Jumat, 14 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Yudhi Andoni 3

Raffles’ Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Weatherbee Terhadap “History of Java” Karya Raffles


Heuristik Kolonial: Sumber-Sumber Kaum Elit dalam Historiografi

Barangkali, apa yang ditulis Raffles di kulit belakang karyanya, “Saya yakin tak ada orang yang memiliki informasi mengenai Jawa sebanyak yang saya miliki” (The History of Java, Narasi Yogya, 2008), membuat banyak ilmuan bertanya-tanya. Apa sedemikian rinci dan detil Raffles menulis karya sejarahnya, sehingga klaim kesombongan itu ia ungkapkan? Darimana dia mendapatkan sedemikian lengkap data tentang peradaban Jawa, yang dalam karyanya itu tak saja gambaran aktual (hari ini), tapi juga masa lampau yang dimulai dari Aji Saka sampai akhir kejayaan Mataram yang kala itu terpecah pada beberapa kerajaan seperti Kartasura, Mangkunegaran, dan Kesultanan Jogjakarta.

Bagi penulis, yang menarik dari artikel ini adalah ungkapan Bastin, ”Tidak ada upaya, sejauh yang saya tahu, telah dibuat untuk menganalisis secara detil atas penggunaan sumber-sumber Jawa dan Melayu atas karya sejarahnya (Raffles).

Raffles menyatakan bahwa sumber-sumber atas The History of Java-nya diperoleh dari bangsawan-bangsawan Jawa. Diantaranya adalah Panembahan Sumenep, sekretaris Pangeran Adipati Surakarta, dan Sura Menggala, Adipati Demak.

Selain sumber—sumber tertulis pribumi ini, Raffles juga mengutip, sebagian kecil dari manuskrip Middelkoop. Meski ada keengganan mengakui peran dari manuskrip ini, tetapi Donald E. Weatherbee justru melihat manuskrip Middelkoop menjadi kerangka acuan kerja historiografi Raffles daripada tulisan-tulisan pribumi yang diakuinya.

Donald E. Weatherbee, professor emeritus dari University of South Carolina, Colombia, AS, merupakan salah satu ilmuan yang berusaha menjabarkan “rahasia” dibalik kesombongan Raffles itu. Ia mengungkap peran koleksi Mackenzie (MC), yang pada masa itu menjadi bawahan Raffles dan melakukan “perjalanan-perjalanan dinas” penting bagi heuristik penulisan The History of Java (HJ) Raffles.

Letkol Mackenzie merupakan seorang insinyur dan surveyor. Dua kombinasi yang unik untuk seorang yang terlibat dalam kerja-kerja kecendikiaan. Tahun 1811 ia ditunjuk sebagai insinyur kepala atas ekspedisi militer Inggris melawan Jawa. Pada permulaan Inggris masuk ke Jawa, ia merupakan salah satu pejabat senior yang terjun langsung ke pulau ini.

Dalam tugasnya selama 2 tahun (Juli 1811-Juli 1813) di Jawa, selain kerja kemiliteran, Mackenzie merupakan salah seorang yang ditugaskan mengumpulkan secara massif koleksi-koleksi atau bahan-bahan sastra dan sejarah peradaban Jawa. Ia menyelesaikan kerjanya dalam satu komisi yang dibentuk untuk mendukung pengumpulan bahan-bahan HJ pada Februari 1813, dan meninggalkan jabatan sebagai kepala insinyur pada Juli 1813, serta ditarik ke Kalkuta, India. Dalam satu permintaan khusus pemerintah, ia mesti menyelesaikan laporannya di Bengal yang kemudian, selesai November 1813. Setelah ia menyelesaikan laporannya yang tercatat pada Februari 1815, pemerintah memindahtugaskannya sebagai Surveyor General di India. Tugas ini ia emban sampai kematiannya di tahun 1821.

Selama tugas-tugas investigasinya di Jawa, yang terbatas waktu, Mackenzie membangun relasi tak terbatas dengan kontak-kontaknya dengan pejabat lokal kolonial seperti F. Von Wickelmann, dan J.G. Vincent. Ia juga membangun relasi dengan tokoh-tokoh elit pribumi, seperti Adipati Sura Adimenggala, Cakradininggrat (Sultan Bangkalan), Natakusuma (Panembahan Sumenep), dan Pengeran Pamekasan.

Mackenzie memulai tugas heuristiknya dari Semarang melalui kontaknya dengan Wickelmann yang bertindak sebagai agen. Melalui kontak dengan Wickelmann ini yang kala itu sebagai pemimpin komandan di Semarang, Mackenzie bertemu dengan J.G. Vincent yang sejak tahun 1772 telah bekerja sebagai penerjemah dari bahasa Jawa ke Belanda. Dan melalui kontak Semarangnya ini juga ia membangun relasi dengan para elit-elit pribumi yang memberinya kelimpahan sumber yang dibutuhkannya. Meski untuk itu ia mesti menggunakan kuasa koneksinya memenuhi kepentingan politik para elit pribumi tersebut.

