Jumat, 14 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Aisya Habib 3

Raffles’ Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Weatherbee Terhadap “History of Java” Karya Raffles

Karya ini menggambarkan mengenai sumber Raffles tentang historigrafi tradisional Jawa dari hasil koleksi Meckenzie. Saya meminjam apa yang disampaikan Centhine dalam konteks historigrafi Indonesia disini dia menjelaskan tentang perbandingan dua maha karya besar yakni karya Raffles dan maha karya Serat Centhini.  Sejak awal penulisan Serat Centhini memang bukanlah dimaksudkan sebagai tulisan babad atau sejarah, tetapi ensiklopedi sebagai ”sumber pengetahuan Jawa”, sehingga sejarah hanya menjadi bagian darinya. Namun ada hal menarik jika kita menempatkan proses penulisan Serat Centhini dalam konteks historiografi Indonesia, karena karya ini ditulis pada saat yang bersamaan dengan mahakarya sejarah Jawa History of Java, karya Thomas Stamford Raffles, yang jika dilihat struktur dan metode penulisannya hampir sama dengan Serat Centhini mahakarya pujangga Jawa itu. Pertanyaan yang menarik adalah apakah kedua mahakarya itu ada keterkaitan satu sama lain secara langsung maupun tidak langsung secara historiografis dan methodologis?

Seperti yang disebutkan dalam halaman-halaman awal naskah, bahwa Serat Centhini mulai ditulis pada tahun 1814. Penulisan naskah ini diselesaikan selama kurang lebih sembilan tahun yaitu tahun 1823, yaitu tahun yang sama meninggalnya si pemrakarsa, sang putra mahkota Kesunanan Surakarta yang telah menjadi Pakubuwana V.[1] Dalam periode ini (1814-1823) Jawa mengalami peralihan dua kekusaan kolonial, yaitu masa pendudukan Inggris (Thomas Stanford Rafless) di Jawa 1811-16 dan kembalinya pemerintahan kolonial Belanda setelah kepergian Rafless. Warisan terpenting dari kolonialisme Inggris di Jawa adalah History of Java karya Raffles itu. John Bastin yang memberi kata pengantar cetakan ke ke dua dari buku Raffles mengtakan bahwa;

the real beginning of Indonesian historiography are to be found not so much in the work of the early Orientalists at Leyden or in the writing of Valentijn as in the massive histories which were published by the British scholars, Marsden, Raffles and Crawfurd, at a time when Indonesian studies attracted little attention in the Netherlands.”[2]

Karya Raffles ini hingga sekarang masih banyak dikagumi orang. Bahkan orang Belanda yang telah menduduki Jawa jauh lebih lama hingga akhir abad ke-19 belum bisa menghasilkan karya sejarah yang bisa dibandingkan dengan karya Raffles itu. Seperti halnya Serat Centhini yang bersifat ensiklopedis kelebihan karya Raffles ini adalah totalitas isinya yang komprehensive. History of Java tidak hanya menggambarkan tentang sejarah politik seperti biasanya seperti kebanyakan historiografi kolonial, tetapi mencakup gambaran yang lengkap tentang, sejarah sosial, ekonomi, pertanian, kesenin, kebudayaan dan sebagainya. Donald E. Weatherbee yang menganalisis sumber-sumber Jawa yang dipakai oleh Raffles mengatakan bahwa;

the work opened new ways of looking at the totality of Javanese culture and thus brings to the fore much that is valuable in the old and new Javanese civilization”.[3]

Proses penulisan History of Java dilakukan dua tahun lebih dulu dari Serat Centhini yaitu tahun 1812. Jika Serat Centhini membutuhkan waktu kurang lebih 9 tahun, History of Java diselesaikan dalam waktu 5 tahun. Pada tahun 1817 cetakan pertama History of Java diterbitkan.[4]

Penulisan Serat Centhini dilakukan oleh sebuah tim yang terdiri dari Raden Ngabehi Ranggasutrasna, Raden Nabehi Yasadipura II (Raden Tumenggung Sastranagara) dan Raden Ngabehi Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar). Ketiga penulis itu dibantu oleh Kanjeng Penghulu Tapsir Anom, Pangeran Jungut Mandurareja, Kyai Kasan Besari dari Gebangtinatar Panaraga dan Kyai Muhammad Minhad. Sebagai bagian proses penulisan ini konon anggota tim ini melakukan ekspedisi mengunjungi Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan ada anggota yang dikirim ke Mekah. Metode yang sama dilakukan dalam proses penulisan History of Java, pada tahun 1812, Raffles menunjuk Kolonel Mackenzie mengelilingi seluruh Jawa dan Madura untuk mengumpulkan bahan sebagai sumber penulisan. Wilayah-wilayah yang dikunjungi oleh Mackenzie hampir sama dengan wilayah-wilayah yang dikunjungi tim penulis Serat Centhini. Mackenzie memulai perjalanannya pada bulan Februari 1812 dari Surakarta melalui Sungai Bengawan Solo hingga Surabaya, dilanjutkan kemudian ke Madura, tinggal di istana Panembahan Madura di Bangkalan (Cakradiningrat) dan Sumenep (Natakusuma) dan Pangeran Pamekasan.  Dari Madura ia kembali ke Surabaya menyusuri Sungai Brantas hinga Japan (Majakerta) dan Wirasaba. Bulan April melanjutkan perburuan bahan melalui Jalan Daendels dengan mengunjungi Gresik, Tuban, Lasem, Rembang dan Juwana. Dilanjutkan ke Cenkal Sewu, Jepara, Kudus dan berakhir di Semarang. [5]

