Jumat, 21 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar Sasi 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy and the Mackenzie Collections
Mendedah Penggunaan Sumber Lokal dalam History of Java

“Awal yang serius dari historiografi Indonesia terutama bukan terdapat pada karya para ahli ketimuran di Leiden ataupun Valentijn, melainkan dalam buku sejarah tebal yang diterbitkan oleh para sarjana Inggris seperti Marsden, Raffles, dan Crawfurd”—John Bastin.

Tulisan ini merupakan tanggapan atas karya Donald E. Weatherbee—selanjutnya ditulis Weatherbee—, “Raffles' Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections”, dalam Indonesia, vol. 26, (Oct., 1978), hlm. 63-93. Sementara itu, secara khusus, tulisan ini hendak menyoal tiga hal pokok; jaringan Thomas Stamford Raffles—selanjutnya ditulis Raffles saja—, problematika penelusuran sumber-sumber lokal; serta keanekaragaman babad.

Intisari Weatherbee
Sebelum membahas tiga hal khusus yang saya utarakan itu, kiranya ada baiknya jika paparkan terlebih dahulu inti tulisan Weatherbee. Dari hasil pembacaan saya, ada tiga hal juga yang disorotinya.

Pertama, penekanan Weatherbee  akan pentingnya karya-karya atau terbitan Inggris dalam historiografi Indonesia. Mengutip John Bastin, ia mengemukakan bahwa karya-karya itu telah mampu membawa arah baru dalam historiografi Indonesia. Arah baru yang dimaksudkan yakni perubahan cara pandang Belanda mengenai koloninya.

Sementara itu, khusus mengenai History of Java karya Raffles, Weatherbee mengungkapkan bahwa Raffles telah memberikan perspektif baru bagi Belanda dalam memandang Jawa, khususnya mengenai kebudayaan dan peradabannya. Mengutip Weatherbee, hal itu ditandai dengan keberhasilan Raffles menggunakan sumber-sumber atau tradisi lokal(baca: Jawa) sebagai bahan penulisannya.

Kedua, perselisihan antara Raffles dan para asistennya, khususnya Letnan Kolonel Colin Mackenzie—selanjutnya ditulis Mackenzie—.  Sebagaimana diketahui bersama, lewat History of Java, Raffles begitu jumawa menyatakan bahwa tidak ada seorang pun yang lebih mengenal Jawa, kecuali dirinya. Faktanya, lewat tulisan  Weatherbee, diketahui bahwa buku yang begitu ia agungkan merupakan hasil editan atau saduran dari para asisten yang ia pekerjakan. Sebagai contohnya, Weatherbee menulis, “paragraf pertama bab X History of Java menjiplak koleksi Jacob Albert van Middelkoop yang salinan bahasa Inggrisnya dimiliki oleh Mackenzie”.

Ketiga, perbandingan History of Java karya Raffles dengan koleksi Mackenzie. Terkait dengan koleksi Mackenzie, Weatherbee  memuat dua naskah hasil terjemahan atau salinan Jacob Albert van Middelkoop dan Nicolaas Engelhard. Selanjutnya, Weatherbee pun membandingkan ketiga karya tersebut dan menunjukkan letak persamaan dan perbedaan dua koleksi terakhir dengan karya Raffles tersebut.

Jaringan Raffles
Sebagaimana telah saya ungkapkan, hal pertama yang ingin saya urai setelah membaca Weatherbee ialah soal jaringan yang dimiliki Raffles. Persoalan jaringan, menurut saya, penting untuk melacak bagaimana Raffles bisa menembus kuasa lokal, hingga memungkinkan ia untuk mengumpulkan dan menyalin sumber-sumber atau tradisi lisan.

Uraian  Jean Gelman Taylor tentang kehidupan sosial masyarakat di Batavia merupakan pijakan awal saya untuk melacak orang-orang di sekeliling Raffles dan jaringan yang saya maksudkan. Menyimak bab IV buku Taylor, “Serangan terhadap Budaya Indies”, terlacak bahwa orang-orang yang mengelilingi Raffles tidak lain adalah orang-orang “ring satu” dalam struktur pemerintahan Batavia (baca: Hindia Belanda), sebelum masa pemerintahan peralihan Inggris. Salah satu diantaranya adalah Nicolaas Engelhard yang juga dikupas oleh Weatherbee.

Mengutip Taylor, Engelhard nyatanya merupakan satu dari tiga orang paling berpengaruh di Batavia dan pemerintahan sebelumnya. Selain itu, ia juga pemimpin Freemansory Indies dan wakil Raffles dalam Perkumpulan Injil.  Untuk diketahui, Perkumpulan Injil merupakan komunitas paling kuat di Batavia. Anggotanya terdiri dari atas berbagai klan yang termasuk jaringan orang-orang terkemuka dan memiliki pengaruh. Tidak heran, jika keanggotaan Raffles dalam Perkumpulan Injil sekaligus membuka dan memperluas jaringannya akan komunitas-komunitas lain, seperti Masyarakat Sastra Batavia serta Lembaga Amal (Taylor, 2009: 183-184).

