Huntington), hal ini jelas menjadi suatu kontradiktif yang tidak sepadan. Istilah pertentangan seharusnya dibandingkan dengan yang sepadan, seperti Islam vs Kristen, Islam vs Yahudi, Barat vs Timur, Cina vs Inggris, dan Asia vs Eropa. Dengan begitu maka dapat lebih detail dalam hal pertentangan dan perbandingan yang sejenis.<b><i><o:p></o:p></i></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Fukuyama menyatakan bahwa keruntuhan Uni Sovyet adalah sebagai pertanda tentang akhir sejarah, hal ini telah menjadi sesuatu yang implisit dan pesimisme, dimana ada klaim tentang berakhirlah semua sejarah yang ada di dunia. Saya tidak setuju dengan ide itu dengan alasan bahwa sejarah sebenarnya akan terus hidup hingga akhir zaman, jika tolok ukur tentang keruntuhan pada istilah peradaban maka saya setuju (seperti teori A. Toynbee), namun jika hal itu ditujukan pada realitas sejarah maka saya tidak setuju, asumsi saya adalah sejarah memiliki sifat yang kekal (abadi) hingga akhir zaman, meskipun orang yang bersangkutan telah mati namun bagi orang yang hidup dan mengetahui kehidupan tokoh itu maka akan menjadi sebuah memory yang tersendiri. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Beberapa penulis mengatakan bahwa sejarah adalah lebih dekat dengan sastra dibandingkan dengan ilmu pengetahuan, hal ini telah dipelopori oleh Hayden White (bapak sejarah postmodern), dimana ia telah menerbitkan karya “Metahistory : The Historical Imagination in Nineteenth Century in Europe”. Banyak perbedaan yang menghiasi pemikiran para sejarawan, yaitu dari sejarawan tradisional, sejarawan modern, hingga sejarawan postmodern. Berbagai pertentangan it uterus terjadi perselisihan dan muncul sikap penolakan antar pemikiran masing-masing kelompok sejarawan. Sutherland mencoba untuk memfokuskan pada masalah teoritis dan praktis, maslah filosofis juga tidak dapat dihindarkan yaitu tentang istilah “kebenaran”, otoritas dalam sebuah sejarah juga memiliki fungsi yang penting, dimana hal itu menjadi sebuah tantangan dalam metodologi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Epistemologi adalah kajian filsafat tentang ilmu pengetahuan, yaitu bagaimana kita mengetahui sesuatu dan apa hubungan pengetahuan itu dengan kebenaran. Kebenaran pada dasarnya tidak bersifat tunggal dan masing-masing manusia memiliki perspektif kebenaran yang berbeda, hal ini juga menjadi penekanan saya bahwa kebenaran adalah bersifat ganda, lalu dalam proses selanjutnya akan menciptakan suatu otoritas yang digunakan oleh masing-masing manusia. Dalam penjelasan tentang istilah “kebenaran” ini maka tidak hanya berhubungan dengan aspek metodologis dalam sejarah, tetapi juga berkaitan dengan “kebenaran” dalam logika pemikiran ilmiah (seperti yang banyak dijelaskan oleh Karl Popper dalam studi filsafat).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Perkembangan zaman yang ditempuh oleh sejarah Eropa adalah meninjau tentang proses mencapai modernisasi (dari era klasik, era pertengahan, hingga era modern), sedangkan dinamika yang muncul dalam sejarah Indonesia adalah berupa pergantian kekuasaan (rezim), yaitu dengan cara konfrontasi untuk mengambil alih power dalam negara. Kondisi politik selalu membentuk konstruksi sejarah, adakalanya dalam suatu pergolakan telah muncul istilah “radikalisme”. Eric Hiariej menjelaskan bahwa sikap radikal juga diperlukan dalam kehidupan demokrasi di Indonesia, dimana sikap radikal dapat mendukung untuk membangun negara dengan pemikiran kreatif, namun Eric tidak setuju jika radikalisme itu disalahgunakan, dimana penyalahgunaan itu akan mengarah pada kekerasan (violence) dan akhirnya menjadi terorisme. Budiawan juga menyatakan bahwa sejarawan merupakan seseorang yang ditakuti oleh pemerintahan Rusia (era kekuasaan Vladmir Puttin), dimana seorang sejarawan memiliki potensi yang berbahaya yaitu dapat membongkar tentang keburukan para elit pemegang kekuasaan negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Teori adalah sebuah instrumen yang berguna untuk mengidentifikasikan hubungan yang memiliki sifat potensial, jika dihadapkan dengan variabel yang banyak maka penerapan teori secara spesifik juga sulit untuk diterapkan, oleh karena itu maka mayoritas sejarawan cenderung menggunakan teori yang tidak terlalu ketat. C.A. Bayly telah menerbitkan sebuah karya besar sejarah pada tahun 2004, yaitu “The Birth of the Modern World 1780-1914”, dalam karya itu Bayly menentang sikap keistimewaan dunia Barat, namun dalam prakteknya ia juga menentang cara pandang yang relativisme total, Bayly lebih menekankan pada sejarah global yang terdapat hubungan saling keterkaitan antar aspek (ada proses kausalitas). Di akhir pembahasan maka Sutherland mengatakan bahwa seorang sejarawan sudah sepantasnya untuk berkaca pada masa lalu (dalam melihat masa kini), karena dengan adanya sikap kesadaran diri dan pemikiran kritis (dalam profesi sejarah) maka dapat menggambarkan realitas masa lalu agar lebih bermakna, kemampuan manusia pada dasarnya terus berkembang dari zaman ke zaman, oleh karena itu maka diharapkan agar dapat menciptakan sebuah interpretasi yang lebih realistis dan efisien dalam menggambarkan realitas sejarah yang ada di masa lalu.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-58318087469734475872011-12-31T04:00:00.001-08:002011-12-31T04:06:43.315-08:00Tugas Review Historiografi Mario 6<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">Interaksi Silang Budaya dan Periodesasi Sejarah Dunia<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Periodesasi merupakan sebuah aspek penting dalam studi sejarah, identifikasi tentang periode sejarah terasa lebih banyak jika dibandingkan dengan penemuan dari fakta sejarah yang ada di masa lalu, kajian sejarah adalah meninjau tentang proses yang terjadi di masa lalu dan memiliki nilai penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia, kriteria itu telah diakui oleh para sejarawan yaitu dengan menunjukkan perubahan yang terjadi secara berkelanjutan. Dengan kerangka seperti itu tampaknya akan menjadikan sebuah komunitas yang tunggal. Joan Kelly mencoba untuk mengemukakan perspektif baru dalam perubahan secara konvensional, ia menyatakan bahwa “Apakah wanita juga mengalami Renaissance ?”, hal itu rupanya masih menjadi perdebatan hingga masa kini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Para sejarawan dalam realitasnya telah membagi sejarah menjadi 3 periode (zaman klasik, zaman pertengahan, dan zaman modern), hal ini telah menjadi asumsi dasar bagi para sejarawan Eropa. Interaksi silang budaya adalah sebuah pengalaman dari setiap kehidupan manusia, interaksi itu merupakan sebuah fenomena yang akan menjadi periodesasi global sejarah dunia. Kemudian ada pendapat yang menyatakan bahwa periodesasi global tidaklah merepresentasikan kesejarahan, dimana struktur sosial dan tradisi kebudayaan pada dasarnya telah memiliki pengalaman dan berkembang secara alamiah. Bagaimanapun juga periodesasi global merupakan studi sejarah yang sifatnya kontemporer, dimana para sejarawan telah menginterpretasikan masa lalu secara komparatif berdasarkan sumber yang ada, identifikasi periode sejarah biasanya berdasarkan perkembangan unsur geografi dan konteks budaya.<b><i><o:p></o:p></i></b></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Mengenai perkembangan sejarah pra modern maka dapat kita ketahui pada periode waktu sebelum tahun 1492, perspektif ekonomi dari kehidupan pra modern adalah memandang komoditas barang mewah sebagai hal yang berharga dan memiliki nilai tinggi. Pada zaman pra modern di Cina telah memperlihatkan bahwa barang mewah merupakan komoditas yang penting, kelompok elit telah menjadi symbol kekuatan, selain itu juga memiliki status yang tinggi dan memegang otoritas publik. Zaman pra modern setidaknya telah menggambarkan beberapa kehidupan manusia, seperti penggunaan teknologi sederhana, melanjutkan tradisi metalurgi dari zaman klasik, menggunakan tenaga hewan, dan melakukan proses difusi secara alamiah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Interaksi silang budaya telah ada pada kehidupan manusia sejak zaman purba, para ahli menyatakan bahwa interaksi itu muncul sejak periode 30.000 SM yaitu pada zaman kehidupan manusia purba, lalu sejak periode 15.000 SM manusia telah memiliki habitat yang tersendiri dari masing-masing lingkungannya, setidaknya mereka telah memiliki bahasa keluarga dalam berkomunikasi dan ada karakteristik material kehidupan yang digunakannya. Sejak tahun 5000 SM maka ditemukan teknologi penggunaan roda dan perhitungan waktu yaitu pada peradaban Sumeria, lalu berlanjut ke peradaban lainnya seperti Mesir (4000 SM), Asyiria (3500 SM), Akadia (3000 SM), Babylonia (2500 SM), dan India (2000 SM). Teknik bercocok tanam telah dikembangkan pada masing-masing peradaban itu dan terus menyebar hingga ke berbagai wilayah di dunia, dalam perkembangannya juga mengalami peningkatan pada teknologi yang digunakan di periode selanjutnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Demografi kesejarahan telah memperkirakan jumlah manusia yang ada di dunia, era 3000 SM terdapat 14 juta manusia, era 2000 SM terdapat 27 juta manusia, era 1000 SM terdapat 50 juta manusia, dan era 500 SM terdapat 100 juta manusia. Pada zaman peradaban klasik (500 SM - 500 M) telah muncul pemikiran filsafat di Yunani, di Cina juga telah memunculkan tradisi yang tersendiri seperti berkembangnya konfusianisme dan taoisme, kemudian peradaban Romawi telah mulai mendominasi di area Mediterania (Laut Tengah) yaitu ketika peradaban Yunani telah mengalami keruntuhan. Peradaban Cina setidaknya telah menggambarkan karakteristik yang tersendiri, dimana kebudayaan Cina yang terkenal adalah produksi kain sutra, sedangkan sumber kekayaan yang berupa logam mulia banyak terdapat di wilayah Syberia dan India.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Byzantium merupakan sebuah kekuasaan di Eropa Timur yang hanya melanjutkan tradisi peradaban Romawi, Byzantium tidak menghasilkan suatu kreasi imperial yang baru tetapi realitas dari kekuasaan Romawi tetap ia pertahankan. Selama 5 abad (600-1100 M) telah terjadi persaingan 2 kekuatan yang besar, yaitu antara kekuatan Byzantium di Eropa Timur dengan kekuatan Islam di Asia Barat, keduanya terus berperang untuk mendapatkan kekuasaan yang penuh di Mediterania. Prediksi kondisi demografi pada era menjelang modern juga terdapat perbedaan, penduduk Cina pada periode 1200 M - 1400 M diperkirakan mengalami penurunan yaitu dari 115 juta manusia menjadi 75 juta manusia, sedangkan penduduk di Eropa pada periode 1300 M - 1400 M juga diperkirakan mengalami penurunan yaitu dari 79 juta manusia menjadi 69 juta manusia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Berdasarkan penjelasan diatas maka saya dapat memberikan suatu kesimpulan, bahwa perkembangan kehidupan manusia pada dasarnya terdapat sebuah proses yang berjalan dari waktu ke waktu, proses peristiwa merupakan sebuah tinjauan yang sangat penting dalam kajian sejarah, dimana sifat unik dan diakronis merupakan hal yang ada dalam peristiwa sejarah. Selain itu kajian sejarah lebih memfokuskan pada proses kejadian, hal ini jelas berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang lebih memfokuskan pada esensi dari peristiwa. Periodesasi merupakan sebuah kajian yang banyak terdapat dalam studi sejarah, hal ini merupakan kerangka dasar yang menjadi sebuah karakteristik utama dari sifat kesejarahan, dimana periodesasi telah menjadi suatu generalisasi yang membagi era-era perkembangan berdasarkan karakteristik yang berbeda (dari waktu ke waktu). <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Berbagai penjelasan yang dikemukakan oleh Jerry H. Bentley rasanya cukup menarik dalam membahas periodesasi, namun mengenai bentuk-bentuk periodesasi yang dijelaskan masih terdapat artikulasi ataupun pemaknaan yang membingungkan, para pembaca sebenarnya juga memiliki pemahaman yang baik tentang sejarah, akan tetapi ketika dihadapkan dengan penjelasan Bentley maka akan menimbulkan ketimpangan baru dan berbagai pertanyaan ?. Penjelasan dari Bentley ini saya rasa kurang bersifat kronologis, dimana ada penjelasan kronologis yang berloncat-loncat (dari masa lalu ke masa selanjutnya, lalu kembali lagi ke masa lalu) dan terasa cukup membingungkan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 12pt; line-height: 150%;"> Bentley mengatakan bahwa peradaban Eropa klasik terdapat pada periode 500 SM - 500 M, akan tetapi dalam realitas sumber-sumber sejarah tidaklah demikian, banyak para sejarawan Eropa (termasuk Arnold Toynbee) mengatakan bahwa peradaban Eropa klasik sudah ada sejak 1200 SM (adanya kisah perang Troya), kemudian era pemikiran para filsuf Yunani (Thales, Parmenides, dan Heracleitos) telah dimulai sejak abad 8 SM. Substansi dari pemikiran Bentley tampaknya berdasarkan komparasi yang kurang valid, dimana ada beberapa statement yang terasa bertolak belakang dari logika dan realitas sejarah yang ada. Karya Arnold Toynbee yang berjudul “Sejarah Umat Manusia” (terjemahan) menurut saya lebih bersifat realistis dalam menggambarkan proses sejarah secara detail dan kronologis, disamping itu karya Rochiati Wiriaatmadja yang berjudul “Sejarah Peradaban Cina” juga terasa lebih jelas dan detail dalam menggambarkan proses sejarah tentang berbagai dinasti yang ada di Cina secara kronologis (dari zaman purba hingga zaman modern).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-56108616290841765172011-12-31T03:41:00.003-08:002011-12-31T03:41:12.985-08:00Tugas Review Historiografi Mufidha Briliani 7<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Periodisasi Sejarah Dunia<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Review</span></i></b><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;"> Artikel “<i>Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History”</i> <o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">oleh Jerry H. Bentley</span></b><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 13.0pt; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;"><o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;"> Artikel yang ditulis oleh Jerry H. Bentley ini berbicara mengenai periodisasi dalam sejarah dunia. Dia menyatakan perlunya kesadaran bagi para sejarawan tentang kenyataan bahwa tidak selalu periodisasi global bisa diperlakukan sama pada semua wilayah. Masing-masing daerah memiliki latar belakang sejarah yang sulit untuk digeneralisasi. Namun walaupun begitu, Betley juga menyatakan bahwa selama kita mempertimbangkan beberapa kaidah komparatif yang berkaitan dengan interaksi lintas budaya, maka periodisasi global tetap bisa diterapkan dalam sejarah kontemporer. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Dalam artikel ini selanjutnya Bentley banyak menyinggung mengenai sebab-sebab terjadinya interaksi lintas budaya pada masyarakat dunia. Sebab-sebab tersebut diantaranya adanya migrasi, berdirinya kerajaan-kerajaan, dan perdaganggan yang jangkauannya lintas negara dan benua. Inti dari artikel ini adalah mengenai periodisasi sejarah dunia oleh Bentley. Dia membagi dunia dalam enam masa atau era, yaitu, Masa Masyarakat Kompleks Awal (3500-2000 SM); Masa Peradaban Kuno (2000-500 SM); Masa Peradaban Klasik (500 SM-500 M); Masa Post Klasik (500-1000M); Masa Kerajaan Nomadik Lintas Wilayah (1000-1500 M); dan Masa Modern (1500 M – Sekarang).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Salah satu sifat sejarah adalah diakronik, maka berhubungan erat dengan kronologi atau urutan waktu. Sedangkan periodisasi merupakan bentuk penyederhanaan melalui konseptualisasi untuk menjelaskan urutan waktu yang panjang (kronologis). Hubungannya dengan periodisasi sejarah dunia, dalam hal ini saya beranggapan seperti juga yang dikemukakan Bentley di awal-awal artikelnya bahwa akan sangat sulit menentukan periodisasi sejarah dalam lingkup global karena beberapa wilayah memiliki latar belakang yang terlalu berbeda. Pengeneralisasian dengan model apapun dalam memandang sejarah dunia, menurut saya sampai saat ini masih belum bisa diterima. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Kemudian, ketika menanggapi periodisasi yang dikemukakan Bentley yang mendasarkan pada analisis interaksi lintas budaya, bagi saya pun hal ini masih belum bisa diterima secara utuh. Walaupun apa yang diungkapkanya sudah jauh lebih baik daripada periodisasi sebelum-sebelumnya yang terlalu Eropasentris (misalnya yang membagi zaman ke dalam masa pra-Industri; Industri; dan Post-Industri atau yang membagi zaman ke dalam masa kegelapan; pencerahan; modern; dan lain-lain) tetapi, tetap saja ketika misalnya kita melihat periodisasinya masa Kerajaan Nomadik Lintas Wilayah yang dilakukan Bentley, saya kemudian bertanya bukankah tipe-tipe kerajaan di seluruh dunia berbeda-beda? Dan bukankah dalam catatan sejarah, masa berdirinya Kekaisaran China berbeda dengan masa berdiri dan runtuhnya kerajaan-kerajaan di Nusantara? Belum lagi apabila dalam beberapa wilayah, masa berdiri suatu kerajaan tertentu belum bisa dipastikan.