Sabtu, 12 November 2011

Tugas Review Historiografi Yudhi Andoni 5

Ke Arah Penulisan Sejarah Indonesia

Bacaan dan Pemahaman

Bila saja dalam sejarah dimungkinkan dialektika “andai-andai”, barangkali, akan lebih mudah mempertemukan antara Van Leur dengan Moh. Yamin sehubungan penulisan sejarah Indonesia kontemporer. Yang pertama, terkenal sebagai peletak dasar pandangan Indonesia sentris dalam kajian historiografi. Sedangkan yang kedua, pengokoh ultranasionalis-sentris dari historiografi Indonesia. Namun, perbedaan keduanya begitu tajam ketika menetapkan batasan spasial konsepsi sentrisme mereka. Dan inilah mungkin, dalam metodologi sejarah, eksplanasi andai-andai tak saja diharamkan, tetapi juga, satu “dosa” historiografi.

Artikel Justus M. van der Kroef, “On the Writing of Indonesian History”, dalam, Pacific Affairs, Vol. 31, No. 4. (Dec., 1958), pp. 352-371, yang penulis baca dan pamahami—tentu saja nan menarik penulis—ini mendudukan posisi metodologis antara Van Leur dan Moh. Yamin.

Artikel ini dibuka dengan premis, bahwa setiap revolusi negara bangsa di belahan dunia ketiga—spasialisasi yang ditentang Van Leur—senantiasa diikuti pencarian orisinalitas dan warisan budaya “kita”. Credonya adalah kita mesti menulis kembali sejarah kekitaan. Tetapi jelaslah, bukan “orang kita” yang memulai menulis sejarah Indonesia itu, tapi seorang pegawai muda kolonial, Van Leur.

Entah bagaimana perasaan Moh. Yamin ketika mengetahui ini. Tak pernah kita menemukan catatan pandangan itu. Bahwa asumsi Yamin menarik jauh ke Majapahit sebagai awal persatuan keindonesiaan dalam historiografinya, mungkin saja, bagian resistensi terhadap peran dan pemikiran Van Leur yang orang kolonial itu.

Reinterpretasi sejarah Indonesia di tangan kaum nasionalis, tentu saja, bagian fenomena umum negara-negara baru pasca PD II, jelas van der Kroef. Tarikan waktu atau simbolisasi masa lampau, yang mungkin saja tak ada hubungannya, akan begitu bermakna dengan kekinian, ketika dikaitkan dengan kebutuhan ideologi yang merekat bangsa itu. Jadi, meski Van Leur telah memulai kerja menulis sejarah Indonesia yang benar sesuai konteks kekiniannya sebagaimana dikredokan Croce. Ia menjadi kontra-produktif dengan semangat menggebu-gebu kaum nasionalis muda itu. Penafiannya sederhana saja, ia, Van Leur, adalah warisan kolonial yang mesti dihilangkan dan 180 derajat dibalikan interpretasinya demi sejarah Indonesia yang benar.

Sejarah Indonesia menurut Van Leur mesti dirombak total. Orientasi baru mesti dibangun dengan membuang bias-bias kolonial yang hegemonik. Dalam satu esainya, "Some Notes on the Study of the History of the Indies" (1937), ia bahkan tegas menyerukan bahwa Sejarah Indonesia adalah sejarah Internasional!

Penuh gairah Van Leur membangun anti tesis-anti tesis di atas kerja historiografi pendahulunya. Ia menggugat credo historis bahwa Barat datang memperadabkan orang Timur. Kenyataannya, jelas Van Leur, justru sebaliknya. Tidak ada supremasi Barat atas Timur pada awal abad-abad persinggungannya.

Begitu juga bias orientalisme sejarawan kolonial, yang meminggirkan peran Islam di Indonesia. Ia menolak bahwa para Bramana dan pedagang Hindu dari Gujaratlah yang menjadi agen-agen pembentuk budaya Indonesia. Ia mengenalkan adanya akulturasi budaya antara Hindu, Budha, dan Islam yang membangun satu advances culture (budaya perekat). Berbeda dengan sejarawan kolonial lain, Van Leur justru mempertimbangkan kehadiran Islam sebagai perekat penting dari kehadiran Indonesia sebagai kesatuan.

Indonesia-sentris = Jawa sentris ?
Adalah menarik, Van Leur dalam kapasitasnya sebagai sejarawan kolonial, “musuh” kaum nasionalis, muncul sebagai pembela keberadaan sejarah Indonesia yang benar—menghargai keunikan pluralitas sosial dan ragam budaya masyarakat. Sementara di pojok lain, Moh. Yamin, seorang nasionalis sekaligus sejarawan, justru membawa secara ekstrem sejarah Indonesia pada posisi sentrisme Jawa. Sentrisme yang justru diabaikan sejarawan kolonial lain, Berg, yang mengenalkan konsep baru dari cara pandang sejarah Jawa.

Secara tak langsung, historiografi Indonesia di awal kemunculannya yang penuh semangat dan gairah, membawa benih disintegrasi dan konflik sosial. Penulisan sejarah (historiografi) Indonesia di  awal republik muda itu akhirnya memang mengalami krisis dan degradasi tematik. Kelahiran corak penulisan sejarah yang telah dimulai di akhir tahun 1950 itu, gagal merekam realitas kesejarahan masyarakat Indonesia secara utuh. Tradisi penulisan sejarah yang Indonesiasentris dalam historiografi selama 50 tahun belakangan—mulai 1957—ternyata tak jauh berbeda secara metodologis dibandingkan dengan historiografi kolonial—penguasa sebagai titik sentral. Selain itu, yang lebih penting lagi adalah tradisi ini telah meminggirkan peran rakyat di luar Jawa dalam peristiwa sejarah yang terjadi.

2 komentar:

  1. saya seorang ibu yang belakangn berminat engan tema2 sajarah nasional. membaca tulisan ini memprovokasi (waduh!!)rasa ingin tahu saya akan sebuah wajah sejarah nasional khususnya pra dan post proklamasi yang sebenarnya. satu yang sedang saya geluti adalah sejarah yang ditulis muh yamin.apakah benar menurut paa peneliti di sini muh yamin seorang pemimpi besar? yang banyak tulisannya tidak benar secara ilmu sejarah?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ibu yang baik, terima kasih telah membaca dan mengomentari artikel saya ini. Senang jika ibu tertarik dalam mempelajari sejarah nasional ini. Konteks Yamin sebagai pemimpi besar tentu dapat diperdebatkan secara konotatif atau denotatif. Meskipun begitu, jika menilik konteks jiwa zaman sejarahnya kala itu, maka kita patut berterima kasih pada Yamin, karena dari dia lah kita kemudian mengetahui sejauh apa pemaknaan sejarah nasional kita. Dalam penulisan sejarah, tidak ada persoalan benar atau salah Ibu..tapi pada masalah tafsir. Siapaun boleh melakukan tafsir atas sejarah, asal diletakan di pondasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Demikian jawaban saya..salam. Yudhi

      Hapus

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!