Berbicara soal jaringan, hal tidak kalah menarik untuk diketahui, saya kira, adalah pendekatan Raffles terhadap penguasa-penguasa lokal. Untuk relasi dengan Kraton Surakarta, misalnya, selain terkait dengan “invisible hand” yang telah kita diskusikan minggu lalu, kedekatan Raffles dengan Kraton tersebut nyatanya erat kaitannya dengan upayanya untuk mengadabkan Jawa. Pengadaban yang ia lakukan itu, bukan semata-mata untuk manusia Jawa, melainkan untuk orang-orang Mestizo yang banyak bermukim di Solo—mengutip Taylor, ada sekitar 112 laki-laki Mestizo di Solo, saat Raffles datang berkunjung.

Dari kujungannya itu pula, Raffles pun membangun kedekatan dengan beberapa orang di Surakarta dan sekitarnya. Diantaranya John Crawfud. Crawfud sendiri merupakan kepala residen dan kepala administrasi Eropa di Solo. Dengan posisinya itu, tidak heran, apabila jaringan Crawfurd pun sangat luas, menembus para bupati dan bawahannya.

Selain bagian dari misi pengadaban serta jaringan melalui para kolega maupun asisten-asistennya, kedekatan Raffles dengan para pemuka lokal, kiranya, dapat ditarik dari perkumpulan studi ataupun perkumpulan Freemasonry, yang juga diikuti oleh pemuka lokal. Bustaman, salah seorang kontributor yang sangat penting, bagi Raffles dan asistennya, kiranya merupakan bagian dari Freemasonry Indies.

Selain dikenal memiliki jaringan yang luas, Raffles pun diketahui dermawan dalam mendukung berbagai penelitian, khususnya penelitian budaya. Salah seorang yang penelitiannya dibiayai oleh Raffles adalah Mackenzie. Taylor mencatat, “Mackenzie merupakan seorang naturalis, orientalis, dan ahli barang antik” (Taylor, 2009:187).

Problematika Sumber Lokal
Menyimak jaringan yang dimiliki Raffles, kiranya, urusan jiplak-menjiplak atau pinjam-meminjam yang dilakukan Raffles atas koleksi para asisten maupun relasinya pun kemudian menjadi wajar. Pasalnya, di satu sisi, sebagai penguasa kala itu, Raffles juga mengeluarkan cukup materi untuk membiayai ataupun mendukung berbagai penelitian.

Pandangan saya atas karya Raffles dan koleksi para asistennya itu memang cenderung positivitic. Saya kira, jangankan waktu itu, sekarangpun pola-pola seperti itu masih berlaku. Belum lagi ditambah dengan kuasa yang dimiliki Raffles sebagai gubernur jenderal Jawa.
Selain unsur jiplak-menjiplak atau pengutipan baik kutipan langsung maupun tidak langsung, karena ranah kita berkutat soal penulisan, saya kira, hal lain yang perlu kita diskusikan ialah soal asumsi dan intepretasi Raffles maupun para kolega  berikut asistennya terkait dengan sumber-sumber atau tradisi lokal yang mereka kumpulkan.

Uraian Mackenzie tentang kesulitan yang mereka hadapi dalam intepretasi, kiranya menarik untuk disimak. Mengintepretasikan sumber-sumber, kata Mackezie, “bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak sekali hambatannya. Mulai dari sedikitnya sumber-sumber yang masuk dalam kualifikasi, kejenuhan dan kelelahan selama proses, serta kelambanan dalam hal alih bahasa”. Selain itu, tambahnya, “perbedaan intepretasi juga turut memperanguhi. Beberapa dialek dalam bahasa Jawa, belum dipelajari, meskipun beberapa wilayah telah melakukan surat-menyurat dalam bahasa Belanda” (Weatherbee, 1978: 66).

Menyikapi paparan yang diutarakan oleh Mackenzie, saya pun teringat akan uraian H.J. de Graaf. Dalam tulisannya, “Sumber-sumber Sejarah Pulau Jawa dari Zaman Mataram dan Historiografi”, disinggung oleh de Graaf, “kebanyakan dari para sarjana yang menyelidiki babad telah melakukan kekeliruan karena mereka mereka bekerja dari awal naskah [babad]... Mereka berbuat demikian karena halaman-halaman pertama dari babad sangat penting untuk mencari keterangan dan penjelasan” (H.J. de Graaf dalam Soedjatmoko dkk, 1995: 104-105).

Selain kesalahan menukil, sebagaimana dijelaskan oleh de Graaf, dari paparan Mackenzie, kiranya ada dua hal pokok yang dihadapi oleh orang-orang (sarjana) Inggris saat hendak menyalin atau melakukan alih bahasa, yaitu masalah bahasa serta kronologi.