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Sehingga, saya berpendapat bahwa menyederhanakan urutan waktu secara global dalam sejarah dunia masih kurang bisa diterima, kecuali kita mengelompokkannya dalam kawasan-kawasan tertentu. Misalnya, Periodisasi Sejarah Eropa, Periodisasi Sejarah Asia Timur, atau mungkin Periodisasi Sejarah Amerika, dan lain sebagainnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Referensi: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="line-height: 150%; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -.25in; text-justify: inter-ideograph;"><!--[if !supportLists]--><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Book Antiqua"; mso-fareast-font-family: "Book Antiqua";">1.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span><!--[endif]--><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">Bentley, H. Jerry (1996). Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History. <i>The American Historical Rivew</i>, 101, 749-770.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="mso-list: l0 level1 lfo1; text-indent: -.25in;"><!--[if !supportLists]--><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: "Book Antiqua"; mso-fareast-font-family: "Book Antiqua";">2.<span style="font: 7.0pt "Times New Roman";"> </span></span><!--[endif]--><span lang="EN-US" style="font-family: "Book Antiqua","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-bidi-font-family: "Times New Roman"; mso-bidi-theme-font: major-bidi;">P. Swantoro. <i>Dari Buku ke Buku,</i> Jakarta: Gramedia, 2002<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-88882925256434292202011-12-31T03:36:00.001-08:002011-12-31T03:36:42.655-08:00Tugas Review Historiografi Partiningsih 7<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"></div><div align="center" class="MsoNormal"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Meneliti sejarah penulisan sejarah Heather Sutherland<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sejarah menurut konsepnya ada dua. Yang pertama sejarah ialah narasi kronologis yang kita putuskan untuk disusun. Kedua, sejarah adalah keseluruhan dari kejadian-kejadian yang tidak terhitung banyaknya dari masa lalu itu sendiri. Bagaimana mengatasi kontradiksi yang tidak terelakkan antara narasi terfokus ciptaan kita (sejarah sebagai catatan) dan kekacauan masa lalu (sejarah sebagai kejadian) yang menjadi persoalan utama historiografi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Historiografi Indonesia pada prinsipnya, tidak dapat dipandang sebagai sekedar suatu penyuntingan ulang terhadap cerita lama. Untuk menjadi disiplin ilmu historiografi harus berkembang dari kehidupan masyarakat yang hidup. Sejarah yang akan ditulis ialah sejarah yang melukiskan perikehidupan bangsa menurut norma-norma kebenaran ilmiah.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dari hal tersebut di atas kita dapat melihat bahwa pada dasarnya yang harus kita teliti dalam penulisan sejarah adalah siapa yang menulis sejarah itu dan pada masa kekuasaan siapa sejarah itu ditulis. Kita tahu bahwa ketika kekuasaan bergeser, maka terjadi pula pergeseran sejarah yang secara kronik dan genealogi harus disesuaikan. Sebagai contoh misalnya penulisan sejarah pada masa Soeharto berkuasa, buku sejarah tentang mantan tapol tahun 65 pempublikasiannya tidak akan semudah sekarang. Banyak pertimbangan dari akibat yang harus dialami misalnya ditangkap dan dipenjara, meskipun itu mahasiswa yang melakukannya tidak perduli. Akan tetapi kita dapat melihat bahwa setelah Soeharto lengser dan digantikan penguasa lain, maka buku tentang tahun 65 yang pernah menggemparkan Indonesia dengan mudah dapat menyebar ke seluruh pelosok negeri. Bahkan orang-orang yang tadinya bungkam terhadap masalah ini pada akhinya muncul dengan sendirinya tanpa dibebani rasa takut untuk mengungkapkannya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dari hal tersebut telah terbukti bahwa memang benar jika politik selalu mempengaruhi bentuk konstruksi sejarah yang kemudian memunculkan dilema yang dihadapi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Hal itu karena yang pertama demi kepentingan nasional terdapat permasalahan politis, yang kedua terdapat permasalahan ilmiah yang muncul dari tuntutan-tuntutan mengenai studi tentang sejarah yang mungkin bertentangan dengan kepentingan politis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kita tahu bahwa historiografi Indonesia tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan yang melahirkannya, sehingga pandangan mengenai sejarah adalah sangat fundamental dalam membedakan modernitas dari tradisi. Untuk itu maka modernitas ditandai oleh kemajuan, sedangkan tradisi oleh pelestarian. Modernitas diasumsikan sebagai historiografi model barat, yang memunculkan historiografi eropasentris. Di sini sejarawan modern merupakan bagian dari kaum elite kota yang terpelajar dan disubsidi oleh pemerintah. Mereka biasanya berperan sebagai pengkritik suatu pemerintahan dan kebijakan-kebijakan yan dilakukan oleh pemerintah. Di sini akan sangat terlihat mengenai kecenderungannya terhadap sejarah lokal yang kurang menarik simpati mereka.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Untuk itu sebuah tantangan besar yang harus dihadapi oleh sejarawan Indonesia adalah dalam mengungkapkan kesubyektifan sejarah dalam historiografi. Kecenderungan arah terkadang menjadi tolok ukur sejarawan dalam historiografi, masih cenderung dari sudut pandang eropasentris ataukah memang sudah benar-benar indonesiasentris. Karena kita tahu bahwa historiografi Indonesia pandangan yang bercorak Indonesia dan tersedianya fakta-fakta hasil penyelidikan ilmiah<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-72641652261642256222011-12-31T03:35:00.001-08:002011-12-31T03:35:11.984-08:00Tugas Review Historiografi Partiningsih 6<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Review Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jerry H. Bentley<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jerry menyatakan bahwa periodisasi menududuki atas diantara tugas yang lebih sulit dalam pembelajaran sejarah. Sejarawan menyadari bahwa skema periodisasi dapat berasal dari pengalaman orang barat untuk menjelaskan sejarah orang atau bangsa lain. Hal ini karena banyak sejarawan mengambil pendekatan secara global untuk memunculkan periodisasinya. Sehingga muncul pertanyaan, sejauh mana periode pengidentifikasian berguna dan koheren diantara garis batas masyarakat dan area budaya, kriteria atau prinsip apa yang mungkin membantu sejarawan untuk menentukan pola kontinuitas dan perubahan dan untuk membedakan periode tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dari waktu yang lampau sampai saat ini, interaksi lintas budaya memiliki percabangan politik, sosial ekonomi dan budaya yang signifikan untuk semua orang yang terlibat, sehingga para ahli semakin mengakui bahwa sejarah adalah produk dari interaksi yang melibatkan orang di dunia. Dalam periodisasi global sering digambarkan sebagai perkembangan historis dalam perkiraan, karena memiliki potensi untuk merefleksikan secara akurat pola lokal dari kontinuitas dan perubahan. Selain itu periodisasi global juga memiliki tempat dalam ilmu sejarah kontemporer.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam tulisan ini di jabarkan pula mengenai periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama, yaitu masa masyarakat kompleks, masa peradaban kuno, masa peradaban klasik, masa post klasik, masa kerajaan nomadik transregional dan masa modern yang berlangsung hingga kini. Pada masa modern serangkaian inovasi dalam teknologi transportasi memfasilitasi pembentukan hubungan antar masyarakat manusia dan mendukung interaksi lintas budaya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dalam berbagai kasus difusi kuda dan teknologi transportasi terkait segera menjadi penting untuk tujuan menetapkan dan mempertahankan Negara dan hierarki sosial pada masyarakat kompleks awal. Interaksi lintas budaya juga memiliki efek pada zone penanaman, sehingga pertanian menyebar luas. Keunggulan teknologi yang menetapkan masyarakat pertanian mengalahkan orang nomaden dan memunculkan Eropa sebagai kekuatan unia. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Begitu juga dalam perdagangan. Dalam tulisan ini ditunjukkan bahwa keunggulan Afrika Timur dan Barat pada dunia perdagangan besar menunjukkan bahwa periodisasi berdasarkan pada interaksi lintas budaya yang memiliki aplikasi di luar Eropa dan Asia pada masa pra modern. Akan tetapi adanya perdagangan yang regular dan jarak yang jauh juga menjadi penyebab penyebaran penyakit pes yang menyebabkan banyak terjadi kematian, sehingga mengganggu jalannya perekonomian, perdagangan dan komunikasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Selain itu pada suatu era yang di labeli masa gelap, interaksi lintas budaya memperkuat pertukaran agama dan budaya yang membentuk sejarah belahan timur dalam masa modern. Pertukaran ini telah banyak bekerja dalam sejarah lama dan mereka memerlukan pengenalan apa yang muncul pada periode global. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Jadi dapat kita simpulkan bahwa interaksi lintas budaya dapat kita gunakan untuk menggambarkan periode sejarah pada masa modern. Sehingga interkasi lintas budaya dapat digunakan oleh sejarawan untuk memandang masa lalu dari perspektif yang lebih luas, komparatif dan global dan mereka akan selalu mengingat interaksi lintas budaya dalam membentuk sejarah umum di dunia.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-50244747472532745092011-12-31T03:34:00.003-08:002011-12-31T03:34:18.892-08:00Tugas Review Historiografi Partiningsih 5<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Review On the Writing of Indonesian History<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 115%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Karya Justus M. van der Kroef<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Menurut van der Kroef interpretasi dari sebuah Negara yang baru merdeka merupakan suatu kebutuhan. Hal ini biasanya ditunjukkan atau dilakukan oleh kaum nasionalis dari Negara tersebut. Seperti indonesia pada waktu baru merdeka, banyak tokoh-tokoh pergerakan nasional yang mulai memunculkan dirinya, yang mana hal tersebut merupakan bagian dari sebuah protes dari indoktrinasi masyarakat yang menjadi tujuan dari sebuah idiologi suatu Negara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Sayangnya dalam penulisan historiografi sejarah Indonesia, yang bertujuan mengembalikan Indonesia sesuai dengan kultur budaya Indonesia, masih di bayang-bayangi oleh Belanda. Meskipun sudah berjalan selama tiga dekade penulisan sejarah Indonesia masih terikat dari sudut pandang orang belanda atau kolonial.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Van der Kroef melihat ada tiga tren baru dalam penulisan sejarah, yang mengubah konsepsi dari penulisan sejarah Indonesia. Yang pertama adalah dari Van Leur yang mengemukakan pandangan barunya tentang penulisan sejarah Indonesia. Usaha dalam pencarian sumber penulisan dilakukan dengan melihat kehidupan langsung masyarakat Indonesia yang disusunnya dalam suatu segi yang menarik dar sejarah orang-orang Indonesia yang hidup pada masa belanda. Meskipun sebelumnya van leur juga sudah melihat penulisan sejarah Indonesia dalam versi orang Belanda.van leur sering mengkritik sejarahwan kolonial yang memiliki pandangan internal tentang Indonesia. Hal itu disebabkan karena bangsa barat dalam mencari sumber penulisan sejarah tidak terjun langsung dalam masyarakat Indonesia melainkan hanya dari atas deck kapal, sehingga tidak mengetahui hal-hal yang menarik dalam masyarakat Indonesia. Selain itu kritikan van leur juga seakan-akan menganggap bahwa orang-orang Belanda dan VOC tidak baik dalam penulisan sejarah Indonesia, mungkin maksud van leur tidak sampai itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kontribusi van leur dalam histiriografi sejarah Indonesia, tidak pada sumber baru melainkan sumber-sumber itu dilihat dari sudut pandang van leur yang modern. Yang mana cara pandang tersebut mengacu pada metodologi max weber yang seorang ahli sejarah sosiologi. Yang salah satu hasilnya itu memberikan pandangan tentang kota/serikat, perdagangan yang masih dalam esensi prostruktural. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;"> Yang kedua dari C. C. Berg. Berg melakukan interpretasi sejarah Indonesia dari masa prakolonial. Sumber-sumber yang digunakan pun berupa tulisan-tulisan jaman dahulu seperti babad, pararaton, Negara kertagama babad tanah jawi, hikayat, tambo dan hal-hal lain yang bersifat mistis. Berg lebih tertarik pada penulisan historiografi Indonesia pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan kuno, seperti mataram, majapahit dan yang lainya. Kontribusi Berg adalah dalam historiografi jawa kuno. Yang jika saya melihat Berg seperti seorang pujangga eropa yang mendalami historiografi jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Yang ketiga dari G. J Rezink. Rezink melakukan interpretasi bari dari sejarah otoritas kolonial Belanda dengan bermacam-macam prinsip yang ada di Indonesia. Rezink juga melihat dalam tiga abad Indonesia berada dalam dominasi bangsa Belanda bahkan semua administrasi ada dalam pengawasan Belanda. Mungkin ini sebuah anggapan bahwa Indonesia sudah menjadi kesahan alam jika berada dalam pemerintahan belanda.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Menurut saya historiografi penulisan sejarah Indonesia oleh van der kroef merupakan akumulasi dari sudut pandang penulisan sejarah dari tokoh-tokoh tersebut di atas. Padahal kita tahu banyak penulis Belanda yang menulis tentang sejarah Indonesia, tetapi yang menarik adalah sudut pandang penulisan sejarah Indonesia dari kacamata bangsa asing, yang ditulis dari sejarah Indonesia sebelum kolonial sampai pasca kolonial. <o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-24117393668563541832011-12-31T03:33:00.001-08:002011-12-31T03:33:07.106-08:00Tugas Review Historiografi Partiningsih 4<div class="MsoNormal"><br />
</div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Review Abad Ke 18 Sebagai Kategori Dalam Penulisan Sejarah Indonesia<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Karangan J.C Van Leur<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Pada abad ke 17 penulisan sejarah Indonesia yang berasal dari penulis Hindia Belanda sudah dimulai. Dalam penulisannyapun tidak dapat disamakan dengan sejarah kompeni. Van Leur melihat dari berbagai sudut pandang. Saya melihat dari sudut pandang orang Barat selama ini telah menganggap orang atau Negara timur mengalami kebobrokan dalam segala hal pada abad itu. Jika melihat dari sudut pandang timur sebenarnya sudah mengalami kejayaan kekuasaan dan politik, seperti contoh majunya Negara Cina dan Jepang. Pada abad ke 18 penguasaan orang barat terhadap orang timur, khususnya Asia Tenggara mengalami kemunduran. Di Indonesia merupakan politik nusantara yang ditunjukkan adanya Batavia, Benteng dan yang lain yang dijadikan sebagai buktinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Indonesia pada masa itu khususnya di Jawa, jika melihat kekuasaan keraton-keraton Jawa mungkin kita akan merasa lebih unggul dibandingkan dengan Negara barat. Anggapan bahwa Negara timur merupakan Negara miskin lambat laun mulai memudar, bahkan Rouffaer sampai mengungkapkan perasaannya dengan sangat halus tentang kebudayaan Jawa. Tulisan Van Leur ini memberikan perbandingan historiografi Negara barat dan timur dari berbagai sudut pandang. Gaya perbandingan sesuai dengan porsinya sehingga keunggulan dari masing-masing bagian Negara dapat terlihat.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dalam lingkup kolonial Belanda, Indonesia masih mampu melakukan transaksi dengan Negara luar, sehingga menampakkan kurva kenaikan dan penurunan tingkat ekonomi dengan adanya kegiatan ekspor impor bahkan sampai abad ke 19. Di sini saya dapat melihat bahwa Van Leur membandingkan Negara penjajah dan jajahan dengan seimbang. Van leur sangat cerdik dalam membingkai perbandingan tulisannya yang disesuaikan dengan paparan historiografi belum diidentifikasikan secara lengkap.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-56702830074781739812011-12-31T03:03:00.000-08:002011-12-31T03:03:00.011-08:00Tugas Review Historiografi Partiningsih 3<div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US">Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US"><br />
