Jumat, 14 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Irma Ayu KD 2

Sex, Race, and the Contract
Dalam Karya “Textual Empires” by Mary Cathrine Quilty

Di dalam artikel ini menjelaskan tentang adanya perbedaan pandangan oleh lima tokoh sejarah mengenai perbedaan kelamin, ras dan kontrak sosial. Tetapi yang pada akhirnya hanya akan mempunyai satu tujuan dalam merekonstruksi penulisan sejarah di Indonesia di masa yang akan datang agar menjadi lebih bagus. Dalam artikel ini sebagaimana diketahui dalam bentuk kontrak konvensional kebebasan berkontrak adalah refleksi dari perkembangan paham persaingan bebas yang dipelopori Adam Smith. Adam Smith dengan teori  ekonomi klasiknya mendasarkan pemikirannya pada ajaran hukum alam, yaitu hukum timbal balik dalam artian didalam suatu kontrak atau perjanjian pasti ada kesepakatan sehingga akan terjadi timbal balik secara alami atau dengan sendirinya.

Dalam sistem kolonial, penjajah mempunyai siasat untuk selalu menggenggam mangsanya yaitu bangsa yang dijajah, siasat itu dengan cara penjajah menyediakan bahan baku atau modal yang pada akhirnya bangsa yang dijajah akan menggunakan dari teori kontrak sosial dengan mengadakan perjanjian yang sah menurut hukum, dengan begitu maka secara tidak langsung akan menimbukan sistem patriarkal antara bangsa penjajah dengan bangsa dijajah.

Teori kontrak sosial menjelaskan bahwa terbentuknya negara adalah karena anggota masyarakat mengadakan kontrak sosial untuk membentuk negara. Menurut Locke sumber kewenangan dan pemegang kewenangan adalah masyarakat. Oleh karena itu kewajiban dan kepatuhan politik masyarakat kepada pemerintah hanya berlangsung selama pemerintah masih dipercaya. Apabila hubungan kepercayaan (fiduciary trust) putus, pemerintah tidak mempunyai dasar untuk memaksakan kewenangannya, karena hubungan kepercayaan maupun kontraktual sifatnya adalah sepihak.  Teori kontrak sosial berkembang dan dipengaruhi oleh pemikiran Jaman Pencerahan (Enlightenment) yang ditandai dengan rasionalisme, realisme, dan humanisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat gerak dunia. Pemikiran bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik dan bernegara. Dalam perspektif kesejarahan, jaman sekarang ini adalah koreksi atau reaksi atas jaman sebelumnya, yaitu jaman kolonial. Walaupun begitu, pemikiran-pemikiran yang muncul di jaman sekarang tidaklah semuanya baru, karena masih tetap mengacu pada pemikiran-pemikiran jaman kolonial.

Di sini Locke dengan teorinya yang memandang negara penjajah dengan sistem patriarkal, yaitu kekuasaan yang berpusat pada bapak di dalam suatu keluarga. Dimana kekuasaan bapak tidak dapat diganggu gugat dan anak harus patuh terhadap bapak. Meskipun anak telah tumbuh dewasa, tetapi bukan berarti dapat melawan atau menggantikan kedudukan sang bapak, ini bisa terjadi tetapi dengan adanya kontrak sosial diantara keduanya. Marsden, Raffles dan Crawfurd setuju dengan konsep Locks tentang patriarkal. Menurut Crawfurd menngunakan teori Locke dengan mengatakan bahwa didalam masyarakat yang lebih muda lebih sering meminta nasihat pada orang yang lebih tua atau yang lebih berpengalaman. Inilah yang menurut Crawfurd kontrak sosial, dimana yang muda masih tergantung pada yang tua yang lebih berpengalaman, sehingga timbul anggapan patriarkal karena menganggap seorang anak patuh bapak karena masih tergantung pada bapak.

Raffles setuju dengan pendapat Crawfurd, tetapi berbalik dengan pemikiran Crawfurd yaitu berpikir tingkatan patriarkal di Jawa sebagian besar menggantikan langkah pemerintahan yang kejam, Raffles meminta dengan tegas walupun demikian pemerintah pada dasarnya sewenang-wenang dan masih menggunakan sisa-sisa prinsip feodal, Jawa harus mempertimbangkan konsep patriarkal, dimana disuatu tempat atau desa kehidupan pemimpin atau pendeta atau kyai hidup dengan damai. Ini menggambarkan persatuan kehidupan patriarkal. Disini menimbulkan presepsi dan pertanyaan bagaimana hegemoni kolonial itu secara terus-menerus terjadi ? Walaupun dalam masa kekinian tapi frame historiografi masa kini masih berdasarkan sistem kolonial, hanya saja labelnya yang berbeda. Jika dilihat, sebenarnya kita membangun penjajahan diatas kemerdekaan. Kolonialisme secara politik berhenti, tapi kolonialisme secara berfikir atau pikiran masih terus berjalan. Dimana seperti sistem patriarkal yang sering disebut berpusat pada penjajah. Dimana penjajah adalah bapaknya dan kita sebagai warga dijajah sebagai anaknya. Jadi kita mengacu atau berpusat pada negara penjajah. Ini menyebabkan historiografi tidak berkembang, hanya berpusat pada satu titik yaitu kolonial. Jadi bisa dikatakan bahwa sebenarnya rekontruksi historiografi Indonesia hanya direproduksi kembali oleh apa yang telah ditulis pada masa kolonial. Dengan kata lain historiografi Indonesia itu adalah historiografi kolonial, semua hanya untuk melegalkan historiografi kolonial. Itu semua dikarenakan masa lalu mempunyai hubungan yang lebih dekat dengan kekinian.

Selain itu dalam artikel ini juga membahas tentang gender. Gender bukanlah suatu pemisahan jenis kelamin, tapi merupakan suatu kategorisasi kultural dan tingkatan yang berstandar pada sebuah pembagian devisi kerja menurut jenis kelamin. Kita tahu bahwa pembagian divisi kerja seperti ini memperlebar jalan terciptanya peradaban yang menjadi penggerak sistem dominasi global sekarang ini. Pada jaman kolonial wanita hanya sebagai penggembira kaum colonial, dengan kata lain budak sex. Tetapi jaman sekarang sudah ada persamaan gender, dimana kedudukan pria dengan wanita sederajat, dalam arti bahwa wanita sekarang tidak bisa dipandang rendah dan hanya dijadikan hiburan semata.

Dapat disimpulkan bahwa para tokoh dalam dalam artikel ini masih memandang kelamin, ras dan kontrak sosial berdasarkan jaman kolonial, yang menganggap kaum terjajah selalu dibawah dan yang penjajah selalu diatas, dengan kata lain patriarkal. Sehingga dapat disimpulkan dari tulisan dalam artikel ini masih bersifat Indonesia sentris dan kolonialisme. Dimana banyak diceritakan tentang keadaan kehidupan orang-orang Indonesia dan selalu berpusat pada kolonialisme. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana caranya merekontruksi historiografi kolonial dengan historiografi kekinian ? agar tidak terkesan bahwa historiografi sekarang ini hanya merupakan pelegalan atau pengesahan terhadap historiografi kolonial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!