Untuk kendala bahasa, jelas sekali permasalahan terletak pada tingkatan bahasa yang berlaku di Jawa— ada tiga tingkatan bahasa yang dikenal di Jawa. Yakni, krama inggil, krama madya, dan ngoko. Sudah barang tentu, orang-orang itu tidak bisa menguasai ketiganya dengan baik. Sementara itu, untuk kronologi, selain data post factuum yang bertebaran, permasalahannya kiranya juga terletak pada pembacaan atas kalender Jawa. Pembagian periodisasi semacam pancawara, sadwara, dan saptawara, kiranya bukan hal mudah untuk dipahami kala itu. Tidak ketinggalan, soal angka tahun yang berlaku di Jawa (dan Bali). Boleh jadi, tidak banyak yang tahu, jika angka tahun yang berlaku di Jawa bukanlah masehi, melainkan saka, yang selisih 76 tahun. Lebih lagi, bukan perkara mudah untuk membaca ataupun menerka candra sengkala, terlebih candra sengkala memet.

Keluhuran di Luar Kraton
Selain aneka permasalahan di atas, ketika berbicara soal penafsiran akan babad, saya kira, satu hal—terakhir— yang tidak boleh terlewatkan adalah asumsi orang akan karya tradisional tersebut. Diakui maupun tidak, saat berbicara atau memperbincangkan babad, yang pertama kali kali melintas pastilah Babad Tanah Jawi.

Pendeknya, segala karya babad yang dihasilkan oleh kraton dan seolah di luar kraton, tidak ada tradisi seperti itu. Padahal, kita seharusnya tahu bahwa kapujanggan tidak hanya terdapat di istana semata, melainkan juga dimiliki oleh orang orang-orang yang dianggap primus inter pares. Uraian de Graaf tentang orang-orang Jawa yang sesungguhnya memiliki kesadaran sejarah tinggi serta budaya kritik yang dimiliki oleh para pujangga dan pimpinan di luar istana, kiranya dapat dapat menambah penjelasan tentang hal itu.

Selain adanya salah kaprah soal tidak adanya tradisi menulis babad di luar kraton, kesalahan yang umum terjadi ialah anggapan bahwa babad, serat, atau kidung yang berkembang di luar kraton, misalnya babad pesisiran, merupakan karya rendahan, sama sekali tidak memiliki keluhuran, sebagaimana yang tercermin dari karya-karya Kraton. Sungguh ironi sekali. Pasalnya, Kraton yang dimuliakan itu pada dasarnya merupakan kumpulan orang-orang yang kurang beradab. Jika kita mau membuka kisah serangan Mataram ke Surabaya ataupu riwayat Pangeran Pekik, kiranya kita akan menemukan relasi yang timpang, mereka yang kurang beradab mengaku sebagai orang yang paling beradab dan mereka yang sesungguhnya sangat beradab justru diposisikan seorang sebagai manusia liar, kasar, dan tidak mengenal peradaban

2 komentar:

  1. Berbicara soal jaringan Raffles, tulisan ini kiranya kurang lengkap. Tulisan tentang Engelhard misalnya, tidak menyinggung posisinya sebagai gubernur. Lalu, tentang orang-orang "ring" satu juga tidak dijelaskan siapa saja mereka. Walaupun, memnag sudah ada petunjuk tentang ikatan keluarga di Batavia abad XVII. Terpenting, saya kira, sedikit melupakan, faktor yang mendorong orang-orang seperti Raflles, Mackenzie, dan kawan-kawan untuk mengumpulkan karya-karya seperti babad atau kidung atau yang lainnya. Yup, sepertinya, harus sedikit mengingat juga tren waktu itu yang mendorong munculnya studi etnografi serta adanya disiplin antropologi.

    Lalu, tentang babad pesisiran atau pinggiran. Hehehe... sepertinya butuh komentar teman-teman yang lain deh. Karena, setahu saya, belum banyak teman-teman yang membahas babad pesisiran atau pinggiran. sepertinya menarik kalau kita diskusikan seklai lagi soal itu.

    Terakhir, sepertinya kita harus segera membentuk tim seperti yang disarankan oleh pak Margana yang bertugas untuk mengedit layout maupun beberapa "content" tulisan. Hehehe... bukan apa-apa... Nyicil kerjaan supaya nanti tidak menumpuk di akhir. Oh ya, judul artikel ini yang mana ya.... Hehehe...

    BalasHapus
  2. Oh ya, satu lagi... Mumpung masih membicarakan soal "content" dan tampilan.... Hm, yuk-yuk kita ubah lagi.... Terutama, kata-kata "tambahan" untuk keempat kawan kita. Rasanya, kok kurang enak dipandang ya... Lebih lagi, sampai minggu ini saya belum lihat tulisan mbak Dyah dan mas Zendra. Hehehe...

    BalasHapus

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!