</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Dalam tulisan Donald E Weatherbee tentang Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections, yang menjadikan karya Raffles orang yang pertama menulis tentang kebudayaan jawa yang terkenal dengan bukunya History of Java. Dalam pencarian dan pengumpulan sumber bahan raffles tidak sendirian, ia dibantu oleh Mackenzie dan istrinya yang khusus mencari sumber dari dalam keraton.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US">Mackenzie sangat berjasa dalam member kontribusi kepada Raffles dalam penulisan History of Java yang telah dilakukan sejak 1796 yang kemudian di tahun 1811 menjadi pemimpin lagi pada ekspedisi ke Jawa. Dalam pengumpulan sumber penulisan Mackenzie dengan mudah mendapatkannya karena telah mendapat ijin dan dukungan dari sultan, sehingga dapat dikatakan bahwa tulisan Raffles menjiplak dari tulisan Mackenzie, padahal dalam pencarian sumberpanulisan yang dilakukan Mackenzie semua biayanya ditanggung oleh Raffles.</span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US">Selain Raffles ada Engelhard dalam Serat Kanda dan Middelkoops dalam History of Java. Kemiripan penulisan sejarah di jawa oleh ke tiga tokoh tersebut memang ada karena sumber yang digunakan hmpir sama sehingga tulisannya pun tidak jauh berbeda yaitu tentang kebudayaan jawa, kerajaan, raja-raja jawa juga bidang sosial ekonomi. Jika melihat tulisan Raffles dalam History of Java, bukuny berisis laporan perjalanan Raffles dan menurut saya dapat dikatakan sebagai buku harian Raffles, meskipun isinya sangat lengkap tentang sejarah jawa. Kita juga tahu karya Engelhard dalam Surat Kanda yang isinya belum kita ketahui kebenaran tulisan dan isisnya dan sudah diterjemahkan dalam berbagai bahasa yang semakin membingungkan.Akan tetapi jika tulisan Raffles dimasukkan dalam katagori historiografi pada masa sekarang ini, maka tulisan Raffles tidak sesuai dengan tata urutan penulisan historiografi. Dengan adanya ketiga penulis tersebut dan hasil tulisannya dapat dijadikan perdebatan pelajar-pelajar di Jawa, meskipun diantara ketiganya yang paling menonjol adalah tulisannya Raffles tentang History Of Java dan Raffles pun mengklaim dirinya yang menjadi satu-satunya orang di dunia yang mengetahui tentang sejarah Jawa. </span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-20128346433753688552011-12-31T03:01:00.003-08:002011-12-31T04:08:24.267-08:00Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 7<div align="center" class="MsoNormal" style="text-align: center;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejarah Tanpa “</span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 28pt; line-height: 115%;">S</span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">”<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Membaca artikel Heather Sutherland, “Meneliti Sejarah Penulisan Sejarah”, ide besar yang terkandung di dalamnya kiranya ialah perlunya menulis sejarah Indonesia di luar canon; di luar narasi sosial atau formal atau lembaga. Dengan demikian, tulisan Sutherland tersebut dapat dikatakan menjadi salah satu pondasi penting sebagai dasar untuk medekonstruksikan sejarah lalu merekonstruksinya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejujurnya, saya ingin menghadirkan kembali artikel Sutherland. Akan tetapi, hal itu tidak saya lakukan dengan pertimbangan bahwa saya tidak ingin mengulang apa yang sudah dikemukakannya. Sebagai gantinya, saya mencoba untuk menghadirkan letupan-letupan kecil hasil pembacaan saya atas karya tersebut.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Tentunya, bukan pekerjaan mudah bagi saya untuk menghadirkan letupan-letupan yang saya miliki. Rincian, kelengkapan, dan koherensi kiranya menjadi tiga masalah yang menghadang. Oleh sebab itu, untuk menyiasati kendala tersebut, saya mencoba untuk menghadirkannya melalui pon-poin terperinci. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpFirst" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">1.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejarah merupakan historiografi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Definisi sejarah sebagai historiografi kiranya merupakan simplifikasi atas pernyataan Sutherland; “sejarah merupakan catatan atau narasi masa lalu”. Dari pernyataan Sutherland itu, ada pertanyaan yang kiranya menarik untuk kita renungkan, yakni narasi apa yang semestinya kita rumuskan, kita susun, dan kita hadirkan. Dengan demikian, kita pun harus turut mempertimbangkan pula aktor di balik penyusunan suatu narasi sejarah, berikut untuk siapa narasi tersebut dirumuskan, disusun, dan dihadirkan. Dengan kacamata seperti ini, kiranya juga kita dapat meninjau narasi dalam sejarah nasional kita dan pentingnya untuk mendekonstruksinya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Masih soal narasi, penting juga kita pikirkan tentang bentuk narasi yang kiranya mudah diterima oleh para pembacanya. Terkait dengan hal ini, kiranya kita pun turut mempertimbangkan wacana pendekatan sastra dalam sejarah. Saya pribadi menilai, pendekatan sastra dalam sejarah sebenarnya bukanlah suatu hal yang salah. Saya kira, persoalan mendasarnya “hanyalah” bagaimana kita tetap meletakkan metodologi sejarah dengan cara penulisan seperti itu. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">2.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejarah adalah apa yang tidak terjadi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Jamak, kita sering mendefinisikan bahwa sejarah sebagai apa yang terjadi. Mengutip Sutherland, “ sejarah adalah apa yang terjadi menurut kata kita dan apa yang sebenarnya terjadi”. Hampir-hampir kita tidak pernah menyatakan bahwa sejarah merupakan apa yang juga tidak terjadi. Sehubungan dengan dua hal ini, pernyataan Sutherland tentang kemungkinan dalam sejarah saya kira sangat menarik dan saya membayangkan jika hal tersebut dijadikan sebagai asumsi dasar untuk menulis, saya kira, historiografi kita akan berubah secara drastis dan tentu saja lebih semarak karena tidak hanya menyajikan narasi tunggal.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sebagai contoh, jika sejarah kita dibangun atas dasar rezim yang berkuasa, kiranya menarik mencermati salah satu penggalan sejarah dalam rezim Sukarno. Sehubungan dengan hal tersebut, hal-hal yang sebenarnya tidak terjadi dan dapat kita bangun sebagai narasi baru misalnya hubungan Sukarno dengan Sjahrir. Pertanyaan-pernyaan yang dapat kita ajukan contohnya: (a) jika tidak Sutan Sjahrir, mungkinkah Sukarno menjadi pemimpin?; (b) jika Sjahrir tidak membela Sukarno, mungkinkan Sukarno diterima oleh gerakan muda?; (c) jika Sjahrir tidak menyatakan pola perjuangannya dan Sukarno, mungkinkah ada Sukarno dalam historiografi Indonesia sesudah periode 1945?; dan sebagainya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">3.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Paradigma sejarah<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sutherland dalam tulisannya menyatakan bahwa dalam meneliti dan menganalisis suatu peristiwa, hendaknya para sejarawan memiliki paradigma atau kerangka berpikir sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn. Menyikapi pertanyaan tersebut, saya kira Sutherland masih abstrak mendefinisikan paradigma seperti apakah yang perlu kita miliki miliki sebagai sejarawan. Menurut saya, pernyataan Sutherland itu seabstrak definisi paradigma yang dikemukakan oleh Kuhn.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Menyikapi hal tersebut, saya mencoba mendekati paradigma yang dikemukakan oleh Sutherland dengan definisi paradigma yang dikemukakan oleh Heddy Shri Ahimsa—Putra. Paradigma, mengutip Ahimsa, “merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain secara logis membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk memahami, menafsirkan, dan menjelaskan kenyataan dan/atau maslah yang dihadapi” (Ahimsa, 2009: 2). Masih menurut Ahimsa, dari definisi yang seperti itu, paradigma tersusun atas sembilan unsur, yakni: asumsi dasar, nilai-nilai, masalah-masalah yang diteliti, model, konsep, metode penelitian, metode analisis, hasil analisis atau teori; serta representrasi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Pertama, asumsi dasar. Sehubungan dengan hal ini, kiranya kita perlu mengakui bahwa seringkali asumsi dasar yang dikemukakan oleh para sejarawan kita lemah bahkan sangat lemah. Kelemahan ini, antara lain dapat disimak dari dasar teori yang dipakai. Memang, seperti yang dikemukakan oleh Ahimsa, ada kecenderungan dari para peneliti untuk tidak menyatakan asumsi dasarnya untuk menghindari kritik—misalnya kritik dari pembacanya. Akan tetapi, untuk historiografi, saya kira, bagaimanapun sejarawan harus menyatakan asumsi dasarnya secara eksplisit demi kemajuan historiografi itu sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Dalam tulisan ini, saya tidak ingin menyoroti keseluruhan paradigma yang semestinya dipakai dalam penelitian sejarah demi menghindari tulisan yang panjang. Akan tetapi, saya kira, selain asumsi dasar dan teori, unsur yang penting untuk disoroti adalah soal unsur metode penelitian. Sehubungan dengan unsur tersebut, Ahimsa menulis bahwa sebelum menentukan metode yang digunakan terlebih dahulu seorang peneliti harus mempertimbangkan tiga hal, yaitu realita, fakta, dan data (hlm. 15). Saya kira, jika diperas lagi, ide dasar ketiga hal itu dalam sejarah adalah persoalan subjektivitas sejarawan serta tinjauan ulang pernyataan “<i>no document no history</i>”. Sehubungan dengan poin pertama, saya kira ide pentingnya adalah meletakkan realita, fakta, dan sejarah baru dari hasil pemikiran seorang sejarawan. Sementara itu, untuk poin kedua, saya kira hal itu lebih pada ajakan pada sejarawan untuk membuka mata bahwa banyak hal yang dapat dijadikan sebagai sumber penulisan. Tidak semata-mata arsip, melainkan bisa juga, teks atau foto dalam majalah atau surat kabar, memoar... bahkan gaya hidup seperti jenis pakaian yang dikenakan pun bisa dijadikan data. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">4.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejarah dan politik<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Suka tidak suka, sejarah yang kita miliki adalah sejarah politik. Begitu dangkalnya pemahaman itu, sampai-sampai ada lelucon yang saya kira sangat kering namun mewakili pemahaman itu, “untuk menjadi pahlawan dan dicatat dalam tinta emas sejarah Indonesia, jadilah politikus atau tentara. Jika mati, bisa saja dikuburkan di taman makam pahlawan. Lain halnya jika menjadi tokoh pendidikan, sebesar apapun jasa, jika mati tetap dimakamkan di taman (pe)makam(an) umum. Persolan sekarang yang harus pikirkan adalah bagaimana membangun sejarah nonpolitik dan memperkaya sejarah dengan tema-tema lain. Oleh karenanya, penting kiranya mewujuhkan sejarah tanpa “S” atau “</span><b><span style="font-family: Georgia, serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">S</span></b><span style="font-family: Georgia, serif;">ejarah” atau sejarah nonformal atau nonlembaga atau nonnegara. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">5.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Sejarah lokal<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Saya kira, usulan Sutherland dalam tulisannya soal pentingnya membangun sejarah lokal sangat menarik dan perlu digalakkan. Pasalnya, sejarah lokal saya kira cukup menjadi solusi untuk menambah warna sejarah atas dominasi sejarah nasional yang kering dan tidak lebih dari generalisasi-generalisasi atas banyak realitas sejarah yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Persolan utama ketika kita merintis sejarah lokal saya kira adalah soal etnosentrisme atau romantisme daerah yang bisa saja muncul dalam historiografi. Sebagai contoh, salah satu kecenderungan yang muncul saat ini adalah pola-pola dimana suatu daerah menolak periodesasi yang disodorkan oleh negara dan menarik garis sejarah jauh ke belakang, bahkan sebelum negara dibentuk, dan mengkaitkannya dengan kebesaran suatu pemerintahan. Seolah, tidak ada hubungan antara daerah dan negara atau daerah terlepas dari negara. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">6.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Eropasentrisme<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sehubungan dengan poin keenam ini, saya ingin menyoroti sudut pandang eropasentris dan membandingkannya dengan indonesiasentris yang berlaku saat ini. Suka tidak suka, saya kira baik eropasentris maupun indonesiasentris adalah dua hal yang sama dan tidak ada bedanya sama sekali. Dengan demikian, bagaimanapun kita menyatakan bahwa historiografi kita sekarang ini adalah indonesiasentris, saya melihat tidak ada yang berubah dari genre historiografi sebelumnya. Asumsi dasarnya antara lain dapat disimak dari kosakata pahlawan atau pemberontak atau si jahat; jika zaman kolonial meletakkan Indonesia sebagai aktor jahat maka kini di masa Indonesia, koloniallah si aktor jahatnya. Saya kira, pembolak-balikan seperti ini belum bisa menjawab esensi indonesiasentris. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">7.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Ketuhanan dalam historiografi Indonesia<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sehubungan dengan poin ini, saya ingin menyoroti pernyataan Sutherland soal modernitas dalam historiografi yang ditandai dengan penghilangan asas ketuhanan. Saya ingin mendiskusikan bahwa benarkah historiografi kita menghilangkan asas atau prinsip-prinsip ketuhanan itu? Faktanya, saya melihat bahwa ketuhanan hadir dengan begitu ambigu dalam historiografi Indonesia sekarang ini yang kita sebut sebagai historiografi modern. Salah satu contohnya, historiografi tidak pernah menyinggung ambivalensi sila pertama dan kelima dasar negara kita—pancasila saya kira juga merupakan salah satu bentuk historiografi. Lebih dari itu, historiografi kita belum jelas mendudukkan status negara Indonesia—kita ingat bahwa Indonesia bukankah negara agama dan bukan juga negara sekuler, melainkan negara pancasila. Pertanyaan saya, berapa nyawa telah melayang dan namanya kita catat demi menegakkan asas ketuhanan? Jika demikian, dari realitas-realitas sejarah yang kita miliki, bukankah agama atau ketuhanan dalam konteks keindonesiaan tidak lain merupakan salah satu bentuk fasisme? Pertanyaan saya lagi, mampukah historiografi kita menarasikan fasisme tersebut? Mampu jugakah historiografi Indonesia mendekonstruksi pemahaman soal agama—pancasila—sekuleritas?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; text-align: justify; text-indent: -14.2pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">8.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Kedudukan memori dalam sejarah sejarah<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Dalam sejarah yang didasarkan atas canon, saya kira memori merupakan hal yang sangat tabu. Akan tetapi, dari pembacaan atas tulisan Sutherland tentang proses mengingat dan melupakan, saya kira kita perlu mendudukkan pendekatan ini dalam menyusun historiografi kita. Sehubungan dengan ini, kiranya kita pun perlu mendudukan memori sebagai bagian dari mentifect yang secara tidak langsung merupakan fakta psikologis.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">9.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Aktor nonnegara<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Sehubungan dengan poin ini, saya ingin mengulang pernyataan Bambang Purwanto dalam buku yang sama dengan artikel Sutherland. Mengutip Bambang, sudah saatnya bagi kita para sejarawan untuk menulis sejarah nonnegara. Dengan demikian, masih menurut Bambang, kiranya penting bagi kita untuk menulis sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Saya kira, penulisan sejarah dengan pendekatan kehidupan sehari-hari tidak semata-mata mempersoalkan aktor, data, namun juga ragam tulisan. Saya kira pula, pendekatan tersebut mampu menangkap psikologi sebenarnya dari sebuah negara. Sebab, saya kira, psikologi suatu negara itu bukan kita peroleh dari sejarah nasional melainkan masing-masing pribadi. Dengan demikian, setiap orang pun memiliki sejarah. Manfaat lain, kalau saja kita menggunakan pendekatan seperti itu, kiranya juga analisis kita jauh lebih mendalam dan tentu saja saja jauh lebih kaya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; tab-stops: 14.2pt; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">10.