Rabu, 12 Oktober 2011

Tugas Review Historiografi Galuh Ambar Sasi 2

Sumber Inggris Sebagai Historiografi Indonesia

Membaca Textual Empire, ada tiga hal pokok yang saya peroleh. Ketiga hal pokok itu yakni: sumber-sumber Inggris dalam historiografi Indonesia; karakteristik sumber-sumber Inggris; serta secara khusus, persepsi sumber-sumber Inggris akan seksualitas, ras, dan kontrak.

Sumber Historiografi
Pertama kali membuka halaman awal Textual Empire, saya langsung teringat akan tulisan John Bastin. Tulisan yang saya maksudkan ialah uraiannya tentang kesalahan banyak orang yang masih beranggapan bahwa semua sumber tertulis dan dokumenter tentang sejarah Indonesia modern, ditulis dalam bahasa Belanda—akibat lamanya kekuasaan Belanda di Indonesia, dibandingkan dengan para imperialis lainnya. Padahal, kata Bastin, “awal yang serius dari historiografi Indonesia terutama bukan terdapat pada karya para ahli ketimuran di Leiden ataupun Valentijn, melainkan dalam buku sejarah tebal yang diterbitkan oleh para sarjana Inggris seperti Marsden, Raffles, dan Crawfurd” (John Bastin, 1995: 122).

Selanjutnya, lewat pisau historisitas, saya pun mencoba mencari tahu karakteristik sumber-sumber Inggris yang dimaksudkan dalam buku tersebut. Terkait dengan hal itu, saya pun berusaha untuk menggaris bawahi beberapa hal, antara lain: latar belakang kelima penulis yang disebutkan oleh Mary Catherine Quilty; alasan kelima penulis itu menyusun masing-masing buku mereka; serta perspektif kelima penulis tersebut akan berbagai sumber asli Indonesia dan tinjauan mereka akan Indonesia, secara khusus Jawa dan Sumatera.

Terkait dengan hal yang pertama, adalah sangat menarik menyimak kedudukan para penulis yang disebut oleh Quilty di Asia Tenggara serta relasinya satu sama lain. Dari mulai Raffles yang seorang gubernur jendral di Hindia Belanda—sampai akhirnya menyingkir ke Singapura—, hingga Symes yang menempati posisi kemiliteran di India. Tidak ketinggalan, kedekatan antara Marsden, Raffles, dan Crawfurd.

Kedua, posisi teks-teks yang ditulis oleh Marsden, Raffles, Anderson, Symes, dan Crawfurd. Membaca tulisan Quilty, dapat dimengerti kemudian bahwa teks-teks yang ditulis oleh kelima orang itu merupakan kombinasi antara praktek administrasi kolonial Inggris dengan ambisi penelitian Inggris tentang Asia. Selain itu, cakupan kelima teks itu akan berbagai keilmuan yang kemudian kita kenal sebagai antropologi, sejarah, linguistik, geografi, serta botani dan biologi.

Masih terkait dengan posisi kelima teks, sangatlah menarik pernyataan yang dikemukakan oleh Quilty bahwa kelima teks tersebut bukanlah media informasi mengenai Asia Tenggara, melainkan sebagai intepretasi kelima penulis akan masa lampau, sebagaimana terdapat dalam masing-masing tulisan mereka. Dari situ kemudian dapat ditangkap bahwa kelima teks itu bukanlah semata-mata sebagai bahan informasi kedudukan East Indian Company (EIC) di Asia Tenggara, melainkan, lebih luas lagi, sebagai representasi akan posisi pemerintahan Ingris di Asia Tenggara.

Ketiga, perspektif kelima penulis. Lagi-lagi, uraian Quilty tentang perspektif kelima penulis sangat menarik untuk disimak. Mengutip Quilty, kepicikan berpikir serta prasangka rasial kelima penulis melatarbelakangi Marsden dan kawan-kawan beranggapan bahwa berbagai naskah atau teks asli Timur, dalam hal ini Indonesia, adalah fiksi dan tidak ilmiah. Selain itu, pola pikir yang seperti itulah yang kemudian juga menempatkan Eropa (baca: Inggris) sebagai yang superior, sementara “yang terjajah” diposisikan sebagai inferior.