Ia mengunjungi Surakarta dan Surabaya pada Februari 1812. Satu bulan kemudian ia pun mengunjungi Madura (Bangkalan) dan menginap beberapa hari sebelum melanjutkan perjalanannya kembali ke Surabaya. Pada 12 April 1812 ia melanjutkan perjalanannya ke Gersik, Tuban, Lasem, Rembang, Juwana, Jepara, Kudus, dan kembali ke Semarang pada tanggal 5 Mei 1812.

Pada Agustus 1812, Mackenzie menerima tugas baru sebagai Presiden Komisi Raffles di Batavia. Lewat relasi yang ia bangun dalam “perjalanan dinasnya” itu, ia pun menerima beragam “persembahan” manuskrip penting, baik yang asli maupun kopiannya. Manuskrip-manuskrip itu kemudian dibawa ke India ketika ia ditarik dari Jawa dan ”dipaksa” membuat laporan militer dan perjalanannya.

Namun demikian, Mackenzie tidak meninggalkan catatan-catatan penting (pribadi dalam bentuk komentar) atas usahanya tersebut. Apa yang ditinggalkan oleh Mackenzie adalah translasi-translasi berharga yang disalinnya dari sumber-sumber penting (invaluable) dari para eksponen sejarah Jawa. Namun demikian, dokumen-dokumen yang dikumpulkannya itu, selain keuntungan informasi dalam hal politik dan ekonomi, juga menjadi sumber penting bagaimana ketergantungan Belanda atas Jawa dan pulau-pulau timur Nusantara lainnya.

Setelah kematiannya, manuskrip-manuskrip Mackenzie tersebut disusun dan diklasifikasikan dalam tiga bentuk koleksi; 1822 collection, private collection, dan miscellaneous collection.  Katologisasi atas MC ini dibuat dalam Blagden tahun 1915, serta oleh Ricklefs dan Voorhoeve.

Yang menarik dari keberadaan HJ Raffles dan MC, dicatat oleh Donald E. Weatherbee, adalah tentang penulisan sejarah Jawa yang dibandingkannya dengan karya  Middelskoop yang juga menulis kisah yang sama dengan memakai sumber Serat Kanda, satu versi lain dari Babad Tanah Jawi.

Dalam reviewnya atas kajian HJ Raflles, Donald E. Weatherbee, berusaha menunjukan hubungan yang dekat antara kerja investegasi Mackenzie dan manuskripnya yang dipakai Raffles dengan karya Middelkoop. Meski Raffles tak mengakui pengaruh kuat atas karya Middelkoop yang duluan dalam HJ-nya, tapi dalam pemahaman Donald E. Weatherbee, justru sebaliknya. Ada pengaruh yang cukup kuat, ketika ia menunjukan genealogis manuskrip yang dipakai HJ Raffles lewat Mackenzie dengan Middelkoop dan Serat Kanda-nya Engelhard. Selain itu, hubungan dekat keduanya ia tunjukkan juga dalam membandingkan narasi-narasi HJ Raffles dengan karya The History-nya Middelkoop, serta Engelhard—pernah menjabat sebagai bupati Sumedang (Rosidi, 1985).

Misalnya pada mitos Aji Saka. Raffles memulainya dengan kisah ayah dari Sawela Chala bernama Balia Achar yang sebelumnya mendirikan Medang Kamulan. Begitu juga dapat dilihat narasi yang sama dalam The History-nya Middelkoop. Pada halaman 87-88 dalam HJ, Donald E. Weatherbee, juga menunjukan keterkaitan yang erat dengan karya Middelkoop halaman 21-23 dalam hal masa kekuasaan Dewa Kusuma dan pembagian kerajaannya. Satu-satunya yang kabur atau buram dari relasi dua karya ini ketika memasuki era Sultan Agung.


Donald E. Weatherbee juga di banyak bagian dari tulisannya ini memperlihatkan kesamaan-kesamaan yang detil antara karya Raffles dan Middelkoop, selain kekontrasannya dengan historiografi Engelhard. Tetapi tidak berarti yang terakhir tidak juga memiliki kesamaan dengan keduanya atau salah satu.