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Proyek besar sejarah<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Dari tulisan Sutherland dan poin-poin yang saya susun itu, kesimpulan saya, suka tidak suka, historiografi Indonesia harus diubah, dalam bahasa Bambang Purwanto, historiografi Indonesia harus didekonstruksi ulang. Semuanya! Oleh karenanya, saya membayangkan akan ada proyek besar-besaran di Indonesia dalam merumuskan kembali sejarah, terutama sejarah nasional. Jika hal tersebut benar dilakukan, saya membayangkan paling tidak dalam satu dekade akan terjadi kekacauan dalam penyusunannya. Saya membayangnya, banyak pihak akan bertikai soal siapakah yang berperan atau menjadi aktor dalam sejarah atau meminjam kosakata Gerry van Klinken, “mengakukan sejarah”.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; mso-list: l0 level1 lfo1; tab-stops: 14.2pt; text-align: justify; text-indent: -21.3pt;"><b><span style="font-family: Georgia, serif;">11.<span style="font: normal normal normal 7pt/normal 'Times New Roman';"> </span></span></b><b><span style="font-family: Georgia, serif;">Otoritas sejarawan<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoListParagraphCxSpMiddle" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><span style="font-family: Georgia, serif;">Saya kira, poin terakhir ini merupakan “angin penghibur” bagi sejarawan, terutama sejarawan muda dalam merumuskan dan menulis narasi sejarah. Pernyataan Sutherland soal otoritas sejarawan saya kira merupakan ungkapan kebebasan yang ditujukan pada mereka untuk menulis sejarah dengan cara masing-masing. Dengan kata lain, dari bermacam-macam teori atau pendekatan atau padigma dalam sejarah, dari model sastra atau ilmiah, mereka—dan tentu saja kita—dibebaskan untuk menulis dengan pendekatan yang kita anggap benar. Selama, tidak keluar dari metodologi sejarah yang wajib kita pegang. []<o:p></o:p></span></div><div class="MsoListParagraphCxSpLast" style="margin-left: 14.2pt; mso-add-space: auto; text-align: justify; text-indent: 28.35pt;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-81630393578258148722011-12-31T02:57:00.001-08:002011-12-31T02:57:11.235-08:00Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 4<div align="center" class="MsoNormalCxSpFirst" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Abad XVIII sebagai Kategori Penulisan Sejarah Indonesia; <o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><b><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Tinjauan Atas Tulisan Van Leur<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: center;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Dua minggu lalu, berturut-turut, kita menyinggung-nyinggung pernyataan Jhon Bastin tentang historiografi Indonesia yang ditulis atau diterbitkan oleh orang-orang Inggris di Indonesia. Sedikit mengingatkan, pernyataan Bastin yang saya maksud ialah, bahwa historiografi tulisan orang-orang Inggris itu, ternyata mampu mempengaruhi perubahan cara pandang Belanda mengenai koloninya. Akhirnya, juga mempengaruhi historiografi yang disusun.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Berbicara tentang historiografi baru Indonesia yang ditulis oleh orang-orang Belanda, kiranya ada satu sosok yang cukup menonjol yang patut kita perbicangkan. Sosok itu ialah J.B Van Leur dengan karyanya yang sangat fenomenal; <i>Abad Ke-18 sebagai Katagori dalam Historiografi Indonesia</i> (?). Karya itu, ditulisnya sebagai antitesis atas tulisan Dr. Godee Molsbergen, <i>Geschiedinis van Nederlandsch </i>Indie (jilid IV).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Keperkasaan Belanda di Indonesia di Nusantara pada abad XVIII merupakan inti tesis Molsbergen yang dikritisi oleh Van Leur. Lengkapnya, Molsbergen menulis, “abad XVIII merupakan refleksi dari sejarah Belanda yang kala itu merupakan kekuatan yang menentukan di Eropa”. Sementara, sebagai antitesisnya, Van Leur menyatakan bahwa abad XVIII tidak berbeda dengan abad XVII, dimana Verenigde Oostindische Compagnie (VOC) bukan merupakan suatu kekuatan yang menentukan perkembangan sejarah di Asia. Hal itu tampak dari betapa kerajaan seperti Persia, India, dan Cina, masih merupakan kekuatan yang berpengaruh. Begitu kuatnya pengaruh kerajaan-kerajaan di wilayah itu, sampai-sampai dalam perdagangan pun VOC harus mengikuti aturan tradisional (baca: aturan mereka). Van Leur menambahkan, “keunggulan Eropa baru tampak pada abad XIX dengan terciptanya sitem produksi massal, dimana politik kolonial ditujukan uuntuk mencari pasaran bagi produksi serta bahan-bahannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Soal tulisan Van Leur, catatan Richard Z. Leirissa kiranya menarik untuk disimak. Menurut Leirissa,”karya van Leur menunjukkan segi yang jarang sekali dalam historiografi Indonesia”. Ia menambahkan, “usaha ini, menunjukkan bahwa dengan sumber-sumber yang ditinggalkan VOC, dapat disusun sejarah yang menarik tentang orang-orang Indonesia yang sezaman. Itu penting, mengingat perdagangan tidak meninggalkan sumber-sumber bagi sejarahnya sendiri”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Membaca pemikiran Van Leur dan uraian Leirissa, kiranya, tidak ada salahnya apa bila kita memulainya dengan beberapa pertanyaan yang bagi sendiri cukup mengganjal. Pertanyaan-pertanyaan itu, antara lain: (1) Mengapa Van Leur tertarik dengan studi tentang Nusantara? (2) Mengapa Van Leur menyoroti abad XVIII? Apa istimewanya abad itu dalam historiografi Indonesia? (3) Mengapa Van Leur bisa berpikir bahwa orang Nusantara juga memiliki andil besar dalam perdagangan alih alih sebagai kekuatan yang besar, penuh hegemoni, VOC justru digambarkannya harus mengikuti aturan main Nusantara? Apa asumsi dasar Van Leur terkait dengan hal tersebut? (4) Bagaimanakah sebenarnya kondisi VOC dan aktivitas perdagangannya? (5) Seperti apakah gambaran historiografi Indonesia tentang para pedagang di Nusantara, sebelum Van Leur mengemukakan antitesisnya? (6) Darimanakah Van Leur mendapatkan sumber-sumber penulisan, terutama untuk memperkuat antitesisnya?<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Beberapa pertanyaan pada paragraf di atas, tentunya telah terjawab oleh uraian-uraian dalam paragraf-paragraf sebelumnya, baik secara eksplisit maupun implisit. Paparan berikut ini, saya maksudkan sebagai uraian atas pertanyaan-pertanyaan yang belum terjawab. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><br />
</div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><b><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Menyoal Eropasentisme<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Saya kira, supaya bisa memahami tulisan Van Leur, kita harus merunutnya terlebih dahulu dari pemahaman akan VOC di Nusantara pada abad XVIII. Selanjutnya mencari tahu latar belakang Van Leur lalu mulai memikirkan historiografi Indonesia dewasa ini, terkait dengan periode abad XVIII. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kita mulai dari VOC yang dibentuk tanggal 20 Maret 1602. Mengutip tulisan Vincent Houben dalam Bambang Purwanto, <i>Gagalnya Historiografi Indonesiasentris</i>?, VOC adalah “<i>organissati van kooplieden was weliswaar een handelsorganisatie, maar van de Staten-Generaal in de Republiek kreeg zij belangrijke bevoegdheden. Naast het monopolie op de vaart ten oosten van de Kaap de Goede Hoop mocht zij in soevereine rechten uitoefenen, dat wil zeggen: zelfstandig verdragen sluiten een oorlog vooren. Daarmee kreeg de VOC een dubbel karakter. Enerzijd vormde zin binnen Azie een maritieme staat met eigen soevereine karakter</i>”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Kutipan itu, tulis Bambang Purwanto, menunjukkan dualisme VOC, yakni perdagangan dan kekuasaan. Lebih lanjut ia menulis, “meminjam bahasa Moh. Ali, VOC adalah negeri Belanda yang berdagang dengan leluasa atau negeri Belanda dengan nama VOC”. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Menyimak kutipan Bambang Purwanto, yang terbayang, kiranya, betapa kuatnya pengaruh yang dimiliki oleh oleh VOC di Nusantara. Namun, sekali lagi, sesungguhnya VOC atau Belanda dalam hal ini, sama sekali bukanlah kekuatan yang berpengaruh dan sama sekali tidak diperhitungkan di Eropa, khususnya Eropa Barat. Tidak salah, jika Francois Gouda kemudian mengumpamakan VOC atau Belanda sebagai Daud yang cerdik diantara para Goliath imperium, karena keberhasilannya merintis imperium di Nusantara—meskipun tidak dapat juga dikatakan bahwa VOC memiliki kekuatan besar di Nusantara.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Setelah memahami sedikit uraian tentang VOC, hal berikutnya yang perlu kita tahu adalah sosok van Leur. Tulisan Jaap Vogel, “A Short Life in History” serta Leonard Blusse dan Femme Gaastra, “The Eighteen Century as Category in Asian History”, kiranya cukup bisa menjadi gambaran awal tentang Van Leur. Terkait tulisan tersebut, satu hal yang saya garis bawahi ialah asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur sebagai awal dari hipotesis sekaligus antitesisnya akan karya Molsbergen. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Setidaknya, ada dua asumsi dasar yang dibangun oleh van Leur terkait dengan antitesisnya. Pertama, ia menempatkan patrimonial kekuasaan Asia sebagai dasar perpaduan ketertutupan dan kemandirian pada masyarakat pertanian. Kedua, abad XVII, diyakini Van Leur sebagai era kejayaan maritim di Asia. Masyarakat Asia, khususnya Nusantara, kala itu, menurut van Leur sedang giat-giatnya membangun kemaritiman mereka sekaligus menjadikannya sebagai tumpuan mereka menghadapi musuh. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Selain dua asumsi dasar yang dikemukakannya, hal lain yang menarik dari tulisan van Leur ialah kritiknya soal historiografi (Indonesia), baik yang ditulis oleh orang-orang Inggris maupun oleh orang-orang Belanda. Van Leur, sebagaimana dikutip oleh Vogel, sangat menyesalnya tidak digunakannya ilmu filologi, etnografi, arkeologi, dan sejarah kolonial—yang termasuk dalam ranah sejarah Indonesia—dalam penulisan sejarah. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify; text-indent: 42.55pt;"><span style="font-family: "Cambria","serif"; font-size: 12.0pt; mso-ascii-theme-font: major-latin; mso-hansi-theme-font: major-latin;">Mencoba menangkap paradigma yang ditawarkan oleh Van Leur, pertanyaan selanjutnya, sudahkah sejarawan kita, saat menulis periode XVIII menggunakan paradigma tersebut atau justru tetap terjebak pada penjelasan kolonial. (<b>Galuh Ambar</b>)<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormalCxSpMiddle" style="margin-bottom: 0.0001pt; text-align: justify;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-51295581114344269732011-12-30T22:44:00.001-08:002011-12-30T22:44:28.262-08:00Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 6<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><i><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; mso-fareast-font-family: "Times New Roman";"> </span></i><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;">Interaksi Lintas Budaya dan periodisasi <o:p></o:p></span></i></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 115%; text-transform: uppercase;">dalam sejarah dunia<o:p></o:p></span></i></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; tab-stops: 103.5pt; text-align: center; text-indent: -112.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Artikel ini membicarakan tentang Interaksi lintas Budaya dan Periodisasi dalam sejarah dunia yang mengkaji tentang dua essay yakni essay yang pertama membicarakan tentang usaha pada periodisasi global mungkin memberi manfaat dengan memeriksa partisipasi orang di dunia dalam proses yang melebihi masyarakat individual dan area budaya. Essay yang kedua mengkaji tentang penjabarkan periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis batas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), masa peradaban kuno (2000-500SM), masa peradaban klasik (500 SM-500M), masa post klasik (500-1000M), masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan masa modern (1500 M sampai kini). Untuk lebih jelas lagi akan diuraikan secara singkat kedua essay tersebut beserta tanggapan isi dari artikelnya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Periodisasi menduduki posisi atas diantara tugas yang lebih sulit dari pembelajaran sejarah. Seperti yang dikenal baik oleh sejarawan, identifikasi periode sejarah koheren melibatkan lebih dari penemuan sederhana titik balik yang cukup di masa lalu: ini bergantung pada keputusan sebelumnya mengenai issu ini dan proses yang paling penting untuk membentuk masyarakat manusia dan ini membutuhkan penetapan kriteria atau prinsip yang memungkinkan sejarawan memilih massa informasi dan mengenal pola kontinuitas dan perubahan. Bahkan di dalam kerangka suatu masyarakat tunggal, perubahan perspektif dapat membutuhkan koherensi periode yang dikenal secara konvensional seperti essay terkenal dari Joan kelly. “ Did Women Have a Renaissance?” atau konsep Eropa kuno dari Dietrich Gerhard.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn1" name="_ftnref1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika sejarawan menjelaskan masa lalu dari sudut pandang global dan memeriksa proses yang melintasi batas garis masyarakat dan area budaya, masalah periodisasi menjadi lebih akut. Sejarawan telah lama menyadari bahwa skema periodisasi berdasarkan pada pengalaman barat atau peradaban lain menjalankan tugas buruk menjelaskan lintasan masyarakat lain. Mengutip satu contoh terkenal, kategori sejarah kuno, pertengahan dan modern yang diambil dari pengalaman Eropa, berlaku aneh untuk sejarah China, India, Afrika, dunia Islam, atau belahan Berat, yang terpisah dari fakta yang semakin dikenal bahwa mereka tidak berlaku sama baiknya untuk sejarah Eropa.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn2" name="_ftnref2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></a> Karena sejarawan mengambil pendekatan global pada masa lalu dan menganalisa pengalaman manusia dari perspektif yang luas dan komparatif, pertanyaan periodisassi tampil dengan desakan yang meningkat. Sejauh mana mungkin untuk mengidentifikasikan periode yang berguna dan koheren diantara garis batas masyarakat dan area budaya? Kriteria atau prinsip apa yang mungkin membantu sejarawan untuk menentukan pola kontinuitas dan perubahan dan untuk membedakan periode tersebut?<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn3" name="_ftnref3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Essay ini menyatakan bahwa usaha pada periodisasi global mungkin memberi manfaat dengan memeriksa partisipasi orang di dunia dalam proses yang melebihi masyarakat individual dan area budaya. Dari waktu yang lampau sampai saat ini, interaksi lintas budaya memiliki percabangan politik, sosial, ekonomi dan budaya yang signifikan untuk semua orang yang terlibat. Maka, tepat untuk mengajukan alasan bahwa proses interaksi lintas budaya mungkin bernilai untuk tujuan mengidentifikasikan periode sejarah dari sudut pandang global. Lebih jauh, dengan interaksi lintas budaya sebagai kriteria, sejarawan mungkin menghindari periodisasi etnosentris yang menyusun masa lalu dunia menurut pengalaman orang istimewa tertentu. Para ahli semakin mengakui bahwa sejarah adalah produk dari interaksi yang melibatkan semua orang di dunia.