Dalam penulisan Serat Centhini, para anggota tim dalam mengumpulkan bahan-bahan sangat dibantu oleh para informan lokal, baik yang berprofesi sebagai tokoh desa, guru agama, pujangga tari, seni, sastra ataupun rakyat biasa. Hal serupa juga terjadi pada tim yang dipimpin oleh Kolonel Mackenzie. Dalam kata pengantarnya Raffles mengatakan bahwa ia banyak berhutang budi kepada beberapa tokoh pribumi yang banyak membantunya memberikan bahwan-bahan berupa naskah-naskah Jawa, antara lain yang disebut adalah Panembahan Sumenep (Natakusuma), Sekretaris Pangeran Adipati Anom Surakarta (Amangkunegara III) dan Kyai Adipati Sura Adimenggala bupati Rembang.[6]

Sayang bahwa Raffles tidak menyebut dengan jelas siapa nama sekretaris dari Pangeran Adipati Anom. Kemungkinan besar mereka adalah Kelompok penulis (carik) dan pujangga kraton yang mulai bergabung dengan Putra Mahkota selama peristiwa  Pakepung yang kemudian dilibatkan dalam penulisan Serat Centhini. Dengan kata lain, orang-orang yang terlibat dalam penulisan Serat Centhini dan History of Java, baik sebagai informan atau penyedia bahan naskah adalah orang-orang yang sama.

Mengenai sumber-sumber tertulis berupa naskah Jawa yang digunakan oleh Raffles, Mackenzie mengatakan bahwa sumber-sumber itu terutama diperoleh dari naskah yang dirampas dari Kraton Yogyakarta pada saat peristiwa Bedhahing Ngayugyakarta Hadiningrat oleh pasukan Sepei, Inggris dan sebagian diberikan oleh para mantan pejabat kolonial Belanda, bupati-bupati. Naskah-naskah lainnya adalah yang ditranskrip dari naskah Jawa asli yang dimiliki oleh para bupati. Transkrip dilakukan oleh para pujangga Jawa yang dipekerjakan oleh Mackenzie. Di antara naskah itu yang paling penting adalah, terutama yang berkaitan dengan sejarah adalah Serat Kanda, yang telah diterjemahkan oleh Gubernur Semarang, Nicoulas Engerhard (1761-1831) ke dalam bahasa Belanda pada thun 1807.  Naskah ini menceritakan sejarah Jawa hingga kematian Amangkurat II tahun 1702.  H.J. de Graaf yang kemudian menganalisis naskah Serat Kanda terjemahan Engelhard ini mengtakan bahwa naskah ini lebih tua dan orisinil dibandingkan Babad Tanah Jawi  yang kemudian banyak dirujuk oleh sejarawan modern yang berminat menulis sejarah Jawa menggunakan sumber Jawa.[7]

Para ahli filologi Jawa seperti Tim Behrend berpendapat bahwa dalam diskripsinya tentang sejarah Jawa, naskah Serat Centhini memiliki kemiripan dengan sumber yang lebih tua seperti Serat Kanda.[8] Dengan demikian jelas bahwa dalam uraiannya tentang sejarah Jawa baik History of Java dan Serat Centhini menggunakan sumber naskah yang sama.

Epilog

Serat Centhini lahir dalam ruang dan waktu yang penting dalam perkembangan sejarah politik dan kebudayaan di Jawa. Negara kolonial baru saja ditegakkan, dua kekuatan kolonialis silih berganti memaksakan pengaruhnya untuk sebuah kejayaan dan martabat.  Sebuah kondisi dimana Jawa secara kebudayaan mulai mengadapi benturan yang makin nyata dengan kebudayaan asing. Jawa menjadi gelisah akan kehilangan kejawaannya. Oleh karena itu upaya penyelamatan harus dilakukan agar kelak pada saat yang tepat elemen-elemen kejawaan yang telah terdesak oleh unsur-unsur kebudayaan asing itu dapat digali kembali oleh generasi berikutnya.

