Kamis, 13 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Panis DHBI Salam 2

SEX, RAS AND THE CONTRACT
Dalam Karya “Textual Empires” by Mary Catherine Quilty

Gagasan ekonomi tentang bagaimana kerjasama antara barat dengan daerah Asia Tenggara dalam suatu bentuk kerjasama yang saling menguntungkan. Ide-ide tentang ekonomi liberal, kepentingan pribadi, dan juga keamanan akan kepemilikan pribadi diatur dalam sebuah aturan yang disebut kontrak. Di dalamnya juga mematuhi tentang prinsip-prinsip kemanusiaan bersama.

Ide kontrak sosial yang dicetuskan oleh para filsuf barat, awalnya bermula dari penghargaan yang tinggi atas kepemilikan harta benda individual. Pandangan terhadap sosial kontrak menghendaki bagaimana semestinya hubungan antara rakyat dan negara dibangun. Kedaulatan sebuah negara terletak di tangan rakyat, tetapi kemudian rakyat memberikan sedikit kedaulatannya kepada negara agar kemudian negara mengatur kehidupan bermasyarakat dalam pencapaian tujuan negara. Dalam hal ini negara hadir sebagai ayah yang selalu melindungi kepentingan rakyatnya. Terkait dengan kepentingan ekonomi liberal, kolonialisme berusaha melindungi aset-aset investasinya terkait dengan ketidakharmonisan yang sering terjadi di negara jajahan.

Dilihat dari sudut pandang hubungan rakyat dan penguasa di Asia Tenggara, kontrak sosial menemukan titik sinkronisasi dengan panggung patriarkis yang sudah terbangun dalam masyarakat koloni. Pendapat yang dicetuskan Marsden ini, menganggap bahwa masyarakat pribumi (terjajah) menempatkan penguasa tradisional sebagai ayah yang selalu melindungi rakyatnya. Meskipun di sisi lain banyak pandangan dari barat tingkat kebarbaran masyarakat kolonial yang begitu tinggi dan hidup dalam alam kekuasaan depotisme. Namun, Marsden meyakini pola patriarkisme ini justru menjadi jalan atau titik masuk bagi kontrak sosial yang dikenalkan oleh orang-orang barat.

Tulisan dalam bab III ini sebenarnya ingin mengetengahkan sebuah diskurs tentang para pejabat birokrat kolonial mengenai “barbaranisme” yang terjadi dalam negara koloni. Ada beberapa hal yang disoroti di dalamnya. Perbudakan menjadi isu yang pertama diketengahkan oleh orang eropa seperti Raffles, Anderson, Crawfurd, Symes dan Marsden. Anderson memandang perbudakan sebagai sebuah pemaksaan dan penghisapan orang lain demi kepentingan pribadi. Secara lebih emosional Marsden memandang perbudakan sebagai sebuah pendayagunaan kelas masyarakat yang diperbudak yang diasosiasikan sebagai pakaian dan makanan yang diperas kerjanya. Dengan kata lain, masyarakat yang menempati strata lebih tinggi (terhormat) mendapatkan sebuah kebahagiaan di atas penderitaan orang lain. Sementara darin sudut pandang yang diperbudak, Marsden mendeskripsikan perbudakan sebagai “men selling themselves for slaves”, yang secara sederhananya budak akan menjadi bagian kekayaan dari pembelinya.

Raffles mencoba melihat perbudakan dalam usaha untuk menghilangkan sistem perbudakan tersebut dengan memotong ide-ide perbudakan yang dibawa oleh kaum imperalis. Akan tetapi, ketika Raffles menyoroti kehidupan kultur para petani kopi di Sumatera, ia memandang bahwa perbudakan di Sumatera telah melembaga dalm budaya masyarakat dan menjadi pola kehidupan sehari-hari. Segala segi kehidupan dari petani kopi sebetulnya telah membentuk sebuah entitas perbudakan itu sendiri, dimana para petani tersebut dalam kehidupan yang begitu keras jarang dari mereka mengeluhkan atas hal itu.

Sex
Symes melihat sebuah sistem yang menjijikan yaitu bentuk prostitusi dapat dikatakan sebagai bagian dari kekayaan manusia atau ikut mendukung tegaknya perekonomian hidup. Dalam kasus di Birma wanita pelacur ditempatkan seperti halnya barang dagangan pertanian yang dapat dijual begitu saja oleh anggota keluarga, misal orang tua menjual anak perempuannya atau suami menjual istrinya untuk dilacurkan. Ironisnya pengguna jasa dari mereka terkadang adalah pejabat pemerintah asing bahkan residen dari negara kolonial. Dengan demikian pelacuran ini merupakan bagian dari transaksional ekonomi yang dapat dikatakan bagian dari jaringan ekonomi internasional.