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn4" name="_ftnref4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dengan memfokuskan proses interaksi lintas budaya, sejarawan mungkin lebih siap mengidentifikasi pola kontinuitas dan perubahan yang merefleksikan banyak orang dari pada memberlakukan semua periodisasi yang didapat dari pengalaman beberapa orang istimewa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Dua keberatan mengenai periodisasi yang diajukan disini membutuhkan beberapa pertimbangan. Pertama, periodisasi berdasar pada interaksi lintas budaya tidak dapat mencakup semua dunia di sepanjang waktu. Untuk sebagian besar sejarah, belahan timur, belahan barat dan Oseania adalah area yang telah berisi yang orang-orangnya saling berhadapan secara jarang dan sporadis. Di masing-masing area ini interaksi lintas budaya terjadi secara reguler dan membentuk pengalaman dari semua orang yang terlibat. Pemahaman interaksi awal kuat untuk Eurasia dan sebagian besar Afrika, sehingga interaksi lintas budaya berfungsi baik sebagai dasar untuk periodisasi di banyak belahan timur bahkan sebelum masa modern. Dari abad 16, interaksi lintas budaya memberikan dasar untuk periodisasi global sejarah dunia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Kedua, periodisasi global tidak merepresentasikan satu-satunya kerangka yang berguna atau tepat untuk analisa sejarah. Ini berlaku tanpa mengatakan bahwa perkembangan internal masyarakat individual- seperti pembangunan negara,<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">struktur sosial dan tradisi budaya telah mempengaruhi pengalaman sejarah dari negeri dan orang yang terlibat. (Tentu saja, perkembangan internal ini umumnya terjadi di dalam konteks yang jauh lebih besar yang membantu menjelaskan pengalaman lokal). Lebih Jauh, orang yang berbeda telah berpartisipasi dalam proses skala besar pada derajat yang berbeda, sehingga periodisasi global sering menggambarkan perkembangan historis dalam perkiraan bukannya bentuk yang dikalibrasi dengan baik. Maka, periodisasi global harus memungkinkan alternatif yang sensitif terhadap nuansa pengalaman lokal. Konsep <i>late antiquity</i> dari Peter brown memiliki kekuatan besar bagi usaha tersebut untuk memahami perkembangan historis di lembah mediterania dan Asia barat daya, bahkan jika ini tidak berhubungan pada skala hemisfer atau global.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn5" name="_ftnref5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></a> Periodisasi lahan individual dan area terentu akan sering lebih halus dan spesifik dibanding periodisasi global, karena mereka memiliki potensi untuk merefleksikan secara akurat pola lokal dari kontinuitas dan perubahan. Maka, ketika berusaha untuk memahami perkembangan historis pada skala besar, sejarawan global harus mengakui bahwa periodisasi mereka tidak selalu berlaku sama baiknya pada semua wilayah dan area yang mereka cakup.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Namun demikian, periodisasi global memiliki tempat dalam ilmu sejarah kontemporer. Sejauh bahwa sejarawan mempertimbangkannya bernilai untuk memeriksa masa lalu dari sudut pandang global dan komparatif, mereka perlu mengidentifikasikan periode sejarah yang menempatkan perkembangan sejarah dalam konteks geografis dan budaya yang besar. Lebih jauh, periodisasi global juga memiliki potensi untuk menetapkan konteks yang lebih besar untuk pemahaman pengalaman lokal dan regional. Untuk tujuan membangun periodisasi global ini, analisa interaksi lintas budaya dan hasilnya memegang janji yang kaya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Ketika berkaitan dengan abad kelima, usaha pada periodisasi global harus mempertimbangkan interaksi lintas budaya. Sejak 1492, area dunia telah berkontak permanen dan berkelanjutan dengan yang lain dan interaksi lintas budaya telah mempengaruhi pengalaman semua orang di bumi. Banyak ahli telah memeriksa efek interaksi lintas budaya pada masa modern sampai menggali tema-tema seperti perdagangan jarak jauh, pertukaran tanaman, hewan dan penyakit, transfer teknologi, pendirian kerajaan dan kolonial, kampanye misionaris, perdagangan budha transatlantik, dan perkembangan kapitalisme global.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn6" name="_ftnref6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Namun demikian, untuk periode awal, mungkin bahwa menemukan suatu periodisasi global pada interaksi lintas budaya meregangkan poin diluar kegunaan. Mengakui bahwa orang di dunia tidak hidup dalam masyarakat yang tertutup secara hermetik terisolasi sampai 1492, tetap suatu pertanyaan sah apakah interaksi lintas budaya cukup intensif dan ekstensif untuk memberikan kerangka untuk periodisasi pada masa modern. Misalnya, suatu keprihatinan yang masuk akal bahwa periodisasi yang ditemukan pada interaksi lintas budaya mungkin sesuai dengan keistimewaan pada sebagian kecil manusia yang melakukan perjalanan panjang atau yang jika tidak demikian menjadi terlibat langsung dalam interaksi lintas budaya pada masa modern.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Bagian essay selanjutnya akan menjabarkan periodisasi sejarah dunia yang berisi enam era utama yang dibedakan secara prinsip dengan membedakan dinamika interaksi lintas budaya yang menggerakkan efeknya pada garis abtas masyarakat dan area budaya. Enam era adalah: masa masyarakat kompleks (3500-2000SM), masa peradaban kuno (2000-500SM), masa peradaban klasik (500 SM-500M), masa post klasik (500-1000M), masa kerajaan nomadik transregional (1000-1500 M), dan masa modern (1500 M sampai kini).<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Interaksi Lintas Budaya mulai mempengaruhi masalah manusia dari masa sejarah paling awal. Kelompok manusia memulai perjalanan jarak jauh hampir sesegera Homo sapiens sapiens muncul sebagai suatu spesies sekitar 35000 sampai 40000 tahun yang lalu. Pada sekitar 15000 SM, manusia menyebar ke hampir semua area yang dapat dihuni manusia. Dengan menganalisa karakteristik dan distribusi keluarga bahasa, tipe daerah, dan sisa material, para ahli mampu menelusur jejak perpindahan pra historis dari beberapaorang dengan presisi nyata.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn7" name="_ftnref7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></a> Meskipun bukti yang terus ada tidak memungkinkan pemahaman tentang pengalaman orang yang bermigrasi, perjalanan mereka membuatnya dalam perjumpaan lintas budaya bahkan di massa pra historis. Alat, senjata, dan dewa yang menyebar luas menunjukkan komunikasi diantara jarak jauh oleh orang pra historis.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn8" name="_ftnref8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Untuk tujuan periodisasi global, ini berarti menunjukkan bahwa selama masa masyarakat kompleks awal, interaksi lintas budaya memiliki percabangan yang berjalan diluar pengalaman Mesopotamia dan Mesir. Masyarakat kompleks awal menghasilkan negara dan struktur sosial yang bergantung pada interaksi lintas budaya. Selama masa pertama sejarah global, migrasi dan perdagangan mendorong difusi pemeliharaan kuda dan metalurgi perunggu, yang mempengaruhi perkembangan negara dan masyarakat dari China ke Mesir.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif";">Migrasi paling awal orang Indo-Eropa terjadi selama masa masyarakat kompleks awal dan mereka membantu menyebarkan pemeliharaan kuda dan menghubungkan teknologi transportasi di banyak Eurasia. Dari tanah air mereka, mungkin di area padang rumput Ukraina dan Rusia selatan masa modern, beberapa orang Indo-Eropa bepergian ke timur ke Siberia dan Lembah Tarim seawal milenium keempat SM, sementara yang lain bermigrasi kebarat ke Anatolia dan Eropa Timur, segera sesudah tahun 3000 SM. Bukti migrasi timur telah muncul dalam bentuk korpus individu Kaukasia yang tersimpan baik tetapi kering yang ditemukan di provinsi Xinjiang China.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn9" name="_ftnref9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></a> Migran Indo-Eropa memperlihatkan mobilitas mereka pada kuda mereka dan kendaraan beroda, dan mereka memperkenalkan teknologi transportasi mereka ke daerah yang mereka masuki. Adalha mungkin bahwa kekerasan menyertai migrasi mereka dan bahwa kuda membantu orang Indo-Eropa menetapkan diri di tanah yang baru. Dalam berbagai kasus, difusi kuda dan teknologi transportasi terkait segera menjadi penting untuk tujuan menetapkan dan mempertahankan negara dan hirarki sosial pada masyarakat kompleks awal.<a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftn10" name="_ftnref10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span lang="EN-US" style="font-size: 11pt; line-height: 115%;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></a><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div><!--[if !supportFootnotes]--><br clear="all" /> <hr align="left" size="1" width="33%" /> <!--[endif]--> <div id="ftn1"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref1" name="_ftn1" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[1]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Joan Kelly-Gadol, “Did Women Have a Renaissance?” aslinya diterbitkan dalam Renace Bridenthal dan Claudia Koonz, ED, Becaming Visible: Women in European History (Boston, 1977), 137-64; ditulis ulang, dalam Women, History and Theory: The Essays of John Kelly (Chicago, 1984), 19-50. Dietrich Gerhard, Old Europe: A study of Continuity, 1000-1800 (New York, 1981)<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn2"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref2" name="_ftn2" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[2]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Pada point terakhir, lihat Gerhard, <i>Old Europe</i>, dan C. Warren Hollister, “The Phases of European History and the Nonexistence of the Middle Ages,“ <i>Pacific Historical Review</i>, 61(1.992); 1-22<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn3"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref3" name="_ftn3" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[3]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Beberapa Ahli telah memberikan refleksi yang berguna mengenai periodisasi dari sudut pandang global. Beberapa menyatakan secara eksplisit atau mengasumsikan secara implisit bahwa masyarakat manusia terlibat dalam bentuk yang sama, sehingga periodisasi bergantung pada identifikasi tahap yang dilalui semua masyarakat. Terpisah dari kumpulan besar ahli evolusiner Marxis, lihat Robert McC. Adam, <i>The Evolution of Urban Society: Early Metopotamia and Prehispanic Mexico </i>(Chicago, 1966). Yang lain telah mengajukan siklus hemisferik dan global sebagai dasar untuk periodisasi: lihat Andre Gunder Frank, “<i>A Theoritical Introduction to 5.000 Years of World System History</i>,” Review, 13 (1990); 155-248; dan essays pada Andre Gunder Frank dan Barry IC Gill, ED. <i>The World System: Five Hundred Years or Five Thousand</i>? (London, 1993). Yang lain membayangkan periodisasi berdasarkan pada interaksi lintas budaya: lihat Ross E. Dunn,”<i>Periodization and Chronological Coverage in a World History Survey</i>,” dalam Josef W. Konvitz, ED., <i>What American Shoul Know: Western Civilization or World History? Proceedings of a Conference at Michingan State University</i>, April 21-33, 1985 (East lansing, Mich., 19850, 129-40; Peter N. Steams, “Periodization in World History Teaching: Identifying the Big Changes,” <i>History Teacher</i>, 20 (1987): 561-80 dan William A. Green, “Periodization in European and World History,” <i>Journal of World History</i>, 3(1992):13-53. Lihat juga William A. Green, “periodizing World History,” <i>History and Theory</i>, 34 (1995):99-111. William H. McNeil, <i>The rise of the West: A History of the </i></span><i><span lang="EN-US" style="font-family: "Courier New"; mso-ansi-language: EN-US;">Human Community</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: "Courier New"; mso-ansi-language: EN-US;"> (Chicago, 1963) </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">tidak menjelaskan issue periodisasi secara langsung tetapi memberi kontribusi pada pemahamannya dengan memberikan sejarah terintegrasi dari dunia dari suatu sudut pandang global. Lihat juga refleksi McNeil pada “The Rise of the West after Twenty-Five Years, “Journal of World History, (1990): 1-21. Essay ini menarik inspirasi dari kontribusi yang dikutip diatas, dan ini berusaha untuk melengkapinya dengan mengajukan suatu prinsip untuk mengidentifikasikan periode sejarah koheren dari sudut pandang global.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoFootnoteText"><br />
</div><div class="MsoFootnoteText"><br />
</div><div class="MsoFootnoteText"><br />
</div></div><div id="ftn4"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref4" name="_ftn4" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 9pt; line-height: 115%;">[4]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Beberapa contoh karya terakhir yang dengan baik mengilustrasikan poin tentang dunia modern: Mechal Sobel, T<i>he World They Made, Together, Black and White Value in eighteen-Century Virginia</i> (Princeton, NJ., 1987); John E Wills, Jr, “Maritime Asie, 1500-1800: The Interactive Emergence of european Domination,” AHR, 98 (Februari 1993); 83-105; Edward W. Said, <i>Culture and Imperialism </i>(New York, 1993); Ronald T. Takaki, <i>A Different Mirror: A History of Multicultural America </i>(Boston, 1993); dan Paul Gilroy, <i>The Black Atlantic: Modernity and Double Consciousness</i> (Cambridge, Mass., 1993)</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"><o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn5"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref5" name="_ftn5" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[5]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Dari banyak pemikiran dan karya peter Brown, lihat khususnya The World of late Antiquity, A.D. 150-750 (London, 1971) dan The making of late Antiquity (Cambridge, Mass, 1978). Dalam bentuk migrasi massal, interaksi lintas budaya adalah fitur utama dari keantikan akhir. Namun demikian, dalam karyanya sendiri, Brown telah mengkonsentrasikan pada sejarah budaya dan religios dari lembah Mediterania, dan Asia Barat Daya, tanpa menempatkan pengalaman wilayah itu di Eurasia yang lebih besar atau konteks hemisferik dan tanpa menjelaskan secara langsung tema interaksi lintas budaya.</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"><o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn6"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref6" name="_ftn6" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[6]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 9.0pt; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Lihat, diantaranya, Philip D. Curtin, Cross Cultural trade in World History (New York, 1984); Daniel R. Headnock, The Tentacles of Progress: technology Trasnfer in the Age of Imperialism 1850-1940 (New York, 1988) Immanuel Wallerstein, The Modern World System, 3 vols. (New York; 1974); Eric R. Wolg, Europe and the People without History (Berkeley, Calif, 1982) William H. McNeill, Plagues and Peoples (Garden City, NY, 1976) dan dua karya Alfred Crosby The Columbian Exchange: Biologicdal and Cultural Consequence of 1492 (Wesport, Conn, 1972) dan Ecological Imperialism: The Bilogical Expansion of Europe, 900-1900 (New York, 1986)</span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 11.0pt; mso-ansi-language: EN-US; mso-bidi-font-size: 10.0pt;"><o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn7"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref7" name="_ftn7" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[7]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Irving rouse, Migrations in Prehistory: Inferring Population Movement from Cultural remains (New haven.conn, 1986). Lihat juga David W. Anthony, :Migration in Archeology: The Baby and The Bathwter,” American Anthropologist, 92 (1990):895-914<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn8"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref8" name="_ftn8" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[8]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Lihat robert J. Wenke, Patterns in Prehystory: Humandkind’s First Three Million years, 3 ED (New York, 1990); dan dua karya Marija Gimbutan, The Goddesses and Gods of Old Europe, 6500-3500 BC: Mytsh and Cult linage, updated edn (berkeley, Calif, 1982) dan The Civilization of the Goddess: The world of Old Europe, Joan marler, cd (San Francisco, 1991)<o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn9"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref9" name="_ftn9" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[9]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Sejauh ini mayat palign awal yang diteliti berasal dari 2000 SM dan kultur materialnya mencakup kuda, kereta beroda, dankain yang menunjukkan tenunan yang sama dengan yang terkait dengan komunitas Indo-Eropa di Eropa Utara. Studi rinci mayat itu belum tersedia, tetapi untuk laporan awal lihat Victor H. Mair, Prehistoric Causasoid Corpses of the Tarim Basin. Journal of Indo-European Studies, 23 (1995); 281-307. <o:p></o:p></span></div></div><div id="ftn10"> <div class="MsoFootnoteText"><a href="file:///D:/Tugas%20Mata%20Kuliah%20Historiografi%206.docx#_ftnref10" name="_ftn10" title=""><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"><!