Tidak hanya itu, superioritas yang dimiliki oleh kelima penulis itu juga menyebabkan mereka kemudian mengidentifikasi beberapa tempat dengan beberapa daerah di Eropa pada era tertentu. Sebagai contoh, Marsden mengidentifikasi Sumatera dengan Jerman pada abad XVII sedangkan Raffles mengidentifikasi Jawa sebagai Eropa ketika era feodal.

Citra Gender, Ras, dan Kontrak
Secara khusus, saya menyimak bab III. Dengan kata lain, saya pun mencoba mencermati persepsi dan inteprestasi kelima penulis akan gender, ras, dan kontrak—ketiga hal yang saling berkaitan dan sangat rumit kaitannya dalam sejarah Hindia Belanda.

Dari situ, saya bisa melihat bahwa sesungguhnya Hindia Belanda seperti yang diilustrasikan oleh kelima penulis itu sesungguhnya sama seperti komunitas bayangan yang dipaparkan oleh Ania Loomba. Dengan kata lain, negara sesungguhnya bergender dan kontruksi itulah yang kemudian mempengaruhi konseptualisme, ekspresi, dan pelaksana hubungan-hubungan kolonial (Ania Loomba, 2001: 226).

Berbicara tentang konstruksi gender dalam relasi antara “si penjajah” dengan “yang terjajah” maka hal pertama yang bisa disimak ialah konsep kekeluargaan yang coba dibangun oleh “si penjajah”. Sehubungan dengan hal itu, “si penjajah” diindentikkan dengan seorang ayah, si pembimbing serta pelindung, sementara “yang terjajah” sebagai seorang anak yang harus patuh dan taat senantiasa kepada ayahnya. Di lain sisi, citra gender yang juga coba dibangun oleh “si penjajah” ialah bahwa “si penjajah” serupa dengan laki-laki sedangkan “yang terjajah” sama halnya dengan perempuan. Dengan demikian, sebagai laki-laki kuat dan memiliki tugas penting yakni melindungi si perempuan.

Kontruksi patriarki yang bangun oleh “si penjajah”, dalam perkembangannya, meluas hampir ke semua bidang. Akan tetapi, secara spesifik, konstruksi gender itu masih dibedakan lagi atas warna kulit, dalam hal ini ras. Kulit putih pada akhirnya memegang peran yang dominan sementara kulit berwarna, bersanding dengan perempuan dan laki-laki pribumi, menempati posisi inferior atau obyek yang dikonotasikan sebagai anak dan perempuan. Tidaklah mengherankan, jika kemudian muncul pameo, “yang dibutuhkan hanya berkulit putih” (Ladislao Szekely dalam Anthony Reid, 2010: 302).

Masih terkait dengan gender, ras, dan kontrak, wacana patriarki yang tersirat dalam kelima tulisan itu akhirnya mendudukkan perempuan dalam fungsi reproduksi sementara laki-laki sebagai si pencari nafkah. Akan tetapi, sebagai seorang anak, si laki-laki masih memiliki ketergantungan besar akan ayahnya. Dengan demikian, hal yang kemudian muncul ialah kepatuhan. Berikutnya, kepatuhan itu semakin dikokohkan lewat kontrak yang dilakukan antara si ayah dengan pimpinan para laki-laki—raja, primus inter pares, dan sebagainya.

Akhirnya, puncak dari pola hubungan itu, dari mulai prasangka sejarah sampai dengan pola patriarki yang coba dibangun oleh “si penjajah”, adalah kenyataan saat bersinggungan dengan “yang terjajah”, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Frances Gouda. Ketika orang-orang Eropa, baik Belanda, Inggris, atau yang lain mengamati tradisi lokal melalui kacamata penjajah, kata Gouda, mereka cenderung hanya melihat apa yang ingin mereka lihat. Seringkali, jika mereka tidak memahami atau takut akan adat kebiasaan pribumi, mereka menyusun kembali praktik-praktik sosial yang nyata maupun penting menjadi proyeksi imajiner kepentingan mereka sendiri (Gouda, 1995: 343). Dengan demikian, segala kebebasan yang ditawarkan oleh kelima penulis itu pun nyata-nyata adalah semu belaka. Sebab, bagaimanapun, tolok ukur yang digunakan masih semata-mata perspektif kolonialis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Etika dalam berkomentar sangat diutamakan!