Modus yang digunakan dalam menggadaikan sesuatu yang seringkali dianggap kehormatan yaitu melalui kawin kontrak. Menurut Anderson bentuk perkawinan komersial ini adalah bagian dari perbudakan. Faktor utama yang sering disoroti oleh beberapa penulis di atas, prostitusi lahir seringkali disebabkan oleh faktor ekonomi (kemiskinan). Sebagai pembanding perkawinan komersial di Sumatera sudah lama tidak dilakukan semenjak masyarakatnya tersejahterakan karena aktivitas ekonomi perkebunan kopi yang mereka usahakan.

Pelacuran di Penang dalam beberapa tahun sebelumnya telah mengahasilkan keuntungan yang begitu besar. Dalam hal ini Anderson memandang jika prinsip-prinsip kewanitaan yang menghargai hak-hak perempuan dan juga rasa kemanusiaan seharusnya diekspor ke Penang agar terbentuk masyarakat “terberadabkan”. Ini merupakan bentuk perjuangan atas hak-hak kewanitaan dalam rangka menghapus perbudakan dalam arti pelacuran tersebut.

Populationist Reveries
Symes merangkum terminologi populasionisme ke dalam suatu frase “the more people the better”. Berbeda dengan pandangan Malthus yang melihat fenomena kenaikan jumlah penduduk akan bermasalah terhadap terbatasnya sumber pangan yang ada. Kenaikan pangan jika dibandingkan dengan kenaikan jumlah penduduk menjadi suatu hal yang tidak seimbang. Namun hal ini dibantah oleh Raffles jika terbatasnya sumber daya alam tidak perlu dipertimbangkan terhadap kenaikan jumlah penduduk. Ia menganggap alam masih menyediakan kekayaan yang melimpah ruah demi pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

Berbeda pula dengan Raffles, Anderson mendukung konsepsi “positive checks” dari Malthus meskipun dia percaya bahwa teori tersebut tidak akan berlaku di Asia Tenggara. Anderson menyebutkan suatu keadaan yang menguntungkan di Asia Tenggara bagi perkembangan populasi penduduk, meskipun dalam banyak hal populasi penduduk yang begitu tinggi juga belum tentu mendatangkan keadaan yang menguntungkan.

Raffles menggunakan metode statistika untuk memperkiraan kenaikan jumlah penduduk. Kenaikan jumlah penduduk dalam lipatan yang ganda diperkirakan akan terjadi kira-kira 3 abad lebih kemudian. Raffles mempunyai sebuah visi pembangunan penduduk Jawa ke depan terkait dengan ledakan jumlah penduduk dalam 3 abad kemudian tersebut. Ledakan penduduk menurutya bukan menjadi suatu problema pangan seperti yang diungkapkan Malthus, tetapi jumlah ini akan menjadi sebuah potensi yang kemudian dapat disalurkan ke pulau-pulau luar Jawa yang masih kosong. Dalam renungan Raffles akhirnya kelak pulau-pulau ini akan menjadi satelite yang mengitari pusat metropolis dari Jawa. Yang kemudian dari sinilah koloni Jawa, seni beserta peradabannya akan tersebar keluar. Bahkan ia memimpikan kelak pengaruh Jawa akan tersebar hingga New Holland (Australia), Jepang, Cina dan juga Asia Selatan. Dengan kata lain, Raffles memimpikan untuk dapat membangun jaringan perdagangan bebas dalam batas-batas tersebut, sehingga akhirnya Inggris mempunyai partner dagang yang seimbang.

Lain halnya dengan Raffles, Crawfurd juga mempunyai visi untuk pembangunan Asia Tenggara yang tidak hanya menitikberatkan terhadap Jawa seperti halnya Raffles. Hanya saja, dia juga tidak mau mengakui kemajuan yang dibangun terhadap kekosongan-kekosongan pribumi, akan menjadikan kesetaraan dengan Eropa. Ia hanya mengingatkan sebagai bahan perenungan orang-orang Eropa apa yang semestinya dapat dilakukan untuk membimbing mereka di masa depan dalam berhubungan dengan orang-orang India.