--[if !supportFootnotes]--><span class="MsoFootnoteReference"><span style="font-size: 10pt; line-height: 115%;">[10]</span></span><!--[endif]--></span></span></a><span style="font-family: "Arial","sans-serif";"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-ansi-language: EN-US;">Sifat dan hasil dari migrasi Indo-Eropa merupakan materi berdebatan yang berlanjut. Untuk dua pandangan yang bertentangan dan kontroversial, lihat Colin Renfrew, Archaeology and Language: The Puzzle of Indo-European Origins (New York, 1988) dan marija Gimbutan, “The Indo europeanization of Europe: The Intrusion of Steppe pascoralist from South Russion and the Transformation of Old Europe, “Word 44 (1993):205-22. Untuk dua navigasi melalui literator tentang Indo-Eropa, lihat Mallory, In Search of the Indo-europeans dan David W. anthony, “The Archeology of Indo-European Origins,” Journal of Indo-european Studies, 19 (1991):193-222<o:p></o:p></span></div></div></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-20926825772479592002011-12-30T22:43:00.001-08:002011-12-30T22:45:31.097-08:00Tugas Review Historiografi Aisyah Habib 5<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: center; text-indent: -112.5pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt;">PROBLEMS OF INDONESIA HISTORIOGRAPY<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: center; text-indent: -112.5pt;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt;">(</span><i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt;">Masalah Penulisan Sejarah di Indonesia</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt;">)<o:p></o:p></span></div><div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: center; text-indent: -112.5pt;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt;">D. G. E. Hall<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -112.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: 0.0001pt; margin-left: 112.5pt; margin-right: 0in; margin-top: 0in; text-align: justify; text-indent: -112.5pt;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; tab-stops: .5in; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 12pt; line-height: 115%;"> </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Dalam isi review artikel singkat ini menurut Reinhold Niebhur dalam pengantarnya ia mengatakan bahwa ” kekuatan untuk membebaskan sejarah” menunjukan kepercayaan yang telah terinspirasi dari para rekan-rekan editor seperti </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Mohammad Ali, GJ Resink dan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">G. Mc. T. Kahin</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> dalam mehasilkan survey ilmiah mereka mengatakan bahwa jangan hanya menulis tentang sejarah Indonesia,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> tetapi juga</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> harus memperhatikan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> sumber yang tersedia untuk studi, dan </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">disiplin ilmu yang terlibat, Bagaimana komprehensif adalah ruang lingkup</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> yang </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> dapat dilihat dari</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">pengawasan dua puluh dua esai</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> yang tertuang dalam artikel ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; tab-stops: .5in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Dari isi komentar kekayaan dan keragaman studi yang ada D. G. E. Hall mengusulkan bahwa bagian-bagian yang berhubungan dengan penulisan sejarah awal Indonesia perlu diperhatikan tentang sumber-sumber kegiatan masyarakat pribumi. Karna menurut dia sumber ini sangat berguna untuk menulis buku sejarah Indonesia dan sangat berguna bagi mahasiswa untuk dibaca.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Ini kesaksian yang mencolok dengan warisan yang kaya </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">bagi mahasiswa</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"><br />
diwariskan oleh Belanda kepada Indonesia melalui pekerjaan mereka pada awal<br />
sejarah dan peradaban. Tu</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">mbuh</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> besar pekerjaan yang telah</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> mereka</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">bangun, melibatkan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">berbagai </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">disiplin ilmu dan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> studi linguistik, yang </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">ingin </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">menyelamatkan </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">berbagai sumber-sumber sejarah yang </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">indah </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">berupan </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">monumen kuno dan harta karun seni, dan pemulihan dan interpretasi</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dari literatur awal, telah cocok di tempat lain di</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Asia Tenggara </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">yang disimpan oleh</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> Perancis dalam kasus peradaban Angkor</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dan Champa. JH Kern, JLA Brandes, NJ Krom dan WF Stutterheim</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">adalah pelopor yang bekerja memberikan pengganti mereka dengan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">informasi dasar, teknik dan inspirasi untuk membuat kemajuan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> <span lang="EN-US">yang </span></span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dicatat dalam buku</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">ini. Mereka yang telah berbagi dalam perluasan pengetahuan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">mencakup dua </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">karya besar yang ditulis dalam bahasa </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Indonesia</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> seperti oleh dua sarjana yakni</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> (R. Ng. Poerbatjaraka</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dan akhir Hoesein Djajadiningrat), dua sarjana Perancis (George Coed & </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dirinya sejarawan pelopor par excellence di Asia Tenggara dan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">LC Damais), dan galaksi seluruh Belanda, orang-orang cendekiawan seperti CC</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Berg, FDK Bosch, JG de Casparis, R. Goris, Groenevelt WP, C.</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Hooykaas, FH van Naerssen, B. Schrieke dan J. Ph. Vogel. Tapi karena</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">catatan pekerjaan mereka adalah untuk sebagian besar dalam bahasa Belanda, dan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">karenanya tidak dapat diakses untuk</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">semua tetapi beberapa siswa non-Belanda ', dunia belajar adalah Lamentably</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">tahu</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">n</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> sama pentingnya bidang studi mereka dan perbedaan tinggi</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">pekerjaan mereka.</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Dari hasil survey ini </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">D. G. E. Hall melakukan perbandingan terhadap dua tulisan yang ditulis oleh </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">CC</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Berg</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> dan de Graaf dari tulisan Babad Tanah Jawi, </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Pada subjek yang kontroversial teori Profesor CC Berg tentang</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">nilai historis dari tulisan-tulisan Jawa Tengah berurusan dengan, dalam</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">tertentu, kerajaan Singhasari, Majapahit dan Mataram, volume</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">berisi banyak bunga. Ada di tempat pertama artikel sendiri di Berg</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">yang ia menganalisis cerita-cerita dalam karya besar sastra Jawa,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">yang Arjunavivaha, Pararaton, Nagarakertagama dan Babad</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Tanah Jawi dengan pengetahuan yang mendalam yang menempatkan dia di kelas</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">terpisah antara siswa subjek. Ini adalah bertahun-tahun sejak ia pertama diucapkan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">teori bahwa dokumen-dokumen ini harus ditafsirkan dalam hal budaya</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">pola masyarakat Jawa ketika masing-masing diproduksi. Dia sendiri melihat mereka</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">sebagai produk dari kegiatan </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">imam</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> bertujuan untuk meningkatkan daya magis dari</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">penguasa tertentu. Dia </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">menyusuaikan kondisi</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> banyak nilai</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">-nilai</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> historis </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">yang </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">mereka</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> miliki</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">.</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Ide-ide </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">ini </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">sendiri, bagaimanapun, telah mengalami proses evolusi yang berkelanjutan,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dan catatan kaki memperingatkan bahwa artikel dalam buku ini mewakili</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">nya 1959 sudut pandang. Sejak itu ia telah menghasilkan karya besar, Het Rijk</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">van der Vijvoudige Buddha (1962)) di mana ia mengemukanakan teori lebih lanjut.</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Dia jauh dari dogmatis dalam penyajian pandangannya, mengingatkan nya</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">pembaca, dalam artikel tersebut, bahwa hasil yang mungkin hanya sementara</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">karena masih ada sejumlah besar bahan naskah </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">yang perlu di adakan </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">penelitian, dan juga sebagai "bukti berlimpa tentang informasi </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">yang ditulis</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> dalam </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">tradisi lisan dari</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> keluarga imam."</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Tampilan Dr HJ de Graaf dari Babad Tanah lawi berbeda dalam banyak hal<br />
dari Berg, dan dalam kertas dia mengacu pada konflik mereka </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">yang b</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">e</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">rpendapat</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">,<br />
yang dimulai pada tahun 1953 setelah kuliah umum yang disampaikan berjudul<br />
"Di Asal Usul Tawarikh Negara Jawa." Di dalamnya ia </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">mempertahankan </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">bahwa babad</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">yang di</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">sajikan itu</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> lebih baik dari </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">apa yang disampaikan oleh </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Berg dikaitkan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> <span lang="EN-US">dengan</span></span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> mereka. Pertengkaran mereka telah secara khusus atas pertanyaan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">historisitas dari dua karakter dalam Babad Tanah Jawi, Panembahan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Senapati, dianggap telah menjadi pendiri dinasti Mataram, dan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">putranya, Panembahan Krapyak, ayah terkenal Sultan Agung (1613 -</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">45). Keyakinan Berg adalah bahwa Agung homo Novus, pendiri sebenarnya dari</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dinasti, dan bahwa penyusun babad diberikan kepadanya dengan </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">mencocokkan </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">nenek moyang dalam rangka untuk melegitimasi asumsinya kekuasaan. de Graaf pada</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">sisi lain menerima Senapati dan Krapyak sebagai orang-orang sejarah, dan telah</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">diterbitkan biografi mereka. "Profesor Berg dan penulis ini," tulis de</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Graaf dalam makalahnya, "terus pertukaran pendapat tentang masalah ini,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">tapi pada poin penting pandangan kita tidak datang dekat satu sama lain. "</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Titik bahwa ia menekankan dalam tulisan ini adalah bahwa bagian-bagian<br />
cerita berurusan dengan abad ketujuh belas dan kedelapan belas berada dalam </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">p</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">erbeda</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">an </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">kategori dari yang berhubungan dengan periode sebelumnya, karena mereka dapat diperiksa</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">terhadap berbagai sumber-sumber Belanda. Selain itu, di mana kompilator adalah berurusan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dengan peristiwa kontemporer, orang menemukan tingkat akurasi dan kronologis</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">ketertiban. Ini, ia menunjukkan, adalah benar dari periode 1600-1635,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">meskipun tidak dari periode berikutnya, yang berisi banyak hal yang "mitos."</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Saran-Nya adalah bahwa edisi pertama dari babad telah selesai pada</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">tahun-tahun terakhir pemerintahan Sultan Agung, tetapi harus sudah jauh</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">diubah oleh compiler kemudian yang membawa cerita sampai dengan tahun 1677,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">ketika pemberontak Trunojoyo menyerbu dan dipecat kraton Mataram (istana-<br />
