Jumat, 14 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Mario Adi Putra 3

Raffles’ Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Weatherbee Terhadap “History of Java” Karya Raffles

Apresiasi dari kontribusi Inggris dalam perkembangan studi keilmuan di Asia Tenggara, setidaknya telah memunculkan sejarah Indonesia yang lebih spesifik, seperti halnya kebudayaan dan literatur. Kebudayaan Jawa secara totalitas memiliki nilai-nilai yang tinggi dalam peradaban Jawa, baik periode Jawa kuno maupun periode Jawa baru. Raffles dalam realitanya tidak mencatat hal-hal yang naratif tentang sejarah Jawa, sedangkan orang Belanda telah menuliskan sejarah naratif, hal ini dapat dilihat dalam manuskrip Middelkoop yang berisi tentang sejarah Jawa. Meskipun koleksi manuskrip Colin Mackenzie lebih terlihat kontemporer, namun didalamnya tidak memuat sesuatu yang monumental, hal itu terjadi karena isi dari koleksi itu hanya terbatas pada politik dan ekonomi yang ada pada masa interehnum di Jawa.

Tahun 1811 terjadi ekspedisi Inggris ke Jawa, dalam ekspedisi itu Mackenzie bertugas selama 2 tahun (1811-1813), ketika tahun 1812 telah muncul reduksi kraton Yogyakarta, kemudian tahun 1813 Mackenzie kembali ke Calcuta (India) untuk menyusun laporan yang akan dipublikasi pada tahun 1815. Sesuai dengan penelitian Mackenzie maka investigasi sejarah Jawa terdapat efek batasan waktu dan tempat, sumber-sumber yang didapatkan Mackenzie sangat bervariasi dan dia menulis berdasarkan manuskrip Jawa. Mackenzie tidak berperan pada ranah politik dalam reduksi kraton Yogyakarta, hal itu terjadi karena saat itu ia berada di Semarang lalu pindah ke Batavia, tahun 1813 Mackenzie diberikan alih tugas ke India, lalu ia menerbitkan karyanya pada tahun 1815-1816, ia menetap di India hingga akhirnya ia meninggal disana pada tahun 1821. Sejak kematian Mackenzie maka manuskrip yang ditulisnya telah dikopi oleh pemerintah Inggris dan dinamakan sebagai “koleksi 1822”, dimana isinya sebagian besar adalah berbagai material di Jawa. 

Nicolaas Engelhard (1761-1831) telah menjabat sebagai gubernur Timur Utara Jawa pada tahun 1807, ketika masa pemerintahannya ia mengadakan penerjemahan dari teks sejarah tradisional Jawa ke dalam bahasa Belanda, dari terjemahan itu setidaknya terdapat deskripsi dari Brandes tentang Babad, apakah Babad merupakan sejarah Jawa yang relatif menceritakan tentang kematian Amangkurat 2 pada tahun 1707 ?. Transliterasi Brandes terasa sangat penting, hal itu terjadi karena sugesti isi teksnya telah menjelaskan kebesaran Serat Kanda. Brandes mengakhiri cerita sebelum sejarah Majapahit dan menutup hubungan erat antara kedua kerajaan itu, Brandes juga memberikan sugesti bahwa kritik tentang Babad adalah suatu hal yang penting tentang pengetahuan tradisional dalam historiografi Jawa. Beberapa waktu kemudian H.J. de Graaf menyatakan bahwa Engelhard (tentang Serat Kanda) merupakan sebuah kepentingan primer yang berhubungan dengan keuntungan eksploitasi, Graaf menunjukkan bahwa sesuatu yang bernilai dan luar biasa adalah perdebatan tentang pembentukan Mataram yang dirasa lebih asli dibandingkan dengan apa yang diceritakan dalam Babad Tanah Jawi.

Brandes mencatat tentang hubungan antara Majapahit dan Mataram, dimana Angka Wijaya (raja terakhir Majapahit) merupakan keturunan dari Bondan Kejawan, hingga akhirnya diakui tentang keberadaan kraton Surakarta pada tahun 1743. Eksistensi merupakan hal yang penting dalam studi sejarah Indoneesia, bukan manifestasi interehnum atas sejarah tradisional Jawa. Gordijn telah mentransliterasikan “sejarah raja Jawa” karya J. van Iperen yang dipublikasikan pada Verhandelingen of the Bataviaasch Genootschap. Dedikasi dari kesempurnaan Raffles di Jawa adalah suatu dependensi, dalam catatannya Mackenzie mengemukakan bahwa manuskrip “Collection of Javanese Historical Materials” merupakan sebuah fragmen (pecahan sumber) dari cerita Middelkoop, dimana komparasi teks menjadi sesuatu yang penting dalam periode kekuasaan Raffles. Middelkoop datang ke Jawa pada tahun 1793 yaitu ketika Engelhard masih menjabat sebagai gubernur Timur Utara Jawa, Middelkoop meneliti dari Semarang ke Tegal dan di Jawa bagian Timur, ia mengkompilasi sejarah di Jawa hingga datangnya Raffles (1812). Winckelman merupakan orang yang mempublikasikan karya Middelkoop, lalu ia menginformasikan bahwa Mackenzie telah mencoba untuk mengkopi naskah yang ditulis oleh Middelkoop.

