Jumat, 21 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Mufidha BI 3

Raffles’ Source for Traditional Javanese Historigraphy
and the Mackenzie Collections
Kritikan Donald E. Wheatherbee Terhadap “History Of Java” Karya Raffles

Donald E. Weatherbee dalam “Raffles Sources for Traditional Javanese Historiography and The Mackenzie Collections” berbicara tentang metode penulisan Raffles dalam menghasilkan “History of Java”. Donald banyak menyinggung tentang pengumpulan sumber-sumber yang dilakukan oleh Raffles termasuk caranya mempekerjakan asisten seperti Mackenzie dalam mengumpulkan data dan laporan-laporan di berbagai daerah di Jawa. Selain itu, disinggung pula tentang bagaimana Raffles mempergunakan sumber tradisional dan juga sumber tulisan-tulisan lain untuk mewujudkan “History of Java”. Dalam kaitannya dengan ini, Donald kemudian membandingkan antara “History of Java”, “Middlelkoop’s manuscript” dan “Engelhard Serat Kanda”.

Dalam menanggapi apa yang dipaparkan oleh Donald, yang menarik adalah bahwa ternyata metode pengumpulan sumber yang dilakukan Raffles menuai berbagai macam tanggapan termasuk kritik. Namun, terlepas dari itu, apa yang dihasilkan oleh Raffles pada masa itu tetaplah bisa dikatakan sebagai tonggak penelitian terhadap sejarah Jawa. Tetapi, dalam membaca dan mengintepretasi tulisan Raffles, tidak bisa dilakukan tanpa kritik. Hal itu disebabkan karena Raffles menulis berdasarkan sudut pandang dia dalam melihat Jawa. Subjektivitasnya sebagai seorang asing sekaligus seorang pejabat kolonial tidak bisa diabaikan. Tidak hanya Raffles, banyak tulisan yang kemudian dihasilkan oleh para sejarawan kolonial yang dijadikan sebagai sumber penulisan sejarah Indonesia. Hal ini dimungkinkan karena dari sini kita bisa memperoleh banyak informasi tentang fakta-fakta dan kejadian selama masa kolonial. Tetapi sekali lagi bahwa apa yang dihasilkan oleh para sejarawan kolonial ini tidak terlepas dari kepentingan mereka secara pribadi maupun kepentingan pemerintah kolonial. Sehingga, dalam mempergunakan sumber-sumber ini selain melakukan kritik terhadap materi tulisan, kita juga perlu melihat tujuan dihasilkannya karya tersebut, apa hubungan penulis dengan pemerintah kolonial dan bagaimana cara penulis mengumpulkan sumber.

Satu hal lagi yang menarik hubungannya dengan sejarawan kolonial adalah adanya penggelembungan peranan bangsannya sendiri di dalam karya mereka. Sebagai contoh, bagaimana Raffles mengkerdilkan peranan Belanda dan menonjolkan peranan Inggris di Hindia Belanda. Begitu pula sebaliknya, sejarawan kolonial Belanda sangat menonjolkan peran Belanda dalam penyajian tulisannya. Tetapi, pertanyaan saya kemudian adalah bukankah hal ini juga dilakukan oleh sejarawan Indonesia pasca kemerdekaan? Istilah Indonesiacentris yang sering dikemukakan oleh Prof. Bambang Purwanto mungkin bisa dihubungkan  dengan pertanyaan ini. Apakah memang sudah merupakan sifat alami sejarah nasional sebuah bangsa untuk menggelembungkan peranannya sebagai upaya ‘nasionalisasi’ kepada rakyatnya? Jika memang demikian, maka bukankah sejarah lagi-lagi dijadikan alat politik? Atau adakah alternatif penulisan sejarah dengan perspektif yang berbeda? Bisakah sejarah berdiri dalam posisinya sendiri sebagaimana mestinya?

Weatherbee, E. Donald (1978). Raffles’s Sources for Traditional Javanese Historiography and the Mackenzie Collections. Southeast Asia Program Publications at Cornell University, 26, 63-93.

6 komentar:

  1. @Ian: Tulisan yang bagus mbak Ian. Saya suka komentarmu di paragraf terakhir. Hanya saja, menurut saya, karena topik kita baru sebatas arah baru dalam historiografi kolonial, sebaiknya hati-hati menggunakan istilah indonesiasentris, supaya tidak bias. Yup, saya kira dalam tahap ini, kita sebaiknya jangan menyinggung-nyinggung indonesiasentris sebagai suatu dekonstruksi atas penulisan sejarah nasional kita. Sebab, Indonesiasentris yang (akan) kita bahas (selanjutnya) dalam minggu-minggu ini adalah indonesiasentris sebagai dasar atau pondasi baru historiografi kita, dari yang tadinya koloni hanya dipandang dari kacamata orientalis, bergeser dengan memasukkan sumber-sumber tradisional yang dimiliki oleh koloni. Terpenting, menempatkan koloni, tentu saja dalam hal ini Indonesia, sebagai subyek. Dan, tugas kita untuk mengkritisi kebaruan tersebut. Yup-yup mari kita bersama-sama belajar lebih jeli melihat sumber. Tabik.
    NB: tolong komentari tulisanku juga dong.... Dari kemarin adem ayem saja. Hehehe... Terimasih.