kota) mengusir pengganti Agung, Amangkurat I.</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">de Graaf menggambarkan sastra babad sebagai sakral, dan mengatakan bahwa semakin tua</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">naskah juga digunakan sebagai senjata politik, sehingga dari waktu ke waktu</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">perubahan harus dibuat-dan memang dibuat "sampai sangat baru-baru ini</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> <span lang="EN-US">tim 9 </span></span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">dalam rangka untuk membawa cerita ke </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">kesejarahan</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> dengan kebijakan Mataram kemudian</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">penguasa. Akurasi faktual pasti akan dikorbankan dalam membuat</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> babad adalah kisah sejarah dalam </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">babat</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">, biasanya karya seorang penyair istana.</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Untuk survei ini menyimpulkan dengan singkat </span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">menjadi dua bagian yakni,</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> Pada bagian pertama</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">tempat seperti badan informasi ahli tentang sejarah bahasa Indonesia</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">belum pernah dibawa bersama dalam satu volume, dan dalam bahasa Inggris.Benar, untuk menindak</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">lanjuti banyak sekali referensi pengetahuan minimal</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">Belanda diperlukan, dan sebagian besar semata-mata karya yang diterbitkan di Belanda</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">hal ini sangat besar. Tapi ada juga banyak dalam bahasa Inggris dan Perancis;</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">sehingga dengan publikasi ini volume ini tidak ada lagi alasan untuk</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">ketidaktahuan tentang sifat dan ruang lingkup sejarah Indonesia dan sejarah awal</span><span style="font-family: Arial, sans-serif;"> </span><span style="font-family: Arial, sans-serif;">sumber</span><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;"> sejarah itu sendiri.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Jadi bisa dikatakan bahwa sejarah Indonesia yang ditulis hingga kini yang penuh dengan bidang kosong mencerminkan tidak terarahnya perkembangan historiografi Indonesia, dan sangat beragamnya pemahaman tentang berbagai kurun. Tidak ada jalinan cerita sejarah yang runut; tidak ada pusat pandangan tertentu, dan umumnya rekonstruksi beberapa kurun waktu didasarkan atas bukti-bukti yang sangat terbatas. Walaupun untuk beberapa kurun waktu terdapat beberapa cerita sejarah yang cukup runut, bahan-bahan yang dikumpulkan berdasarkan suatu pandangan yang tidak (dan memang tidak dapat diharapkan) bertolak dari versi yang Indonesia sentries misalnya periode Hindu Jawa, kompeni Hindia Timur, dan pemerintah Hindia Belanda akhirnya patut juga dicatat bahwa minat sejarah terhadap berbagai wilayah di Indonesia tidak sama kuatnya. Ada kecenderungan meniti beratkan Jawa. Hal ini dapat dimengerti apabila orang memperhatikan meluasnya sumber data dan monument di Jawa. Ini adalah salah satu sebab mengapa gambaran sejarah Indonesia berkembang agak secara tidak teratur, dan dalam beberapa hal malah agak terdistorsi.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-49270831770539309672011-11-26T11:57:00.001-08:002011-11-26T12:14:06.515-08:00Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 5<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif; font-size: 14pt; line-height: 115%;">Menulis Sejarah Sendiri<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Beberapa Problem Historiografi Indonesia<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Pada kesempatan kali ini, penulis akan membahas sebuah jurnal berjudul “Problems of Indonesians Historiography” yang ditulis D.G.E. Hall. Jurnal ini berisikan mengenai beberapa masalah yang dihadapi sejarawan Indonesia dalam membangun corak tulisan sejarah mereka. Di mana wacana demi wacana telah lama didiskusikan untuk meletakkan orang Indonesia sendiri sebagai aktor utama dalam sejarah bangsa, bukan sebagai kepanjangan dari sejarah bangsa lain, atau hanya menjadi figuran dalam setiap penulisan sejarah Indonesia. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Sebagaimana telah diketahui bahwa kepustakaan sejarah yang pada saat itu lebih banyak menekankan peranan orang Eropa, dan melihat sejarah Indonesia sebagai sejarah ekspansi Eropa di Indonesia. Hal tersebut terjadi, karena memang data-data yang mereka punyai untuk menggambarkan kita sangat banyak sekali. Sehingga wajar, bila sejarah Indonesia, banyak ditulis berdasarkan perspektif mereka. Lantas pertanyaannya adalah, apakah kita tidak mempunyai data-data yang dapat menggambarkan masa lalu bangsa kita sendiri. Tentu inilah yang menjadi pertanyaan dalam tulisan Hall. Dia melihat bahwa wacana Indonesiacentrisme seharusnya didukung pula dengan persiapan data dan sumber-sumber yang dapat dijadikan media dalam eksplanasi sejarah bangsa. Maka dari itu, Hall merasa apresiasi sekali terhadap pemikir, penulis, dan sejarawan yang mencoba untuk menerobos kekurangan ini sebagaimana yang telah dicoba oleh Hoesein Djajadiningrat yang secara kritis mengkaji tradisi penulisan <i>babad</i> dalam khasanah sastra. Tulisan itu memang sedikit dipengaruhi oleh penulis luar yang lebih dahulu membahas secara kritis menganai <i>babad</i>, yakni H.J. de Graf dan C.C. Berg. Namun karena Hosein Djajadiningrat orang Indonesia pertama yang mencoba membahas <i>babad</i> secara kritis maka apresiasi terhadapnya cukup besar. Selain itu, Soedjatmoko turut juga memanaskan wacana Historiografi Indonesiacentrisme, dia mampu memuat berbagai keterangan mengenai sumber sejarah dan sumbangan berbagai disiplin untuk penulisan sejarah, ini menjadi landasan intelekstual yang penting. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: Arial, sans-serif;">Permasalahan lain yang turut dipersoalkan Hall adalah siapa yang akan meneruskan penelitian ini setelah orang-orang tersebut, apakah ada ruh baru yang akan melanjutkan wacana historiografi Indonesiacentrisme. Sehubungan dengan itu, Koentowijoyo berharap sekali bahwa sejarawan akademisilah yang paling ada peluang untuk “mengompori” persoalan itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 115%; text-align: justify; text-indent: .5in;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Sumber: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Hall, D.G.E. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="text-align: justify;"><i><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">Pacific Affairs</span></i><span lang="EN-US" style="font-family: 'Times New Roman', serif; font-size: 10pt;">. Vol. 38, No. ¾, (Autumn 1965 – Winter, 1965-66), pp 353-359.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-73953138875669037242011-11-26T11:54:00.001-08:002011-11-26T11:54:28.668-08:00Tugas Review Historiografi Robby Anugerah 4<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: Calibri;">Leur dan Verhoeven<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 14.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: Calibri;">Dalam Pandangannya Menjelaskan Sejarah Kompeni<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Calibri;">“Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia” adalah kumpulan dua artikel terjemahan yang isinya berkaitan dan membahas tema yang sama, yaitu sejarah maritim. Di mana masing-masing penulis artikel saling adu argumentasi dan kritik sesuai kerangka berpikir yang mereka punya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Calibri;">Judul artikel pertama dalam buku ini adalah “Mahan op den Indischen Lessenaar” (Mahan di meja baca Hindia) yang dibuat J.C van Leur, artikel ini adalah artikel sanggahan terhadap tulisan sebelumnya yang dibuat F.R.J. Verhoeven, “De Compagnie als instrument van den oorlog ter zee 1602-1641” (Kompeni sebagai alat perang di laut). Awalnya Leur merasa tidak puas dengan pemaparan Verhoeven yang tidak melihat teori Mahan dalam menjelaskan hubungan sejarah Kompeni Belanda di kepulauan Indonesia. Karena merasa diserang dan dikritik habis-habisan oleh Leur, akhirnya Verhoeven pun menjawab dengan memberi kritik balasan melalui tulisannya “In de ban van Mahan” (Terpesona oleh Mahan). Verhoeven beberapa kali secara “vulgar” mengecam Leur yang dianggapnya terlalu berani dan tidak sopan melempar pandangannya. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Calibri;">Memang sangat menarik membahas dua artikel yang saling bertentangan, dan adu pandangan terhadap suatu tema yang sama. Karena dari sanalah sebenarnya kita bisa melihat, bagaimana para penulis itu menyusun kerangka berpikirnya untuk menjelaskan suatu pokok permasalahan. Leur, dengan modal teori Mahan, ia ingin menunjukkan peranan Kumpeni Belanda sebagai kekuatan maritim yang besar. Ia kemudian melihat gagasan dan teori-teori tentang kekuatan laut (Sea Power) yang dibuat oleh Mahan, di mana dalam gagasan itu terdapat enam unsur yang menentukan dapat tidaknya sebuah negara berkembang menjadi sebuah negara bahari, yaitu: kedudukan geografi, bentuk tanah dan pantainya, luas wilayah, jumlah penduduk, karakter penduduk, dan sifat pemerintahannya. Leur menggunakan salah satu teori dari Mahan untuk menyelidiki sejarah kumpeni di Indonesia yaitu teori kedudukan geografis. Dalam rangka memperluas daerah kekuasaan atau eksistensinya dalam menerapkan kolonialisme di Indonesia, Belanda perlu memperhatikan kondisi geografis dari Indonesia. Sebagaimana pada saat itu, Indonesia dikenal sebagai “negara” yang sangat luas wilayahnya terutama lautnya dan juga terdiri dari beribu-ribu pulau di dalamnya (archipelago). Sehingga apabila Belanda ingin menguasai Indonesia dan tetap menjadi kolonial yang paling kuat, tanpa ada negara lain yang menyainginya, maka kekuatan di lautan dan wawasan maritim Belanda harus terampil dan solid. Selain dari penguasaan terhadap wilayah laut, Belanda juga harus menguasai jalur perniagaan atau perdagangan. Seperti yang kita ketahui, Indonesia memiliki banyak pelabuhan-pelabuhan penting yang strategis misalnya pelabuhan Sunda Kelapa yang letaknya berada di perairan utara pulau Jawa yang merupakan jalur pelayaran dari daratan India menuju China. Banyak kapal-kapal dagang saat itu, baik China, Arab, India yang singgah dan melakukan kegiatan perdagangan. Sehingga seharusnya Verhoeven juga menjelaskan peranan pedagang-pedagang itu. Apalagi sebelum memasuki abad ke-18, kompeni masih belum dianggap mempunyai peranan penting di Indonesia. Oleh karena itulah,<span> </span>Leur mengungkapkan untuk menjelaskan sejarah Kompeni Belanda seharusnya terlebih dahulu melihat peta dari daerah yang menjadi tempat penetrasinya, sehubungan dengan itu, teori Mahan cocok digunakan sebagai media penggambaran. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Calibri;">Berbeda dengan pandangan Leur, Verhoeven mencoba sedikit “melunak”, walau terkadang ada beberapa kalimat secara “vulgar” mengecam, ia memang mengakui secara tidak tegas menerapkan teori Mahan pada tulisannya yang pertama. Akan tetapi, itu berdasarkan pertimbangan yang sudah sangat diperhitungkan. Ia melihat bahwa ada beberapa segi dari teori Mahan yang tidak cocok untuk diterapkan pada tulisannya seperti permasalahan waktu yang tidak relevan untuk menjelaskan peristiwa sejarah yang sudah lama. Ia berasumsi kondisi laut dulu berbeda dengan kondisi laut ketika teori Mahan muncul. Sehingga ia kurang antusias terhadap teori itu. Di akhir artikel, ia kemudian memunculkan nama-nama orang yang mengkritik teori Mahan. <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; mso-fareast-font-family: Calibri;">Dari beberapa penggambaran di atas, penulis hanya bisa menyimpulkan bahwa baik Leur dan Verhoeven, sama-sama memiliki cara sendiri dalam menerapkan kerangka berpikirnya. Konsep dan teori yang mereka pakai, juga sama-sama memiliki kelebihan dan kelemahan. Memang di dalam tulisan ilmiah konsep dan teori sangat menentukan nilai tulisan itu baik atau tidak. Namun, kita hanya bisa berupaya, teori mana yang paling dekat dan benar untuk menjabarkan inti persoalan. Hemat kata, penulis sangat apresiatif sekali dengan kedua tokoh ini, mereka mengajarkan bagaimana berbuat kritis dalam melihat sesuatu.<span> </span><span> </span><o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: Calibri;">Sumber: <o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Times New Roman","serif"; font-size: 10.0pt; line-height: 150%; mso-fareast-font-family: Calibri;">Van Leur, J.C dan F.R.J. Verhoeven. 1974. <i>Teori Mahan dan Sejarah Kepulauan Indonesia</i>, terjemahan Kartini Abubakar tim. Jakarta: Bhratara<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-33392350076956965622011-11-12T14:06:00.003-08:002011-11-12T14:06:13.979-08:00Tugas Review Historiografi Ahmad Al Marisi 5<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 16.0pt; line-height: 150%;">Permasalahan Historiografi Indonesia<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Tulisan ini ditulis oleh D.G.E Hall, seorang sejarawan dari inggris (atau amerika serikat). Tulisan ini merupakan hasil reviewnya terhadap tulisan-tulisan yang telah lebih dahulu terbit yang bertema tentang historiografi Indonesia. Hall dalam tulisannya berusaha untuk membandingkan tulisan-tulisan para ahli tersebut untuk melihat masalah dan metode mereka dalam meneliti. Setelah membaca tulisan ini, menurut saya, Hall menggunakan penelitian kepustakaan dan sesekali mewawancara sang penulis buku yang dipakainya untuk tulisan ini.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hall membatasi<span> </span>penelitiannya hanya kepada sejarah awal atau tradisional di Indonesia. Untuk bisa memahami ini, menurut saya Hall perlu membahas karya-karya klasik jawa seperti babat tanah jawi dan sebagainya untuk memahami sejarah awal tanah jawa. Untuk sumatera, ia perlu mempelajari tentang sejarah melayu (hikayat). Begitu juga untuk pulau-pulau utama lain di Indonesia.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Saya tertari pada bahasan Hall tentang tulisan C.C Berg mengenai penulisan sejarah jawa yang didalamnya dibahas tentang kerajaan singasari, majapahit, dan mataram. berdasarkan dari tulisan Berg tersebut, hall mengatakan bahwa “Dia” (Berg) telah melihat secara langsung kekuatan spiritual dari pemuka agama dan penguasa. Bagaimana Hall bisa menyimpulkan begitu, saya belum begitu paham. Kemudian, Hall mengatakan bahwa Berg telah melontarkan tantangan yang harus dianggap serius oleh akademisi. Apa maksud dibalik tantangan berg ini tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Hall. Berg dinilai terlalu teoritis dan terlalu sistematis. Dalam pengertian saya, Hall ingin menunjukkan bahwa Berg terlalu kaku dan kolot. Zoutmulder mengatakan bahwa tantangan Berg dapat diatasi bila peneliti dapat menguasai bahasa dan tulisan klasik yang berhubungan dengan kebudayaan yang di teliti yangd alam hal ini kebudayaan jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Kemudian Hall seperti membandingkan tulisan historiografi jawa versi Graaf dengan versi Berg. Perselisihan tulisan tersebut dimulai dari siapa pendiri mataram. berg menganggap sultan agung sebagai sang pendiri sementara graaf menganggap panembahan senapati lah yang mendirikan mataram. saya heran, mengapa Berg tidak mengambil sumber yang ditulis budayawan jawa khususnya yang orang Indonesia atau meneliti sendiri “Babat”? karena babat adalah sumber tunggal yang sangat penting untuk mengetahui sejarah jawa.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Hall lalu membahas tentang sejarah melayu yang ditulis oleh Bottoms. Dia mengatakan berdasarkan tulisan bottoms bahwa sejarah melayu identik dengan unsure teologi etnis melayu pada saat itu yang dikombinasikan dengan legenda. Tidak jelaskan lebih lanjut tulisan melayu apakan yang dimaksud. Sebagai pengeritik harusnya Hall memasukkan potongan tulisan tersebut. Model yang sama juga di ulangi Hall dalam membahas sejarah Bugis, Sulawesi dan makasar. Dia menyebutkan berdasarkan tulisan Noorduyn bahwa sejarah bugis dan sebagainya itu dipenuhi cerita mitos dan legenda. Tapi cerita apa yang dimaksud, tidak jelas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dan diakhir tulisannya Hall mempunyai dua masalah utama dalam meneliti historiografi indonesisa. Pertama ,dia sangat kesulitan dengan tulisan asli historiografi Indonesia. Menurutnya tulisan yang dimaksud tidak dalam satu volume saja dan juga tidak dalam bahasa inggris. Kesulitan seperti ini menurut saya adalah hal yang wajar dan tidak perlu dituliskan. Karena sudah banyak tulisan-tulisan yang lebih dahulu meneliti tentang sumber “asli” yang dimaksud. Kedua, dia mengakui bahwa masih bayak sumber yang belum diteliti dan masih banyak kemungkinan sumber yang belum diketahui. Menurut saya, hal itu memang benar adanya dan saya berharap agar Hall menyempurnakan tulisannya ini dengan melakukan penelitian lebih dalam dengan menggunakan sumber-sumber yang diakuinya belum diteliti.