Dalam cerita yang ditulis Raffles juga menceritakan tentang Adipati Adimenggala, dalam hal ini maka Raffles mengasumsikan bahwa Adimenggala merupakan bapak dari Sawela Chala yang bernama Balia, lalu dalam periode selanjutnya telah diakui tentang pendirian Mendang Kamulan. Dalam mitologi Jawa telah digambarkan bahwa orang Jawa adalah keturunan dari ajisaka, hal ini telah diyakini bahwa Arung Bondan yang merupakan pangeran Gujarat juga bermula dari keturunan Aji Saka. Sugesti dari Serat Kanda juga memunculkan banyak material tentang kisah Aji Saka, salah satunya yaitu sejarah Jayabaya dan Angling Darma dalam cerita raja di Mulwapati. Sesuai dengan pernyataan Middelkoop bahwa ramalan tentang keturunan akan terjadi di Jawa, sedangkan Raffles mencatat bahwa hanya seorang permaisuri (ratu) yang dapat mengangkat posisi seorang raja (tanpa memandang nasionalitas). Dalam karya Raffles juga diceritakan tentang proses terbentuknya kerajaan Islam di Jawa, seperti berdirinya kerajaan Demak, Pajang, dan Mataram.

Berdasarkan pembahasan diatas maka dapat diambil sebuah kesimpulan, bahwa sejarah pada dasarnya dapat menjawab keabsahan dari suatu referensi, sebagai contohnya adalah referensi Middelkoop yaitu “Collection of Javanese Historical Materials”, kemungkinan ada yang lebih dibandingkan dengan transliterasi yang dilakukan oleh pada era Engelhard. Fakta dari pekerjaan Raffles adalah kurang dihargai, dan yang perlu dipahami adalah Mackenzie telah salah persepsi dalam penelitiannya, dimana Jawa hanyalah menjadi sesuatu yang diberikan penghargaan dalam penelitian orang Eropa.

Berbagai perdebatan telah mulai bermunculan pada beberapa dekade akhir ini, perdebatan itu mengarah pada historiografi yang ada di Nusantara. Seiring dengan pernyataan de Graaf bahwa sesuatu yang bernilai akan memunculkan perdebatan antara fakta sejarah yang asli dengan apa yang di klaim dalam historiografi, dalam hal ini maka tidak salah jika suatu sejarah akan diperdebatkan dalam menunjuk fakta apa yang benar-benar terjadi, oleh karena itu maka dalam tradisi historiografi di Indonesia juga telah memunculkan perdebatan. Polemik tentang fakta sejarah adalah merujuk pada upaya sejarawan untuk menciptakan rekonstruksi yang lebih obyektif, kejadian (fakta) sejarah sifatnya adalah obyektif namun dalam penulisan sejarah (historiografi) cenderung bersifat subyektif, oleh karena itu maka perdebatan muncul sebagai upaya untuk mendekati sifat yang obyektif dalam tradisi penulisan sejarah (historiografi).

Kajian keilmuan yang bersifat Eropasentris pada umumnya selalu memunculkan polemic, hal itu terjadi karena Barat merasa lebih baik daripada Timur, dari berbagai persepsi Barat yang chauvinisme itu maka dapat memunculkan berbagai perdebatan, hal itu terjadi karena seiring dengan adanya perkembangan orang-orang Timur yang telah bangkit dalam mendekonstruksi persepsi Barat. Banyak hal yang telah memunculkan perdebatan dan tak kunjung berhenti hingga saat ini, tidak hanya persoalan sejarah saja yang mengungkapkan fakta kejadian yang benar-benar ada di masa lalu, tetapi dalam ranah ilmu pengetahuan yang lain (ilmu sosial dan ilmu alam) juga memunculkan berbagai pertentangan dan perdebatan yang masih berkelanjutan. Kritik saya dalam hal ini adalah harus ada jalan tengah, yaitu adanya batasan-batasan yang signifikan dalam konteks persepsi keilmuan, jadi bukan hanya semata-mata Barat lebih unggul daripada Timur. Persepsi chauvinisme itulah yang menurut saya perlu didekonstruksi, hal itu bertujuan agar tercipta pandangan keilmuan yang egaliter.

1 komentar:

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!