Sabtu, 08 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Saiful Anwar 1


Changing Uses of History in Aceh (Perubahan Penggunaan Sejarah di Aceh)

Dalam perkembangan tulisan dibarat, Heyden White berpendapat bahwa sebuah cerita “secara umum dari cerita rakyat ke novel, dari sejarah ‘kesejarah’ yang sepenuhnya disadari berhubungan dengan topik hukum, legalitas dan legitimasi. Lalu bagaimana narasi dapat menjadi obat dari otoritas sosial? Jawabannya adalah bahwa narasi historis adalah bentuk universal yang mewakili waktu dan pengalaman. Kedua, didasarkan pada studi masyarakat non-barat.
Jawaban pertama menurut Ranke adalah melihat masalah tunggal (bagaimana “narasi” masa lalu) dan tunggal terbaik solusi. Jawaban kedua adalah melihat sejumlah diskrit masalah-masalah atau lebih tepatnya solusi. Jawaban kedua bukanlah memperluas ruang lingkup historiografi tetapi sebagai pendukung yang pertama.
Dasar tulisan diatas dipakai Jhon R. Bowen sebagai kontribusi dalam perbandingan historiografi. Kasus yang dipakai adalah sejarah masyarakat Gayo (di provinsi Aceh, Indonesia) tahun 1900, yang pada tahun 1980 sejarahnya diceritakan persis sebelum masuknya kolonial atau lebih tepatnya invasi Belanda 1904. Ketika tahun 1930-an, ketika Belanda menguasai, maka Belanda membentuk kembali narasi sejarah sesuai dengan kepentingan kolonial.
Masyarakat Gayo berkembang disekitaran kesultanan Aceh, di daerah dataran tinggi bagian utara Sumetera. Diketahui sebelum abad ke-19 masyarakat Gayo telah masuk Islam. Tepatnya, sekitar abad ke-17 ketika sultan Iskandar Muda memperluas kekuasaan Aceh hingga kebagian utara Sumatera. Pemerintahan sultan Iskandar Muda dianggap sebagai puncak kejayaan Aceh.
Sejarah sering dikuatkan dengan dongeng yang menunjukkan bahwa pencerita membangun asal cerita dari obyek, tempat sebagai kategori datangnya sesuatu. Kisah yang dikenal di tanah Gayo tahun 1980 yaitu tentang Linge yang merupakan unsur penting dari identitas Gayo. Dalam versi Linge diceritakan bahwa seorang putra raja “Rum” (Konstantinopel, Turki) datang menjadi raja Aceh. Ini yang dikenal dengan Iskandar Agung mengambil dari kejayaan Alexander Agung. Jadi tidak ada peristiwa dalam narasi publik dan ketidaksinambungan narasi bentuk. Sekitar tahun tahun 1930-an penguasa Belanda membentuk kembali narasi sejarah berdasar sudut pandang kolonial.
Cerita disusun kembali bahwa Penatua di Linge mendeskripsikan asalnya tetapi tidak menjelaskan bahwa Gayo adalh sekutu Linge dan demikian Gayo menjadi saudara tua Aceh. Hal ini menjadi berbeda dengan karakterisktik penceritaan diakhir 1970-an dan awal 1980-an.Paada tahun 1970-an dan 1980-an banyak pemimpin Islam di Gayo mengadopsi versi sejarah Gayo yang membuat bagian dari sejarah yang lebih luas. Versi yang disebut sebagai “sejarah Aceh”. Upaya sejarah ditulis oleh keinginan untuk memperkuat dasar bagi persatuan provinsi. Penduduk Aceh mengingatnya sebagai masa persatuan yang kontras dengan perjuangan tahun 1940-an dan 1950-an termasuk “revolusi sosial”, pemimpin dan pemberontak Darul Islam menentang pemerintahan pusat.
Islam adalah karakteristik tunggal dari semua segmen provinsi. Dan sejarah Islam adalah bagian dari memori sosial bersama. Meskipun muslim Aceh terbagi pada isu-isu ritual, hukum dan pendidikan, mereka dapat bercerita bersama tentang konversi ke Islam dan kemegahan pengadilan di Aceh Darussalam. Djamil datang menerima kebijaksanaan aceh dan disebarluaskan dalam bentuk seminar sejarah, novel, artikel surat kabar maupun buku-buku sekolah dasar.
Sejarah baru memiliki otoritas dari sumber yang porestise dan dari struktur narasi internal. Djamil membawa beragam bahan dari sejarah yang ditulis Aceh sendiri, Gayo dengan sejarah lisannya dan penting dari apa yang disebut sebagai dokumen. Yang paling penting tentu saja sebuah naskah “kisah raja-raja perlak dan pasai” yang ditulis oleh Abu Ishak Maharani Pasai.
Pemimpin dewan Takengon, Hasan Basri berkata bahwa sejarah Aceh ditulis oleh orang-orang Aceh untuk mewujudkan harapan yang lebih baik dari pada yang ditulis orang lain dari buku yang dulunya musuh Aceh, dan lebih obyektif digali dan dipelajari oleh masyarakat setempat sendiri. Dan tentu perspektif obyektif hanya dapat terwujud jika perasaan pembagian etnis dan perbedaan wilayah dapat dihilangkan terlebih dahulu.
Narasi sejarah Aceh jarang dipelajari antropolog dan sejarawan, untuk semua bukti signifikasi dari budaya mereka. Antropolog lebih fokus pada bentuk-bentuk budaya pribumi dan untuk menghindari apapun yang tampaknya harus diimpor. Historiografi telah berkonsentrasi pada penelusuran urutan dalam penulisan sejarah Eropa Barat yang menunjukkan bahwa proses belajar disini memiliki makna kompratif yang lebih luas.
Aceh dengan keberadaan yang hegemoni, kiasan Islamisasi, telah membuat historiografi relatif diterima. Masa depan Aceh dan Gayo versi sejarah Gayo akan terbangun dalam otoritatif provinsi. Ditempat lain upaya historiografi tersebut kurang baik. Pembangunan otoritas naratif reproduksi sederhana dari suatu tatanan budaya maupun pencapaian. Sepenuhnya Jhon R. Bowen menyadari historis adalah dialektika antara sosial yang tertanam, sebelum ada bentuk sejarah; upaya nasional untuk mencakup kesenjangan politik melalui integrasi historiografi dan upaya lokal untuk mempertahankan identitas budaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!