</span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-86220085949545941902011-11-12T14:04:00.001-08:002011-11-12T14:04:46.895-08:00Tugas Review Historiografi Ahmad Al Marisi 4<div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">ABAD 18 SEBAGAI KATEGORI DALAM<o:p></o:p></span></b></div><div align="center" class="MsoNormal" style="line-height: normal; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt;">PENULISAN SEJARAH INDONESIA<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dr. Van Leur, adalah sejarawan belanda yang cukup terkenal dalam proses penulisan sejarah dari sudut pandang Indonesia. Van leur mengemukakan teori yang pada saat itu dinilai bertentangan dengan teori sejarah kolonial yang berkembang pada saat itu. Beliau menulis sejarah bukan dari sudut pandang kolonial melainkan dari sudut pandang daerah jajahan (Indonesia). Dalam pengantar singkat yang ditulis oleh Richard, mengemukakan bahwa menurut van leur, VOC tidak mempengaruhi perkembangan sejarah di asia dan bahkan VOC harus mengikuti pola-pola yang diterapkan oleh penduduk asli Asia ketika itu.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Van leur sekalipun seorang sejarawan, kajian sejarah yang didalaminya adalah kajian ekonomi. Wajar saja karena VOC adalah kongsi dagang yang tujuannya memang mencari untung. Saya melihat bahwa tulisan Van leur dalam buku ini didedikasikannya untuk VOC. Tapi secara tidak sadar, tulisannya juga bermanfaat bagi Indonesia saat ini. Dia dianggap sebagai pelopor historiografi Indonesia. Dia dianggap istimewa oleh sejarahwan Indonesia karena sekalipun dia orang belanda tapi tulisannya mengambil sudut pandang jajahan belanda.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Dalam tulisannya yang berjudul “abad 18 sebagai kategori dalampenulisan sejarah Indonesia”, dia mengatakan bahwa tulisan yang ada unsure kronologis adalah tulisan De Bois yang menerangkan tentang pergantian jabatan gubernur jendral di hindia belanda pada saat itu. Dia juga menjelaskan secara kronologis system pemerintahan yang ada di Indonesia. Kemudian dia menjelaskan tentang peran penulisan di eropa dalam mempengaruhi perkembangan budaya kolonial. Dia memaparkannya dengan singkat dan cukup jelas.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Lebih dalam lagi, Van Leur menjelaskan tentang perkembangan perdagangan di asia pada saat itu. Dia membahas pengaru mongol terhadap dinasti di china, bangsa Persia dan india dan lainnya. Dalam paparannya tentang perdagangan di asia, van leur tidak lupa untuk menjelaskan pengaruh bangsa eropa dalam proses perdagangan di asia tersebut. Dia menggambarkan tentang benteng-benteng dan kemegahan lainnya yang dimiliki oleh kebudayaan asia pada saat itu. Dan sekali lagi, dia menjelaskannya secara ringkas tetapi cukup jelas. Ketika membahas perdagangan lebih dalam, van leur tidak segan menggunakan angka-angka seperti halnya tulisan yang berhubungan dengan statistic. Dia menggunakan angka dengan cukup jelas dan di mengerti pembacanya.<o:p></o:p></span></div><div class="MsoNormal" style="line-height: 150%; text-align: justify; text-justify: inter-ideograph;"><span lang="EN-US" style="font-family: "Arial","sans-serif"; font-size: 12.0pt; line-height: 150%;">Saya melihat dalam tulisan van leur ini bahwa penggunaan catatan kaki tidak hanya berhubungan dengan kutipan yang diambil dari sumber lain, melainkan terdapat juga penjelasan yang lebih mendalam tentang kata-kata penting yang terdapat pada kalimat utama. Saya melihat antara judul tulisan dengan isi tulisan, sari situ saya mendapatkan bahwa isi tulisan kurang sesuai dengan judul. Indonesia sangat minim dibahas dalam tulisan. Maka itu saya berkesimpulan bahwa kata “Indonesia” dalam judul tulisan bukanlah bangsa Indonesia yang merupakan penduduk asli Indonesia melainkan orang kolonial yang menetap di Indonesia yang tentu saja menguras kekayaan Indonesia.<o:p></o:p></span></div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-570393651323958677.post-77724267778683535672011-11-12T13:59:00.003-08:002011-11-12T13:59:33.386-08:00Tugas Review Historiografi Suharto 5<div align="center" class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: center;"><b><span lang="EN-US" style="font-size: 18.0pt; line-height: 115%;">Problems of Indonesian Historiografi<o:p></o:p></span></b></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Reinhold <span> </span>Niebhur menyebutkan bahwa pada awal abad ke-20 di Indonesi atau beberapa kepulauan Asia Tenggara menyatakan ada sekitar 22 orang yang mencoba menulis tentang Kepualauan Nusantara. Pernyataan ini diungkapkan oleh artikel D. G. E. Hall yang semua orang mengerti bahwa ia dianggap salah satu pakar Asia Tenggara. Berbagai ulasan yang ada pada dirinya yang jelas ia salah satu orang yang mencoba memaparkan berbagai peperangan yang ada di Asia Tenggara sebagai pakar Asia Tenggara. Pada tahun-tahun setelah kemerdekaan merupakan perdebatan yang luar biasa. Uraiannya yang sangat bagus berkaitan dengan kejatuhan Kamboja kuno serta hilanganya kedaulatan Champa (Vietnam Selatan) merupakan karya D. G. E. Hall yang sangat mumpuni. Banyak karya-karyanya yang akhirnya mendapat kritikan karena ia lebih banyak menyajikan sejarah sebagai tulisan yang berkaitan dengan para raja, peperangan serta berbagai kasus pada masa-masa Asia Tenggara awal sampai pergerakan Indonesia modern.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Tulisannya tentang Indonesia klasik sebenarnya kurang menggigit karena kalau melihat tentang beberapa karyanya kurang mampu membuat visualisasi yang lebih baik, tetapi karyanya tetap salah satu karya perang-perang lokal yang ada di Asia Tenggara yang paling akurat. Didalam artikel ini yang sebenarnya artikel yang sudah cukup lama karena ditulis pada tahun 1965. Berkaitan dengan apa yang ia sebut <i>Pacific Affairs</i> memahami tentang problematika penulisan sejarah yang ada di Indonesia sangat menarik. Sebelumnya Indonesia hanya dipahami sebagai salah satu entitas yang banyak melahirkan berbagai kultur pra-industri, pada tahun-tahun ini Indonesia di bawah Sukarno banyak membuat berita karena berbagai ulah yang sangat menarik. Gemuruh politik yang dibawa Sukarno menjelang keruntuhannya banyak mendapat kajian yang luar biasa. Ketika Nielbur memaparkan siapa-siapa yang menulis tentang Indonesia pada masa<span> </span>itu, kemudian muncul berbagai kajian yang lain. Pada awal tahun 1990-an Hermawan Sulistyo murid dari William Frederick yang menulis Surabaya, Hermawan mencoba membuat kalkulasi yang cukup menarik. Pemaparannya yang berkaitan dengan siapa saja para pakar yang menulis tentang Indonesia dari sudut pandang pilitik dan sejarah, ia membuat rangking yang Indah. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Ia menyandarkan bahwa pada tahun 1990-an sebanyak hampir 300-an Indonesianis yang mencoba membuat uraian. Tentu perkembangan yang luar biasa bila dibanding penulis pada masa-masa ketika Hall menulis Asia Tenggara. Para sejarawan Belanda sebenarnya sudah banyak yang menulis tentang Indonesia. Karya monumental Raffles yang pernah menjadi Gubernur Jawa merupakan salah satu karya sejarah Jawa yang paling lengkap pada masanya. Sebelum beberapa sarjana Belanda banyak menulis kajian sejarah di Indonesia sebenarnya banyak orang Belanda yang menjadi penerjemah karya-karya klasik Indonesia. Pada masa kolonial para ilmuwan Belanda baik arkeologi, sejarawan maupun filologi yang mencoba membuat berbagai kasus klasik Indonesia. J. H. Kern, J. L. A. Brandes, N. J. Krom, W. F. Sutterheim menjadi pioneer sejarah klasik. Mereka memberi penjelasan tentang beberapa peninggalan Hindu dan Budha yang ada di Asia Tenggara, sering menyebut masa peradaban Angkor. Tetapi keterangan ini mendapat tentangan yang luar biasa pada tahun-tahun berikutnya. Usaha lebih tua mana Angkor dan Borobudur akhirnya mendapat keterangan yang lebih baik karena pada awal-awal abad Borobudur dinyatakan lebih tua dari bangunan Angkor di Kamboja yang skala bangunannya selalu lebih luas. Para pakar ini lebih menyoroti berbagai karya klasik yang lebih bersifat monument.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Perkembangan penulisan sejarah menjadi sangat menarik karena munculnya beberapa orang ahli Indonesia yang menulis R. Ng. Poerbatjaraka secara pendidikan lebih beruntung dari Djajadiningrat. Kepakaran Poerbatjaraka dalam bahasa ibu (Jawa) sangat membantu ketika ia berada di Belanda. Banyak buku-buku kuno yang kemudian di sadur oleh dirinya sehingga lebih memudahkan ilmuwan selanjutnya. Djajadiningrat terkenal karena ia banyak berkelana di pelosok Pulau Jawa. Sebagai orang berpangkat tinggi ia banyak mendapat kesempatan untuk mengungkapkan apa yang menurutnya semata yang menarik. De Casparis dan Damais yang memang pakar epigraf banyak menyoroti tentang adanya revitalitas antara dinasti Hindu Sanjaya serta dinasti Budha Syailendra. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Berbagai monument besar yang ada di Jawa yang bercorak Hindu dan Budha sangat menarik bagi orang-orang ini. Ia menjelaskan tentang perang yang ada pada dataran tinggi, Candi Ratu Boko sebagai istana masa lalu. Penjelasannya mengenai Candi Sewu mengungkapkan bahwa Jawa pernah mengalami zaman keemasan. Bangunan-bangunan raksasa merupakan wujud dari keangkuhan dua dinasti yang memerintah Jawa Tengah pada abad-abad yang lebih awal tentang kerajaan Jawa. Bagaimana reruntuhan besar Candi Borobudur sebagai peninggalan pada masa ini. C.C. Berg yang banyak membangun teori kontroversi merupakan wacana lain dari perkembangan penulisan sejarah Indonesia awal. Pemaparannya yang berkaitan dengan Singasari, Majapahit serta Mataram menimbulkan perdebatan hebat, ia menyatakan Ken Arok, Panembahan Senopati merupakan tokoh dalam karya sastra yang kebenaran sejarahnya diragukan. Demikian juga dari berbagai judul buku tersebut menurut uraian buku tersebut sebagai mitologi belaka sehingga puja sastra yang berkaitan dengan sikap supranatural. Cerita terbangun sangat berlainan. H. J. de Graaf yang banyak menulis tentang Jawa, utamanya pada masa-masa perkembangan mataram Islam memiliki langkah tersendiri. Ia banyak menggunakan sumber dari kronik Jawa klasik yang disebut babad. Babad Tanah Jawi, Babad Momana, Serat Kandha menjadi berbagai acuan dari beberapa karyanya. Kepakarannya dalam serat klasik membawa beberapa penulisannya tentang Jawa pada abad pertangan tidak diragukan. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Sebagai seorang sejarawan yang merekontruksi Mataram dari babad serta berita Belanda merupakan karya yang sangat bagus. Buku-buku ini sampai sekarang masih menjadi berbagai rujukan berkaitan dengan kasus sejarah Jawa yang memang unik. Perbandingan sangat menarik ketika Berg menganggap karya-karya Jawa seperti Arjunavivaha, Pararaton, Nagara Kertagama dan Babad Tanah Jawi merupakan <i>masterpiece</i> karya besar pujangga Jawa dari beberapa abad yang terjadi. Sebenarnya permasalahan bermunculan pada masa ini karena pada dasarnya para sejarawan banyak menyatakan tentang disiplin ilmu sejarah bagaimana dituliskan. Ini terjadi karena perdebatan hebat apakah karya-karya klasik yang notabene karya sastra layak menjadi data serta fakta yang baik untuk merekontruksi sejarah. Berbagai ide bermunculan karena ini karya klasik ketika menjadi rujukan tentu harus mendapat perimbangan dari karya-karya yang lebih modern.kenyataannya data yang melimpah dari keterangan di negeri kepulauan merupakan belantara laini dari karya tulisan yang sebenarnya tidak mudah untuk membuat klasifikasi. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Orang-orang Asia Tenggara maupun Kepulauan Nusantara yang terbiasa menulis bukan sebagai data dan fakta sebagai faktor penting tentu berbeda dengan berbagai laporan. VOC atau zaman kolonial Belanda membuat pernyataan serta kalkulasi politik yang ada. Memerlukan berbagai keahlian klasik untuk memahami berbagai tulisan sastra pada zaman ini lebih menyoroti beberapa karya klasik yang memberi pemahaman sebagai mana karya sejarah harus ditulis. De Graaf membuat berbagai pernyataan sebagaimana beranggapan bahwa Babad Tanah Jawi merupakan kronik yang resmi dari sebuh pemerintahan, sedangkan Berg beranggapan bahwa dibuatnya babad memang merupakan karya untuk memuja salah satu tokoh malahan yaitu Sultan Agung sebagai raja besar pada masa-masa tersebut. Sebagai seorang raja yang terlegitimasi bisa saja ia meminta para pujangga Jawa memahami bagaimana ia berkuasa sebagai seorang raja yang harus diceritakan seperti pada Babad Tanah Jawi. Djajadiningrat banyak menyoroti tentang upacara, pernyataan tradisi local, adat tradisi, kejayaan personal, berdirinya kerajaan, catatan yang masih miskin atau terisolasi. J. C. Bottom mencoba membuat berbagai gambaran yang ada pada sejarah Malaya. Ia menemukan bagaimana orang Melayu memahami otobiografi, kode-kode hokum, surat-surat pribadi, deskripsi tentang syair (puisi) dan sebagainya. Berbagai seremonial raja, upacara kebesaran maupun keagungan sang raja banyak disebut pada hikayat-hikayat tanah Sumatera atau Semenanjung Malaya. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Berbagai legenda Melayu berbagai fantasi serta gossip para bangsawan banyak tertulis. Memilih persamaan dengan negeri kepulauan yang lain Melayu memiliki genre tersendiri dalam menulis karya kuno mereka. Raja-raja Melayu banyak menulis ketika Melayu bersinggungan dengan Islam sebagai sebuah entitas yang mewakili mereka sebagai sebuah bangsa. Kehebatan, kejayaan raja serta berbagai kaidah Melayu merupakan bahan kronik Melayu yang memang popular. Banyak karya Melayu membuat banyak paradoksal atau ironi. Cerita tentang orang gunung melawan orang laut dan berbagai hal yang lain menunjukkan seperti itu dunia Melayu ditulis. Bahasa serta ritme Melayu yang memang mendayu penuh keindahan bahasa sangat dihargai. Berbagai karya sastra yang hebat tetapi bukan sebagai hasil kajian sejarah. Semua yang mereka miliki meragukan sebagai suatu karya sejarah. Suasana kontras terjadi ketika mencoba melihat tentang Makassar dan Bugis karya-karya klasik mereka yang besar berkaitan dengan legenda, mitos, dan berbagai adat yang ada banyak mendapat sorotan tersendiri. Di antara bangsa Asia Tenggara mungkin orang Bugis dan Makassar dalam menulis sejarahnya relatif baik. Banyak catatan-catatan istana, atau para pejabat tinggi kerajaan menjabarkan bagaimana karya bangsa pelaut ini lumayan bagus sebagai data sejarah. Catatan harian, pengetahuan perbintangan tentang ekspedisi perang, kasus-kasus negara, keluarga kerajaan, maupun fenomena alam yang mereka catat sangat faktual. Bahkan beberapa kejadian dicatat dengan sangat teliti dan apa adanya. Sehingga tulisan-tulisan yang ditinggalkan kedua bangsa ini terasa relatif bersejarah dibanding karya-karya negeri kepulauan yang lain. </span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><span lang="EN-US">Dr. Noordyn yang banyak membahas daerah memberi gambaran yang jelas. Problem penulisan sejarah di Indonesia sebenarnya bukan perkara mudah. Di Indonesia terlanjur menjadi sesuatu yang indah pengetahuan sejarah bercampur dengan pengetahuan yang lain dan satu kesatuan yang saling merangkai. D. G. E. Hall sebenarnya menyatakan persoalan sejarah Indonesia dengan kemajemukan memerlukan pemahaman yang tidak mudah. Melihat babad dengan kacamata sejarawan modern tentu tidak tepat. Karena penulisan sejarah terkait dengan jiwa zaman serta wacana yang mendukungnya. Demikian juga sejarah di Indonesia dipakai. Apabila sejarawan memahami tidak ada yang sulit atau misteri dari penulisan di Indonesia kecuali para sejarawan menginginkan menjadi cerita kuno yang menyeramkan generasi berikutnya.</span></div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div><div class="MsoNormal" style="margin-bottom: .0001pt; margin-bottom: 0in; text-align: justify;"><br />
</div>S2 Ilmu Sejarah UGM 2011http://www.blogger.com/profile/14186352218044151931noreply@blogger.com0