Pulau Bangka, Penang dan Singapura adalah tempat-tempat yang menurut Crawfurd cukup menyenangkan bagi orang-orang Eropa. Dalam pemikirannya, merupakan suatu kewajiban moral bagi orang-orang Eropa untuk membangun atau mengisi kolonialisasi tempat-tempat atau pulau-pulau yang masih kosong. Dibalik tujuan ini, Crawfurd juga memvisikan terbentuknya “great emporia” yang di dalamnya akan menjadi pusat penyebaran dan penyimpanan komoditas dagang nusantara yang kemudian dapat diperjual belikan oleh pedagang-pedagang Eropa. Dalam pelaksanakannya, “kewajiban moral” yang di konsepsikan oleh Crawfurd tersebut dapat dipaksakan kepada penduduk pribumi melalui invasi militer yang akhirnya tercapailah sebuah percampuran dan asimilasi dengan penduduk lokal, sehingga terminologi “pemberadaban” dapat dengan mudah dilakukan.

The Racial Economy
Crawfurd secara serentak menegaskan ide kerjasama yang saling menguntungkan, dimana terdapat persaiangan antar rasial: penduduk lokal, Cina, dan orang-orang Eropa dalam konteks kebebasan dan persamaan hak-hak mereka. Ia juga menyinggung mengenai persamaan dan kebebasan kontrak yang semestinya dilekatkan orang-orang kulit hitam. Merekapun juga harus dizinkan untuk melakukan kerjasama dengan yang lainnya.

Komentar
Dari uraian diatas, kesimpulan atau sebuah kesan yang saya tangkap yaitu: pertama pihak kolonial merasa dirinya telah sebegitu maju dan sebegitu beradap, sehingga misis kolonialisme diiringi oleh keinginan untuk memberadabkan orang-orang di daerah koloninya yang seperti kata Crawfurd adalah demi mengembang kewajiban mulia. Akan tetapi, kedua di sisi lain, hal ini menyiratkan sebuah pandangan orang-orang barat dalam karyanya yang begitu melihat realita kehidupan masyarakat koloni berdasarkan ukuran-ukuran kaca mata kolonial sentrisnya. Ukuran keberadaban yang dicirikan oleh persamaan dan humanisme merupakan standar nilai kehidupan bermasyarakat yang semua di dasarkan pada kontekstual dan situasional ukuran-ukuran nilai-nilai kehidupan orang-orang kolonial. Dengan demikian, pihak yang terkoloni di pandang sebagai sebuah entitas sosial yang dalam kaca matanya kurang beradab atau tidak memenuhi ukuran nilai standar hidup orang Eropa. Kesimpulan ini terutama jika kita melihatnya dalam dua segi pembahasan yaitu: kontrak sosial dan masalah prostitusi. Sementara pandangan Crawfurd masih tetap mengalir sama seperti pandangan di atas hingga pembahasan “populationist reveries”.

Di sisi lain Raffless lebih bijak dalam menghadapi permasalahan-permasalan sosial di negara koloninya. Dari pandangannya tentang pelacuran hingga masalah kependudukan, ia berusaha mencari sebuah jalan keluar yang lebih solutif dan bijaksana. Penolakannya atas perbudakan dan postitusi meski tetap diukur dari nilai-nilai madani masyarakat Eropa, tetapi dia tetap mengakui beberapa hal dari sebuah keuntungan baik kerjasama atau kontrak antara orang Eropa dan Pribumi. Pandangannya tentang masyarakat madani, ingin dikembangkan begitu jauh sehingga seperti apa yang dia katakan, jika masyarakat Jawa telah berkembang sebegitu jauh, paling tidak dia akan menjadi partner dagang yang seimbang dengan pihak Inggris.

Demikian juga Anderson, Symes dan Marsden dalam banyak hal mempunyai pandangan yang sama terutama dalam masalah perbudakan. Mereka mencerca praktek-praktek yang dikatakan mendehumanisasi manusia tersebut. Dalam bahasa emosionalnya, sering terlontar dengan sebuah kata yang mengandung arti sebagai praktek yang menjijikkan. Meskipun salah satu diantaranya juga tidak memungkiri jika praktek tersebut merupakan salah satu bagian jaringan perekonomian internasional yang juga melibatkan orang-orang Eropa sendiri. Akan tetapi, secara moral yang kini menjadi persoalan, jika praktek-praktek kotor itu dilakukan oleh orang-orang Timur, sedangkan pembeli atau pengkonsumsinya adalah juga orang-orang Eropa, lalu di mana arti keberadaban yang sedang di coba untuk di ekspor ke negara-negara koloni oleh orang-orang Eropa? Jangan-jangan hanya sebuah prasangka inferioritas saja yang dilabelkan kepada orang-orang pribumi demi penguasaan sepenuhnya terhadap negara-negara timur? Bukankah di sinilah sebenarnya persamaan dalam hak dan nilai-nilai kemanusiaan yang di ususng oleh orang-orang Barat menghadapi paradoksnya sendiri?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!