Tampak pada reviewnya, Donald E. Weatherbee, menjelaskan hubungan atau pengakuan malu-malu dari karya Raffles atas sumbangsih—bahkan mungkin narasi—Middelkoop pada karya The History of Java. Adalah tidak logis dalam pemahaman Donald E. Weatherbee kedua karya ini tak memiliki hubungan yang akrab, tersebut peran vital dari Mackenzie. Di akhir artikel ini juga, Donald E. Weatherbee, mengkritik dan menolak pandangan investigasi dan inventarisasi dalam kerja heuristik Mackenzie. Adalah tidak benar bahwa risetnya merupakan pembuka jalan utama bagi kajian peradaban Jawa, dimana sedikit sekali perhatian diberikan kaum Eropa akan hal ini, termasuk Belanda yang telah lebih dulu menduduki Jawa.

Memandang Jawa dari sudut blangkon

Kajian Raffles, The History of Java, dan keberadaan MC memberi horizon baru atas pemahaman sejarah Indonesia, khususnya sastra dan budaya Jawa. Sejarah Jawanya Raffles dan MC berhasil, menurut Donald E. Weatherbee, menggantikan cara pandang “kebelandaan” atas Jawa. Buku dan manuskrip yang disalin kemudian dari bahasa Jawa ke Belanda, lalu ke Inggris itu merupakan tonggak penting historiografi abad ke-19, bahkan menjadi standar kerja atas pengungkapan sejarah sampai abad ke-20. Mengutip H.J. de Graaf, dua karya tersebut di atas, telah membongkar cara pandang lama atas Jawa dan peradabannya. Khusus pada karya Raffles, pemakaian “sumber-sumber pribumi” atau tulisan-tulisan pribumi menjadi salah satu kekuatan karyanya.

Ada beberapa pertanyaan penting atas review ini. Pertama, berkaitan dengan kemungkinan eror atau kesalahpahaman akibat proses translirasi yang panjang (Jawa-Belanda-Inggris). Kedua, kritisisme dalam penggunaan sumber-sumber pribumi dalam HJ.

Dalam 30 halaman reviewnya, Donald E. Weatherbee memungkiri peran translirasi dalam tiga karya yang dibedahnya. Diawali dengan manuskrip berbahasa Jawa, lalu diterjemahkan dalam bahasa Belanda, lalu ke bahasa Inggris. Proses translirasi ini tentu akan membawa perubahan-perubahan makna. Nababan menjelaskan, “Ketika seseorang menerjemahkan suatu teks, dia tidak hanya mengalihkan pesan tetapi juga budaya” (http://www.proz.com/translation-articles/articles/2074/1/Penerjemahan-dan-Budaya, diakses pada 10/10/11).

Peralihan ini yang tak dijabarkan oleh Donald E. Weatherbee. Ada kemungkinan ia tidak tahu atau menepikan peralihan budaya yang terjadi. Sehingga penjabarannya tentang kesamaan dan kekontrasan perbandingan tiga karya dalam reviewnya ini sesungguhnya sudah terjawab.

Yang kedua, Donald E. Weatherbee masih terjebak pada pola pikir sejarawan orientalis sebagaimana dikritik Said (1978), dan pola pemahaman sejarah elit/politik seperti dijelaskan Bambang Purwanto dalam Gagalnya Historiografi Indonesiasentris (Yogjakarta: Ombak, 2006). Dengan membaca reviewnya atas tiga karya tentang sejarah Jawa, orang bisa mengatalogikan dirinya sebagai sejarawan elit. Tak ada koreksi dan kritik atas sumber-sumber yang digunakan pengaranya, meski pada satu sisi ada sastra rakyat yang juga mencatat sejarah tanah Jawi, yang kemudian tak menjadi tawaran terbuka dari Donald E. Weatherbee. Inilah yang penulis maksud dengan memandang Jawa di balik blangkon, meminjam makna terminology Van Leur yang menyatakan “menulis sejarah Nusantara dari geladak kapal”.

Raffles' Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections, Author(s): Donald E. Weatherbee, source: Indonesia, Vol. 26, (Oct., 1978), pp. 63-93

3 komentar:

  1. Saya sepakat dengan pendapat mas Yudi tentang tulisan Weatherbee. Menurut saya, ia hanya memaparkan perbedaan antar teks. Meskipun judulnya memang perbandingan antarteks, saya kira, ia perlu merunut latar belakang si pengumpul koleksi, penyalin, atau si pengalih bahasa. Kita bicara soal jaringan Raffles. LAlu, ulasannya tentang kekurangan perspektif tulisan-tulisan sejarah karya orang-orang Inggris ataupun yang diterbitkan oleh mereka. Hm, kalau dikaitkan dengan pokok diskusi kita, kita bicara soal Raffles, Mackenzie, serta para kontribur mereka.

    BalasHapus
  2. terima kasih atas komentarnya...:)

    BalasHapus

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!