    BalasHapus
  2. Waaahhhh.... Terima kasih sekali!! akhirnya ada yg memberikan masukkan atas tulisan amatir saya!!^^
    tapi, kalau begitu boleh ya sekalian bertanya... Jadi.. maksudnya apakah konsep 'Indonesiasentris' yg dibicarakan oleh pak bambang berbeda dengan yang akan kita bahas dalam kelas pak margana begitu ya?

    lha.. gimana mau dikomentari? di daftar nama kita gak ada yg namanya 'sundul langit' atuh? gk tau yg mana?
    Terimakasih...

    BalasHapus
  3. Lian, maaf saya baru bisa online sekarang. Maaf, baru bisa nyambung diskusi lagi setelah satu minggu. Pulsa modem saya selalu ke-hack orang jadi saya sangat jarang online. Hm, hari sabtu pagi saya selalu online khusus untuk buka blog ini. Hm, kita bisa diskusi... Hihihi kalau di kelas, saya seringnya tidak nyambung...
    Hehehe... malah jadi curhat. Yup, kembali ke topik diskusi kita... :P
    Hm,karena sudah seminggu berselang, saya yakin kini kamu sudah tahu persisi konsep indonesiasentris yang sedang kita bicarakan di kelas pak Margana, dari minggu lalu sampai dengan minggu ini, dengan konsep indonesiasentris yang dikemukakan oleh pak Bambang sebagai hasil dekonstruksi atas historiografi kita (dan pastinya konsep dekonstruksi pak Bambang ini akan kita diskusikan bersama beberapa pertemuan lagi. Hehehe...)
    Ha, jadi, saya tak perlu mengulasnya lagi kan? HEhehe...

    BalasHapus
  4. Hm....

    Indonesiasentris yang sedang kita diskusikan adalah perubahan corak historiografi Indonesia. Berawal dari historiografi tradisional seperti Babad, tambo, kidung, hikayat, syair, dan sejenisnya lalu berlanjut ke historiografi yang ditulis kolonial Belanda (mungkin, di kelas kita, kita tidak membahas historiografi Belanda. Yup, dari historiografi tradisional, kemarin kita langsung loncat ke historiografi kolonial inggris. Hm, kalau kamu ingin tahu, karya apa yang termasuk historiografi kolonial Belanda, misalnya kamu bisa membaca Geschiedenis van Indie atau Opkomst--saya agak lupa judul lengkapnya, tapi barangkali teman-teman yang lain bisa mengingat)dan Inggris sampai akhirnya historiografi yang dikemukakan oleh angkatan van Leur. Yup, kalau kamu ingat, perubahan itu akhirnya menekankan pentingnya penggunaan sumber-sumber Indonesia untuk penulisan sejarah INdonesia. Nah, itulah yang kemudian kita kenal sebagai konsep indonesiasentris. Menulis sejarah Indonesia dari sudut pandang indonesia, sama sekali bukan dari penjajah.

    Sayangnya, dalam perkembangannya, ide indonesiasentris telah dipolitisasi. Alih-alih menerapkan prinsip-prinsip sejarah, indonesiasentris kemudian digunakan untuk membangun narasi besar sejarah nasional kita, yang tentunya sarat dengan mitos. Yup,beberapa teman, kemarin kalau tidak salah sudah mengemukakan tulisan Jusuf M. van Kroef yang diantaranya membicarakan fenomena tersebut. Pembangunan narasi besar sejarah nasional yang penuh dengan mitos, pemojokkan kolonial dan penekanan andil bangsa yang terlalu berlebih-lebihan, terutama beberapa individu... Pada akhirnya membuat historiografi kita "semrawut" sehingga mendorong beberapa orang untuk melakukan dekonstruksi (tentunya baru bisa dilakukan setelah era reformasi).
    Terkait dengan tulisanmu.... Menurut saya, tulisanmu tidak salah. Bagus sekali kesimpulan yang kamu tarik. Hanya saya, karena tingkatnya kita baru mau membicarakan awal munculnya historiografi indonesiasentris, supaya tidak rancu, jangan dulu terlalu mengeksplorasi dekonstruksi historiografi tersebut. Bagaimana menurut teman-teman yang lain?

    Hm, tapi, kalau mulai tulisan keempat dan seterusnya kiranya kita sudah mulai mengulas kritik atas hal itu.

    Oh ya, sedikit masukan saya tentang konsep indonesiasentris itu mungkin hampir sama dengan masukan pak Margana saat kita membicarakan C.C. Berg. Ingat tidak, beberapa dari kita, mengatakan bahwa Berg seperti menafikkan aspek historisitas saat membicarakan babad. Hahaha... ternyata, era Berg, tahun-tahun saat Berg menulis karyanya, memang belum membahas historisitas. Dan kata pak Margana, wacana historisitas baru muncul tahun 1980-an. Hahahaha... Agaknya kita memang perlu terus membaca ya...

    Btw, maaf2, saya menggunakan user sundullangit.Hahaha... Tapi bukan alasan untuk tidak saling mengkritisi tulisan-tulisan yang telah kita buat bersama kan? Hihihi....

    Semangat Lian!

    BalasHapus
  5. Waaahhh... terima kasih banyak ya buat penjelasanya..^^

    iya, sekarang saya sudah paham bahwa Indonesiasentris kelas pak margana hanya sebagai bagian dari 'pembabakan' penulisan historiografi sedangkan Indonesiasentris yang dibicarakan pak bambang lebih kepada 'kritik' benar begitu kan?

    Oya, terima kasih juga sudah menyinggung ttg Berg.. itu jg 'sesuatu'... hehe..

    BalasHapus
  6. Kak izin mengutip yang mengenai subjektivitas Raffles. Terima kasih dan akan saya tuliskan sumbernya dari kakak di daftar pustaka saya :)

    BalasHapus

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!