Jumat, 21 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Yuli Astriani 4

ABAD KE-18 SEBAGAI KATEGORI
DALAM PENULISAN SEJARAH INDONESIA?
Oleh J.C. Van Leur (Buku Volume 21)

Dalam tulisan yang diterbitkan pada tahun 1940 ini Van Leur mengkritik apa yang sebelumnya pernah ditulis oleh Prof. Goode Molsbergen tentang Sejarah Hindia Belanda. Van Leur tidak setuju dengan kronologi yang ditetapkan oleh Prof. Goode, karena digambarkan bahwa sejarah kompeni di abad ke-18 adalah bayangan cermin dari sejarah tanah air (belanda), dan sejarah Eropa di zaman itu dan juga sejarah Nusantara (Hindia Belanda). Jadi Sejarah Hindia Belanda pada abad ke-18 digolongkan kedalam sejarah kebudayaan oleh Goode dan ditempatkan dalam paradigma sejarah kompeni. Hal ini yang pada akhirnya membuat Van Leur mengajukan beberapa pertanyaan untuk hal ini yaitu: benarkan demikian? Dapatkan abad ke-18 bisa disebut awal historiografi bagi sejarah Hindia? Dan Mungkinkah menulis sejarah Hindia dalam abad-ke18 sebagai sejarah kompeni? Seperti itulah kira-kira pertanyaan yang diajukan Van Leur untuk mengkritisi apa yang ditulis oleh Goode.

Menurut Van Leur yang merupakan lulusan Universitas Leiden, sejarah abad ke-17 dari Hindia Belanda (sejarah Indonesia) tentu tidak dapat disamakan dengan sejarah kompeni (sejarah Belanda). Van Leur berpendapat bahwa tidak tepat jika awal dari penulisan sejarah Indonesia dimulai pada saat para pelaut-pelaut, saudagar-saudagar, dan bajak-bajak laut dari Eropa barat daya datang untuk pertama kalinya ke Nusantara (Indonesia). Van Leur sangat mengkritik keras apa yang sudah dilakukan oleh sejarawan Belanda sebelumnya melalui tulisannya ini. Pada abad ke-18 historiografi kolonial Belanda yang ditulis selalu “menulis sejarah dari geladak kapal kompeni.” Sedangkan Van Leur sebaliknya, ia berfikir bahwa ketika menulis sejarah Hindia Belanda harus dimulai dengan turun dari geladak kapal kompeni dan mulai menulis dari “geladak kapal orang-orang pribumi.” Pengetahuan Van Leur dalam hal itu tidak hanya terbatas pada sejarah Hindia Belanda, dia juga mengkritisi penulisan sejarah di Asia antaralain: Iran, Cina, Indo-Cina, India, Hindia Belakang dan Jepang. Van Leur mempertanyakan mengenai penulisan sejarah di Asia abad-17 dan 18 apakah juga tetap mengikuti pola barat yang Eropa sentris? Dalam hal ini terkait pada sejarah tiga Negara kolonial terbesar di Eropa yaitu Belanda, Inggris, dan Perancis.

Van Leur berpendapat bahwa pengaruh Belanda di Asia Tenggara pada umumnya menunjukan kemunduran. Di Indonesia, pengaruh itu tumbuh di Pulau Jawa. Namun apabila ditinjau secara keseluruhan, dalam abad ke-18 tidak ada satu pun tempat di Asia yang dikuasai oleh bangsa Eropa hanya dalam jumlah yang sangat terbatas, terdapat beberapa tempat dimana kekuasaan Eropa berhasil memperkokoh kedudukannya. Dalam hal inilah perlu ditekankan bahwa kerajaan-kerajaan timur pada umumnya dibidang militer, ekonomi dan politik, sebagai kesatuan-kesatuan yang kokoh dan kuat, tetap merupakan faktor yang aktif dalam jalannya peristiwa (lihat hal. 17). Hal ini hanya salah satu contoh yang diungkapkan oleh Van Leur sebagai kritik atas karya-karya Historiografi Belanda yang Eropa sentries. Karya Van Leur sendiri sangat bertentangan dengan teori yang sebelumnya dikenal dalam sejarah kolonial. Dalam Tesisnya yang berjudul “Eenige beschouwingen bebecreffende den ouden Aziatischen handel (1934”), ia berhasil mengkisahkan kegiatan perdagangan orang-orang Indonesia dan kota-kota perdagangan di Indonesia dengan menggunakan sumber-sumber dari sejarah VOC yang telah diterbitkan (R.Z. Leirissa). Hal ini menarik karena walaupun sumber yang digunakan Van Leur berasal dari sumber sejarah VOC tetapi ia dapat menceritakan mengenai keadaan dan kegiatan sehari-hari mengenai orang-orang di Hindia Belanda pada saat itu yang memiliki sejarah perkembangannya sendiri tanpa pengaruh VOC.

Pada perkembangan selanjutnya, setelah kritik Van Leur terhadap Historiografi kolonial yang terlalu eropa sentries, di Indonesia 26 tahun kemudian dimulailah era baru dalam kategori penulisan sejarah Indonesia yang ditandai dengan munculnya karya-karya historiografi yang bersifat Indonesia Sentris oleh Sartono Kartodirdjo (1966), kemudian disusul Taufik Abdullah (1970) dan Soedjatmoko (1965) yang pada tahun-tahun berikutnya mulai memperkenalkan mengenai historiografi Indonesia. Contoh lain dari penulisan sejarah Indonesia dari sudut pandang Indonesia sentries adalah buku yang ditulis oleh Sri Margana berjudul Keraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874, yang meneliti mengenai sejarah Sosial Ekonomi Jawa melalui sumber-sumber non babad yang sumbernya berasal dari koleksi-koleksi manuskrip Jawa. Historiografi Jawa yang bertema politik biasanya didasarkan pada sumber-sumber babad sedangkan Historiografi Jawa yang bertema sosial ekonomi biasanya didasarkan pada sumber-sumber Belanda. Tetapi karya ini berbeda karena menghadirkan Historiografi Jawa bertema sejarah sosial dan ekonomi dengan menggunakan sumber non babad sehingga menghadirkan alternative baru dalam penulisan sejarah Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!