Minggu, 18 Maret 2012

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar 8

Tidak Kunjung Selesai, Mau Dibawa kemana Sejarah Nasional Indonesia (?)

Salah satu pengaruh reformasi yang paling terasa dalam historiografi Indonesia adalah munculnya wacana revisi Sejarah Nasional Indonesia (SNI). Sayangnnya, sejak digulirkan, wacana tersebut sampai kini belum terlaksana. Apa sebabnya?
Belum adanya kesepahamandiantara para sejarawan Indonesia akan periodisasi sejarah Indonesia kiranya menjadi salah satu pemicunya. Walaupun, rumusan akan itu sudah banyak bermunculan. Bahkan, sejak awal penggagasan proyek tersebut. Hal ini antara lain bisa disimak dari pernyataan-pernyataan R. Moh. Ali, Sartono Kartodirdjo, dan Kuntowijoyo.
Mengapa revisi periodisasi penting dalam perumusan SNI yang mulanya disusun berdasarkan pergantian rezim (regime oriented)? Sebagai alternatif jawabannya, kiranya tidak ada salahnya jika kita menyoroti bab III dan IV Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia yang ditulis oleh R. Moh. Ali. Dalam buku tersebut diungkapkan oleh R. Moh. Ali bahwa periodisasi sangat penting periodisasi merupakan kerangka perumusan narasi besar dalam sejarah nasional. Pasalnya, perumusan sejarah nasional yang sistematis hanya dapat tercapai dengan empat hal, yakni: keyakinan nasional; periodisasi—R.Moh. Ali menyebutnya sebagai babakan waktu—; norma-norma penguji fakta; serta cara penyusunan dan penafsiran fakta.
Lebih dari itu, R. Moh. Ali pun merangkum periodisasi yang umum berlaku dalam historiografi Indonesia. Menyarikan banyak pendapat, ia menggolongkan periodisasi itu menjadi lima katagori yang masing-masing katagori masih ia turunkan lagi dalam beberapa tahap.
Dalam tulisan ini, saya tidak ingin terlalu menyoroti tulisan R.Moh. Ali. Oleh karenanya, masing-masing katagori periodisasi sejarah Indonesia itu dapat disimak secara langsung dalam buku dan bab yang telah saya sebutkan sementara ini bahasan saya fokus pada periodisasi yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini sebagai wacana alternatif perumusan revisi SNI.
Alternatif Periodisasi, Sekali Lagi
Artikel yang ditawarkan dalam kelas membaca minggu ini adalah “Cross-Cultural Interaction and Periodization in World History” karya Jerry H. Bentley, seorang profesor sejarah dari Universitas Hawai yang fokus pada kajian sejarah global dan kekhasan proses dalam interaksi silang budaya. Secara keseluruhan, tulisan Bentley tersebut mengkritisi periodisasi sejarah banyak negara yang menjiplak periodisasi yang berlaku di banyak negara di Eropa. Dengan kata lain, periodisasi sejarah yang berlaku di banyak negara, kata Bentley, adalah masa kuno, masa pertengahan, dan masa modern. Periodisasi yang seperti itu, papar Bently tidak relevan terutama ketika sejarawan menambah cara pandang dan pengujian proses akan garis batas silang sosial dan budaya. Oleh karena itu, ia menawarkan silang budaya sebagai periodisasi dalam sejarah dunia.
Periodisasi yang ditawarkan oleh Bentley didasarkan oleh tiga hal. Ketiga hal tersebut yaitu migrasi massal, ekspansi imperium, dan perdagangan jarak jauh. Dari ketiga hal tersebut, iapun membagi sejarah global menjadi enam periode, yakni: (1) masa awal masyarakat (3000-2o00 SM); (2) zaman peradaban kuno (2000-500 SM); (3) zaman peradaban klasik (500 SM-500 M); (4) peradaban pascaklasik (500-1000 M) era tranregional atau perluasan kerajaan (1000-1500 M), dan (6) zaman modern (1500 M-sekarang).
 Periodisasi yang disusun oleh Bentley menurut saya menarik. Pertama, sejarah global tampak sebagai sebuah generalisasi tanpa memandang keunikan masing-masing subyek sekaligus obyek sejarah. Meskipun didasarkan silang budaya, tidak semua bangsa terlibat secara aktif dalam persilangan itu. Kedua, periodisasi membutuhkan kontektualissai untuk menangkap makna, persamaan, dan perbedaan setiap fase. Misalnya, abad untuk penyebutan masa seratus tahun dan zaman atau era sebagai abstraksi sejarah. Ketiga, periodisasi abad XV sebagai zaman modern. Saya kira, penyebutan ini sama dengan era renaissance sebagai petanda runtuhnya hegemoni keagamaan. Jika demikian, bukankah kurang tepat? Keempat, sehubungan dengan silang budaya maka era modern ini dikaitkan dengan banyak hal, antara lain budaya, teknologi, dan ekonomi.
Pertanyaan selanjutnya, bagaimanakah tarikan abad XV sebagai periodisasi modern yang juga berlaku dalam historiografi modern, sebagaimana dikemukakan oleh M.C. Ricklef. Jika periodisasi merupakan generalisasi dari gejala-gejala yang ditangkap dari satu fase ke fase lainnya maka pertanyaan yang kita ajukan untuk menyatakan Islam sebagai periodisasi modern di Indonesia seputar tanda dan petanda Islam. Jika Islam dipandang dari sisi agama bukankah bisa saja periode tersebut dipandang sebagai hegemoni salah satu agama. Dengan demikian bukankah bisa saja dikatakan sebagai zaman pramodern. Lalu, jika kemodernan itu ditandai dengan melek aksara sebagai buah pendidikan bukankah periode Hindu Budha bisa juga dikatakan modern, ditunjukkan dengan banyaknya sistem pendidikan sangha?
Kembali ke pokok diskusi soal peridisasi dalam sejarah Indonesia. Saya kira, setiap orang bisa menentukan periodisasi. Persoalannya, sejauh manakah bisa menjelaskannya secara logis. Jika dikaitkan dengan revisi SNI yang tidak kunjung selesai dan masih diperdebatkan saya kira persoalan yang selanjutnya harus dipikirkan bersama ialah soal sudut pandang. Sudut pandang yang saya maksudkan ialah perlunya dekonstruksi SNI. Dengan demikian, saya kira, dalam meletakkan periodisasi, sejarawanjuga harus meletakkan realitas masa kolonial. Salah satu realitas kolonial kaitannya dengan periodisasi ialah soal kosakata periode bersiap, sebutan Belanda untuk periode 1946-1947. Kiranya, periode tersebut perlu juga dihadirkan dalam periodisasi Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!