Serat Centhini lahir dalam kondisi politik yang genting. Cengkeraman kuku-kuku kolonialisme mulai semakin menyesakkan elit kerajaan dan masyarakat Jawa. Sikap untuk melawan kekuatan asing itu melahirkan penderitaan dan tekanan yang lebih besar lagi bagi masyarakat Jawa. Belenggu rantai kolonialisme memaksa para elit Jawa untuk merubah strategi perlawanan. Perilaku Jawa menjadi lebih simbolik yang tidak mudah dipahami bahkan oleh orang Jawa sendiri. Centhini dilahirkan dalam nafas simbolik, merangkum semua hal tentang Jawa untuk kelak menjadi inspirasi, membangkitkan kecintaan akan sesuatu yang telah terdesak ataupun direnggut oleh kekuasaan asing. Menyadarkan orang Jawa tentang apa yang dimilikinya, tentang potensi dirinya, tentang pencapaian yang telah diperolehnya, tentang sejarahnya, tentang kejayaan masa lampaunya dan segala sesuatu yang layak diperjuangkan dan diselamatkan.

Serat Centhini dan History of Jawa ditulis dalam waktu yang sama, dengan sumber yang sama, informan-informan yang sama, dengan metode yang sama tetapi dipresentasikan dengan narasi dan tujuan idiologis yang berbeda. Di mata kaum kolonialis seperti Raffles, kompleksitas dan totalitas Jawa itu juga harus digambarkan untuk tujuan serupa tetapi tak sama. Bagi Raffles totalitas dan kompleksitas Jawa harus di-exposed untuk kepentingan dan martabat bangsa penjajah yang bersaing dengan bangsa penjajah lainnya membangun “colonial empire”. Negeri induk harus tahu “segala sesuatu” tentang koloninya sehingga tidak ragu mengerahkan segala daya upaya untuk mendudukinya, sehingga mengenali karakteristik jajahannya.

Komentar

Seperti apa yang telah saya kutip dalam karyanya Centhine dalam konteks historigrafi Indonesia, disini saya mencoba mengomentari tentang apa yang disinggung dalam tulisannya Raffles Historigrafi Tradisional Jawa dan koleksi MecKenzie, disini Raffles dianggap sebagai maha karya yang besar namun dibalik maha karya ini hanya merupakan suatu misi yang terselubung yakni misi untuk mengexposed totalitas dan kompleksitas Jawa untuk kepentingan martabat bangsa penjajah semata yang bersaing dengan bangsa penjajah lainnya membangun “colonial empire”. Negeri induk harus tahu “segala sesuatu” tentang koloninya sehingga tidak ragu mengerahkan segala daya upaya untuk mendudukinya, sehingga mengenali karakteristik jajahannya.

Raffles dalam tulisan ini dia tidak menjelaskan tentang sumber-sumber yang dia peroleh berasal dari siapa-sipa saja ternyata tidak tercantum dalam tulisan dia, karna dalam tulisan ini Raffleks hanya menyebutkan nama-nama orang suruhan dia tanpa melihat sumber dari orang suruhan dia itu didapat dari mana. Pada hal banyaknya sumber-sumber yang dihasilkan dari maha karya ini rupanya atas bantuan para tokoh desa, guru agama, pujangga tari, seni, sastra ataupun rakyat biasa.

Dan sungguh sangat disayangkan lagi mengenai sumber-sumber tertulis berupa naskah Jawa yang digunakan oleh Raffles, Mackenzie mengatakan bahwa sumber-sumber itu terutama diperoleh dari naskah yang dirampas dari Kraton Yogyakarta pada saat peristiwa Bedhahing Ngayugyakarta Hadiningrat oleh pasukan Sepei, Inggris dan sebagian diberikan oleh para mantan pejabat kolonial Belanda, bupati-bupati. Dari beberapa hal inilah yang menurut saya kurang setujuh dengan maha karya yang dihasilkan Raffles.

Namun yang saya kagumi dari karyanya Raffles disini yakni kelebihan karya Raffles ini adalah totalitas isinya yang komprehensive. History of Java tidak hanya menggambarkan tentang sejarah politik seperti biasanya seperti kebanyakan historiografi kolonial, tetapi mencakup gambaran yang lengkap tentang, sejarah sosial, ekonomi, pertanian, kesenin, kebudayaan dan sebagainya.

Daftar Pustaka yang dipakai dalam karyanya Centhini dalam Konteks Historiografi Indonesia yang menjadi kutipan dalam review ini.

[1] Ngabehi Ranggasutrasna dkk, Centhini: Tambangraras-Amongraga, jilid 1, (Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. ix.
[2] John Bastin, “English Sources for the Modern Period of Indonesian History,” in Soejatmoko (eds. et al), An Introduction to Indonesian Historiography (Ithaca: Cornell University Press, 1965), p. 252.
[3] Donald E. Weatherbee, “Raffles’ Source for Tradisional Javanese Historiography and the Mackenzie Collection”, Indonesia, no. 26 (1978), hlm. 63.
[4] Pada tahun 1965 buku ini di terbitkan ulang dalam dua jilid dengn kata pengantar John Bastin. Lihat Thomas S. Raffles, History of Java (Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press, 1965)
[5] Ibid., hlm. 67-68.
[6] Thomas S. Raffles, History of Java, vol. 2, (Kuala Lumpur, New York: Oxford University Press, 1965),
hlm. 64.
[7] Weatherbee, “Raffles’ Source for Tradisional Javanese Historiography”, hlm., 69-70.
[8] Tim Berhrend,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!