Sabtu, 12 November 2011

Tugas Review Historiografi Mario Adi Putra 5

Masalah dalam Historiografi Indonesia

Emansipasi sejarah merupakan sebuah persoalan yang telah menjadi indikasi atas inspirasi D.G.E. Hall sebagai penulis, beberapa tokoh seperti Mohammad Ali, Resink, dan Kahin, telah memikirkan dan mengkaji tentang emansipasi sejarah. Tidak hanya penulisan sejarah Indonesia saja tetapi juga sumber-sumber yang memungkinkan dalam studi sejarah, disamping itu beberapa juga mencakup beberapa ilmu yang ada hubungannya dengan sejarah. Mohammad Ali sebagai contohnya telah membahas tentang masalah historiografi, Damais membahas sejarah sebelum abad 17 M, Buchari membahas epigrafi (paleografi) dan historiografi Indonesia, Soekmono membahas arkeologi dan sejarah Indonesia, Berg membahas gambaran kebudayaan Jawa pada masa lalu, de Graaf membahas tentang sumber kebudayaan terbaru dan historiografi, Koentjaraningrat membahas metode antropologi dalam historiografi Indonesia, Zoetmulder membahas studi budaya dan religi dalam historiografi Indonesia, Jan Romein membahas tentang pendekatan komparatif dalam historiografi Asia, dan masih banyak tokoh-tokoh  lainnya yang membahas tentang kajian sejarah di Indonesia.

D.G.E. Hall mengusulkan adanya batas-batas (ketentuan) dalam memperhatikan sejarah Indonesia, dengan menggunakan suatu sumber yang asli maka hal itu dapat terasa penting dalam penekanan sumber yang diperlukan. Pengaruh Belanda terhadap Indonesia setidaknya terdapat suatu bentuk sejarah dan peradaban, dimana sektor linguistik juga memiliki peranan penting dalam hubungan komunikasi antara Belanda dan Indonesia. Hubungan Belanda-Indonesia telah menciptakan ingatan (memory), seni yang baru, dan interpretasi atas literatur yang ada di Indonesia. Dalam melihat pentingnya arkeologi dan epigrafi (paleografi) maka hal itu telah dibahas oleh Soekmono dan Buchari, dalam hal ini maka setidaknya telah ada gagasan tentang struktur dan religi dari zaman Sailendra. Masih banyak misteri masa lalu yang berupa epigrafi (paleografi) pada zaman Sailendra, dimana Sanjaya dan Sailendra adalah 2 dinasti yang saling bersaing dan terlibat perang di Ratubaka pada tahun 856 M.

C.C. Berg mengemukakan suatu teori dan teori itu rupanya masih menjadi kontroversi bagi para sejarawan, dalam teorinya itu Berg menganggap bahwa nilai kesejarahan Jawa pada periode madya (pertengahan) telah terjebak dalam sebuah partikularistik, dimana periode itu mencakup tentang kerajaan Singhasari, Majapahit, dan Mataram. Berg telah menjauhkan unsure dogmatis dalam pandangan kesejarahan, yaitu sejak ia mengemukakan teori dalam “Het Rijk van der Vijvoudig Buddha” (1962). Keraguan Berg telah menjadi tantangan dan memunculkan pertanyaan, Damais menganggap bahwa pandangan Berg itu terlalu teoritis dan sistematis, dimana sistematikanya membuat suatu kontradiksi dan tidak komprehensif.

Teori Berg menekankan tentang hasil dari studi yang komprehensif tentang semua sumber yang memungkinkan, selain itu juga mencoba untuk membuat pemahaman yang tidak heterogen dan kontradiksi. Penafsiran secara generalisasi oleh Berg telah menunjukkan pentingnya sejarah kebudayaan dan sejarah religi dalam historiografi Indonesia, tanpa adanya suatu disiplin maka itu tidak memungkinkan untuk muncul sebagai sesuatu yang penting. Kemudian dalam beberapa waktu mendatang maka H.J. de Graaf telah melihat Babad  Tanah Jawi dengan perspektif yang berbeda dengan Berg, jika Berg menyatakan Babad adalah sebagai legitimasi atas asumsi kekuatan raja, hal itu berbeda dengan asumsi de Graaf yang menyatakan bahwa Senapati dan Krapyak adalah sebagai sejarah kehidupan manusia.

H.J. de Graaf mendeskripsikan bahwa Babad merupakan sebuah literatur yang sakral dan didalamnya membicarakan tentang politik kerajaan, Djajadiningrat juga mendiskusikan tentang tradisi lokal yang ada pada waktu itu, dimana tradisi kesejarahan yang berupa penulisan Babad banyak terdapat di kerajaan besar yang ada di Indonesia. Dalam tradisi kesejarahan itu setidaknya terdapat 3 aspek yang penting, yaitu konten mitologis, kejayaan penguasa yang bersifat monarkhi, dan dasar-dasar (berdirinya dan peraturan) suatu kerajaan.

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa dalam mengkaji suatu historiografi tentunya telah menimbulkan banyak permasalahan dan sering memunculkan pertanyaan. Beberapa pandangan telah muncul dari pemahaman para tokoh dalam meneliti suatu historiografi, Berg sebagai contohnya telah menyatakan bahwa sumber asli dapat dipercaya jika didalamnya berbicara tentang realitas yang ada di zamannya, namun dalam historiografi seperti Babad biasanya berisi tentang mitos-mitos yang tidak dapat diyakini kebenarannya. Hal ini terasa berbeda dengan pandangan de Graaf yang mengasumsikan bahwa historiografi adalah sebuah cerita tentang legitimasi masa lalu, dimana cerita yang disajikan adalah untuk menguatkan legitimasi suatu kerajaan, namun pengungkapannya dalam historiografi itu bersifat idiomatik dan penuh simbolik.

Oleh karena itu maka dalam menganalisis suatu historiografi maka diperlukan pemahaman yang baik atas bahasa simbolik yang ada didalamnya, hal itu bertujuan agar tidak salah paham dalam menginterpretasikan apa yang terkandung dalam historiografi itu. Historiografi Indonesia bagi saya merupakan sumber sejarah yang tradisional, dimana didalamnya masih banyak terdapat kata-kata yang simbolik dan idiomatik, dengan demikian maka perlulah adanya sikap hati-hati dalam memahami dan menginterpretasi tentang isi yang ada didalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!